7865

657 151 58
                                    

7865

Trrrt... trrrt...

Ponselku berbunyi. Ada panggilan masuk. Sial. Nomor itu lagi. Empat digit terakhirnya adalah 7865 dan aku sampai menghafalnya karena setiap hari dalam minggu ini nomor itu tak pernah absen meneleponku untuk tujuan yang selalu sama.

Kemudian, kuterima panggilan itu. Dan begitu panggilan aktif, suara seseorang dari seberang sana langsung mengagetkanku. Tanpa basa-basi dan langsung marah-marah.

"Hei! Kapan kau akan membayar hutang-hutangnya!" bahkan kalimat tanya malah terdengar seperti kalimat perintah.

Aku terdiam.

"Hei kau dengar apa tidak?! Ini sudah tiga bulan sejak hari kematian orangtuamu!"

Cepat-cepat kututup teleponnya. Aku muak mendengar orang itu mengoceh di telepon. Dan mendengar kalimat terakhir orang itu, aku kembali teringat masa laluku yang kelam...

Kematian orangtuaku...

Aku ingat ketika hari mengunjungi rumah kedua orangtuaku di Brooklyn. Waktu itu aku mengunjungi mereka hanya karena dengan alasan 'dua bulan lalu aku meminta smartphone model terbaru seharga limaratus dollar Amerika kepada mereka dan mereka menyuruhku datang lagi ke rumah itu dua bulan lagi, maka aku akan mendapatkan apa yang kuinginkan'.

Hari ketika aku-akan-mempunyai-smartphone-baru benar-benar terjadi. Ayahku tidak main-main dengan janjinya. Ah, ya. Begitu aku sampai di sana, ayahku langsung memberikannya.

Kemudian, ayahku bertanya padaku, "Apa yang akan kau lakukan dengan ponsel seharga limaratus dollar ini?"

"Untuk keperluan kuliahku."

Kemudian setelah itu, aku pergi dari rumah mereka, kembali ke flatku. Seperti yang sudah-sudah, setiap kali aku meminta sesuatu, mereka pasti mengabulkannya, lalu menyuruhku datang ke rumah, lalu kudapatkan barangku, lalu ayah selalu bertanya, "untuk apa" dan "kenapa" soal barang yang kuminta. Tetapi selama aku bisa menjawabnya, ayahku hanya diam saja dan membiarkanku pergi.

Aku adalah anak tunggal. Umurku delapan belas ketika aku mendapatkan smartphone-paling-mahal yang pernah kupunya. Dan ayahku, umurnya lima puluh. Beberapa tahun lagi, dia akan pensiun. Ibuku berumur empat puluh lima dan dia belum pernah bekerja dan mungkin tidak akan menjalani pekerjaan yang menghasilkan uang, dan mungkin akan tetap terus menjadi ibu rumah tangga.

Aku juga ingat satu hari di mana aku meminta laptop seharga tujuhratus dollar pada orangtuaku dan di hari itu juga mereka membelinya. Waktu itu ayahku sudah purna dari pekerjaannya. Dan ibuku, ibuku tetap ibuku yang bekerja sebagai ibu rumah tangga tanpa menghasilkan uang.

Dan aku masih ingat hari-hari lainnya di mana aku meminta barang-barang mahal di atas harga seratus dollar Amerika kepada kedua orangtuaku. Belum lagi, ditambah uang bulananku yang harus selalu ajeg limaratus dollar per bulan.

Satu hal yang mereka ketahui tentangku adalah bahwa selama ini mereka menganggapku menggunakan barang yang mereka belikan untuk kepentingan kuliahku. Padahal mereka sepenuhnya salah.

Selama ini, aku tidak pernah menggunakan barang mahal yang mereka belikan untuk keperluan kuliah. Tidak pernah. Tidak sama sekali.

Ada banyak teman kuliahku yang hidupnya di kalangan menengah ke atas. Smartphone, laptop, tas, kamera, fashion, mobil, semuanya berada di kategori 'mahal' untuk kalangan menengah ke bawah seperti keluargaku. Pada awalnya aku menganggapnya remeh, biasa saja, dan mencuekkan segala sesuatu yang berharga 'mahal' dari teman kuliahku. Namun lama-kelamaan, tempat kuliahku malah jadi seperti tempat 'pameran lomba barang mahal'.

Dan di situ, di tengah-tengah orang kaya itu, aku seperti tidak pernah ada. Sahabat laki-lakiku, teman perempuanku, semuanya berubah mengikuti tren masa kini. Dan aku? Oh ayolah, tidak ada salahnya kan jika aku sedikit ingin tampil di mata mereka--meskipun hanya sekadar memamerkan gadget baru? Laptop baru? Mobil baru?

Jadi, ya. Motifku menginginkan semua barang mahal itu sudah jelas. Tren masa kini.

Namun kini, semua itu hanya tinggal kenangan. Kenangan tentang masa kuliahku yang kacau-balau. Seharusnya dulu aku tidak seceroboh itu. Seharusnya aku tidak membohongi orangtuaku dengan menyia-nyiakan uang mereka--yang seharusnya digunakan untuk masa tua mereka--tetapi malah kugunakan untuk hal-tidak-penting dan hal-termahal-yang-pernah-kubeli, yaitu mobil baru.

Aku ini memang bodoh. Idiot. Egois. Pecundang. Serakah. Kejam. Munafik. Aku sehajat itu sampai-sampai membiarkan orangtuaku pergi begitu saja setelah semakin menua dan aku sedang tidak bersama mereka saat itu. Bahkan, jarang sekali aku berkunjung.

Orangtuaku, mereka kecelakaan. Ayahku yang mengemudikan mobilnya, dan ibu di samping kemudi.

Tetangga samping rumah orangtuaku berkata di telepon bahwa orangtuaku mengalami kecelakaan dan meninggal saat sedang di perjalanan menuju ke flatku. Akan mengunjungiku.

Dan sekarang ini, aku sedang mengalami masa keterpurukan dalam hidupku. Hidupku kacau. Aku harus menanggung hutang-hutang orangtuaku yang sebenarnya adalah hutangku sendiri atas barang-barang mahal yang kuminta dari mereka.

Sungguh aku menyesal. Jika saja aku bisa memutarbalikkan waktu, aku berjanji tidak akan tergoda dengan teman-temanku. Aku berjanji tidak akan meminta barang mahal pada orangtuaku. Aku bersumpah Dengan Nama Tuhan Yang Maha Esa bahwa aku akan mengunjungi rumah mereka dua kali seminggu.

Jika itu semua terjadi, aku tak harus menanggung hutangku sendiri saat ini. Aku tak harus kehilangan orangtuaku karena kecelakaan sadis itu.

Trrrtt... trrrtt... trrrtt...

Ponselku bergetar. Aku segera merogohnya dari saku. Oh, sial. 7865. Nomor itu lagi.

Skenario 04 : 7865,
Fin.

Sebuah Akhir yang Tidak MenyenangkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang