Prolog

8.4K 263 42
                                    

🎶 Hivi - Remaja

***

Di pagi buta, seusai salat subuh berjamaah bersama kedua orang tuanya, Arsyila bermunajat, memanjatkan doa, lalu membaca ayat suci Alquran. Setelah itu, ia bergegas mandi dan bersiap-siap untuk memasak makanan.

Untuk siapa?

Tentu saja untuk kedua orang tuanya yang bernama Sultan dan Rani. Mereka berdua adalah seorang petani yang sangat rajin. Pergi pagi, pulang petang. Pergi sebelum ayam berkokok dan pulang saat matahari tenggelam. Sebegitu rajinnya orang tua Arsyila, sampai akhirnya sifat baik itu pun menurun pada anak sematawayangnya yang berparas ayu.

Arsyila Pramudya Nazla. Nama yang indah. Adalah pemberian dari kedua orang tuanya yaitu Pak Sultan dan Bu Rani. Di balik namanya tersimpan banyak makna, doa-doa baik, dan harapan-harapan. Seperti kata orang bahwa nama adalah doa.

"Nama itu doa, Arsyi. Maka dari itu, Ayah ingin memberikan nama yang terbaik untuk putri kecil Ayah.... Sebab, kamu adalah hadiah terindah yang telah Allah karuniakan untuk Ayah dan Ibu," kata Ayah waktu itu, saat aku masih kelas delapan SMP.

Kala itu, kami tengah berbincang-bincang sembari tertawa riang di sebuah saung di tepi sawah milik Juragan Suwandi yang juga menjabat sebagai Kepala Desa.

"Selain aku, hadiah terindah di mata Ayah siapa lagi?" tanya Arsyila sebelum menyesap teh hangat.

"Siapa, ya?" Ayah tampak sedang berpikir keras seraya mengetuk-ngetuk ujung jari telunjuk ke dagunya.

Ibu mendesah kasar sebagai isyarat bahwa ia sedang kesal, karena merasa tidak dianggap alias tidak dipedulikan. "Kacang-kacang-kacang! Murah-murah-murah!" celetuknya seraya mencebik kesal. Bibirnya pun tampak berkedut, manyun.

"Pak,Pak! Lihat, tuh! Ibu jealous," sindir Arsyila secara terang-terangan. Tanpa berbisik dan embel-embel membicarakan dari belakang. Arsyila, gadis berambut hitam legam nan panjang itu, tampak terkekeh geli melihat kecemburuan sang Ibu pada anaknya sendiri. Sungguh, baginya itu lucu, karena memang Rani itu jarang-jarang cemburuan seperti ini.

"Cie-cieee, Ibu cemburu...," ejek Sultan pada istri tercintanya, Rani.

Ibu mendengkus seraya memalingkan wajah. Ia memandang ke arah pesawahan milik para warga yang begitu luas dan bulan ini sedang musim panen. "Ish!"

"Ibu kalo lagi cemburu gini jadi makin cantik ya, Ayah?" kata Arsyila seraya tersenyum sumringah.

"Iya, dong! Istri ayah emang udah ayu dari lahirnya. Kecantikannya itu melebihi para bidadari di surga, ya... meskipun Ayah belum pernah ke sana." Sultan mengiyakan seraya merangkul bahu Rani.

Sontak, Rani yang tengah duduk bersila di samping Sultan pun tertunduk malu. Sudah pasti, pipinya itu memerah merona. Blushed-nya tidak terkendalikan. Dan, Arsyila bisa melihatnya dengan cukup jelas. Begitu pun dengan Sultan.

"Makasih ya, Bu ... Selama ini, Ibu udah sabar banget ngurusin Ayah yang begini adanya, juga Arsyila---putri kita," tutur Samsul dengan penuh ketulusan. Tone bicaranya pun lembut, selembut beludru dan kain sutra. Dan, tangannya beralih untuk memegangi bahu Rani. Sehingga, jarak mereka berdua jadi lebih berdekatan.

Setelah itu, Rani berhamburan memeluk Sultan. Sebab, ia tidak sanggup berkata-kata lagi. Ia terharu.

Tidak lama kemudian, sesi peluk-pelukan itu pun berakhir. Berlanjut dengan kegiatan yang acapkali membuat para petani senang: memanen padi.

Arsyila pun turut andil dalam proses pemanenan itu. Ia memakai topi caping berbahan bambu serta sarung tangan agar telapak tangannya tidak terasa perih oleh tajamnya daun padi saat dicabut.

Luka dalam Rindu #KyFaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang