Pencuri Kecil
"Copet!!! Bocah gadungan itu copet!"
"Kejar dia!"
"Keparat! Ayolah, itu dompetku!"
Seorang bocah laki-laki. Sejak semenit yang lalu dia menjadi buronan sejumlah warga kota metropolitan ini.
Beberapa orang terus mengejarnya--termasuk si pemilik dompet. Ketika si bocah berbelok di persimpangan trotoar, dia menabrak seseorang dan setelah itu si bocah terjatuh. Rupanya, yang dia tabrak adalah seorang wanita muda. Kini wanita muda menatapnya dengan sengit.
Ketika bocah itu baru akan berdiri, seorang pemuda menarik paksa lengannya. Bocah itu terhempas ke trotoar lagi setelah pemuda itu membantingnya.
Bocah kecil mengernyit kesakitan. Tubuh kecilnya yang kurus dan ringkih semakin tak berdaya akibat terbentur aspal.
Dia ingin bangkit. Sangat ingin. Dan setelahnya, kabur dari situ dengan atau tidak membawa tas korban yang dia curi. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana supaya dirinya bisa selamat.
Namun, terlambat sudah. Kerumunan warga yang tadi mengejarnya, tiba-tiba saja datang ke tempat bocah itu. Parahnya, tanpa rasa kasihan sedikit pun, mereka memukuli bocah malang tersebut. Ada tiga orang yang memukuli si bocah, sementara dua lainnya hanya menonton di sekelilingnya.
Pukulan belum berhenti, padahal si bocah malang sudah merengek ampunan dengan menjerit keras-keras. Entah kenapa ketiga orang itu seperti tidak berperasaan.
"Sudah, sudah cukup!" teriak seseorang yang muncul dari belakang gerombolan para pemukul.
Seorang wanita muda. Ya, wanita muda yang tadi ditabrak si bocah yang membuatnya menatap sinis bocah itu. Kini wanita itu tengah melerai pemukulan mereka. Berusaha menjauhkan orang-orang dari si bocah malang yang meringkuk kesakitan di antara kerumunan.
Wanita muda bertanya, "Kau tak apa?" Sambil membantu sang bocah untuk bangkit.
Dengan wajah yang penuh memar, si bocah berusaha menjawab, "Kurasa aku baik-baik saja. Terima kasih."
Dan, ketika si bocah menatap sekilas wajah wanita yang membantunya, terlihat seulas senyum di bibirnya. Senyum kelegaan. Mungkin itu adalah sebuah pertanda bahwa ia mengkhawatirkan bocah kecil itu. "Syukurlah," gumamnya lirih.
▪▫▪
Jalanan sepi, langit gelap dan mendung. Tampaknya sebentar lagi waktunya turun hujan.
Seorang anak lelaki berjalan pincang di trotoar jalan raya. Berjalan tanpa alas kaki, dan dengan baju kotak-kotak yang lusuh dan robek di sana-sini.
Anak itu terus berjalan sepanjang trotoar, sekuat yang dia bisa. Sebelah matanya melepuh biru, bekas pukulan. Hidungnya berdarah, dan bahkan sekarang darahnya sudah mulai mengering.
Mukanya sudah tidak karuan lagi, tak pantas dilihat. Atau bahkan orang bisa jijik melihat keadaannya. Bisa saja sewaktu-waktu dia jatuh di jalanan itu dan tidak ada seorang pun yang melihatnya--karena saat ini adalah tepat tengah malam.
Kaki pincang, kulit membiru, mata bengkak, baju sobek-sobek, dan bau. Ya, bocah itu sudah terbiasa dengan semua itu. Hampir setiap hari ia mengalami kehidupan yang hampir sama seperti itu.
Setiap kali si bocah tertangkap basah oleh massa, kebanyakan dia selalu dihabisi. Hanya beberapa kali kejadian yang diselesaikan secara damai. Mereka yang berbaik hati, mengampuni dan membiarkan bocah malang itu pergi begitu saja tanpa dipukuli sedikit pun.
Tidak ada pekerjaan lain si bocah selain terpaksa menjadi pencuri kecil. Hal itu ia lakukan semata-mata hanya karena alasan untuk bertahan hidup. Dia harus menanggung dua adik kecil di rumah kardusnya. Adik pertamanya berumur lima, sementara yang kedua berumur empat. Mereka tentu belum terlalu mengerti soal uang dan bagaimana cara mendapatkannya. Jadi, terpaksalah si kakak tertua harus menghidupi mereka dengan cara apa pun.
Bocah yang tadi menyusuri trotoar itu kini telah sampai di halaman rumah kardusnya. Dengan pincang, ia berjalan ke arah rumah. Kemudian, si bocah masuk ke dalam. Rupanya, kedua adiknya tengah tertidur dengan memeluk satu sama lain, berbagi kehangatan.
Rupanya, mengetahui kehadiran sang kakak, adiknya yang berumur empat tahun terbangun. Gadis kecil itu mengucek matanya, lalu terlihat kilatan penuh harapan pada bola matanya. Kemudian si gadis kecil terduduk, sambil bertanya pada kakaknya, "Hari ini kita makan apa Kak?"
Si kakak menatap adiknya sendu, dan menjawab lirih, "Sebaiknya kita puasa lagi kali ini."
Skenario 01 : Pencuri Kecil,
Fin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Akhir yang Tidak Menyenangkan
Cerita Pendekkumpulan akhir yang tidak menyenangkan dari segelintir kisah yang berakhir tidak menyenangkan 2018-2019