Strange

121 7 1
                                    

Creepy Story: Aneh

.

.

.

Aku memicingkan mataku, tertangkap mobil Ford hitam ayahku dari jauh. Kuseret koperku yang super berat ini--padahal aku cuma membawa pakaian, beberapa ilalang tertimbun kebawah karna koperku.

"Cepat sayang!" Ujar ayah dengan santai, sebuah kacamata hitam bertaut dimukanya. Ia melambai dari mobil seraya mengembangkan senyumnya.

"iya!" Teriakku, berusaha menambah laju kakiku. Aku mengusap peluh dahiku yang terhalang oleh paruh topi bergambar Garfield. Uh, matahari musim panas memang mengerikan. Bahkan saat pukul 8 pagi.

Aku membanting saja tas berat ini kedalam, saudara kembarku yang tampak serupa fotokopianku sedang sibuk dengan buku The Last Dial yang ia cerna serius sekali. Ia duduk didepan bersama ayah. Penyakit kutu bukunya kambuh, cibirku sambil membenamkan tubuhku kedalam jok mobil. Ibu fokus sekali pada gadgetnya, tak menggubris atau sekadar memberi lirikan padaku. Aku memiringkan kepalaku, menatap layarnya yang menampilkan tempat tempat terbagus di San Fransisco. Woow.. ibu mencari tempat piknik kita.

Ya! Kami akan ke San Fransisco untuk liburan musim panas. Aku tak terlalu suka ide tentang pergi piknik, aku tipikal 'pecinta rumah'. Tapi, yeah, sesekali tak ada salahnya bukan?

Mobil mulai bergerak, menggilas jalanan yang gersang. Aroma jalanan itu tercium olehku, dan refleks aku menutup kaca mobil. Kami terdiam dalam kesenyapan, sibuk dengan masing masing, satu satunya yang tercerna di telinga adalah bunyi deru mobil yang jelek sekali menurutku.

Aku menyangga kepalaku ke kaca. Melirik keliaran tanah hampa diluar. Lima menit kemudian, aku tak juga mengubah poseku, kudapati tanah hampa itu sekarang teralihkan menjadi hutan yang, uh, terlalu rimbun menurutku. 

Aku jadi rindu memeluk gulingku yang kutinggalkan dirumah.

Kicauan kicauan burung aneh mulai bertebaran ketika mobil ayahku semakin melesak kedalam teritori pohon pohon itu. Karena efek dari anak rumahan, aku benar benar asing dengan tempat ini. Pohon pohonnya. Semaknya. Daunnya. Jalannya.

Tahu tahu aku menyadari satu hal. Tempat ini semakin gelap dan gelap, bukan, kau salah. Gelap yang kumaksud bukan gelap karena mendung. Tak mungkin juga pagi ini gelap seperti mau petang. Kucek jamku. 10:13. Seperti yang kukatakan. Ini lebih seperti seolah olah pepohonan itu makin rapat dan kompak menutup barisan cahaya yang ingin menerobos. Seakan tumbuhan itu sengaja melakukannya--aku teringat cerita kakek tentang penyihir dan monster hutan. Apa penyihir itu yang membuatnya?

Kutepuk jidatku cepat. Oh-yaampun? Lizzie Hathor yang berumur 17 tahun sekarang memercayai cerita dongeng bual bualan anak kecil. Pikiranku memang kacau. Sejak kapan omong kosong ini memengaruhiku? Tentu saja itu hanya dongeng.

Frekuensi kicauan burung hutan semakin banyak. Aku termenung melirik gumpalan awan mendung, tiba tiba suatu perasaan yang mencekam merasukiku. Aku berusaha mengabaikan nya dengan menatap natap keluar, tapi kurasa aku tak bisa--semakin aku melakukannya, perasaan tak enak ini semakin kuat. Entahlah--aku susah menjelaskannya. Terlalu... hening dan janggal untuk sebuah hutan. Itu membuat aku merinding dan berpikir sesuatu tidak beres.

Tapi, ternyata dugaanku benar tentang sesuatu yang tidak beres.

“Hahahah... kheh…” Ivy tertawa melihat mobil ini keluar dari jalan raya, suara kembarku memecah kesenyapan, mendirikan bulu kudukku. Entah mengapa suaranya jadi aneh sekali--sangat serak dan nyaris menyerupai gumaman.

Mobil kami akan menabrak pohon tua itu! Aku sontak melonjak kearah Ayah. Tapi ayah tidak bergeming, seakan akan tidak melihat pohon didepannya, janggal--pikirku. Mobil kuno ini bahkan sudah melenceng jauh dari jalan dan telah menembus ke hutan belantara. Kenapa dia tidak berbelok?

“Kita akan menabrak pohon dad!” Pekikku.

Ia membeku, tanpa menoleh. Suasana dimobil bergerus jadi panas, tapi anehnya, semua terlihat biasa biasa saja, kecuali aku.

“Dad! Kumohon hentikan! Kita bisa kecelakaan!”

Kali ini ayah berbalik ke arahku, ia tampak tegang tapi sekaligus juga bersikap santai. Saat itulah jantungku nyaris terhenti seketika. Aku memekik tertahan, syok.

Wajahnya telah berbanjirkan darah, mata yang hancur dan rahang patah. Seluruh mukanya remuk, aku tidak bisa melihat rautnya dengan jelas lagi. Bahkan kacamata hitamnya menancap didaging daging merah mudanya. Ia menatapku dekat dekat, terlihat mengerikan.

“Apa kau tahu, dua menit yang lalu kita semua baru saja kecelakaan?”
***

DC

My NightmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang