Part.18 Kehamilan

11.2K 510 4
                                    

"Mas aku hamil. " ucap Laras pada rangga saat makan malam.

" Oh ya? Berapa bulan? " tanya Rangga yang saat itu raut wajahnya berubah bahagia.

" mau tiga bulan. " jawab Laras senang karena melihat wajah dingin suaminya menjadi sangat hanyat.

" Gugurkan. " ucap Rangga tiba-tiba bagai petir yang menyambar kepala Laras.

Wajah Rangga yang hangat kini berubah kembali dengan cepat menjadi begitu panas.

" Astagfirullah, aku gak mungkin melakukan itu mas. " jawab Laras menangis.

" Anak itu tidak akan bahagia seumur hidupnya jika aku yang menjadi ayahnya. Kaya kamu kan?  Harusnya kamu itu menikah dengan Dino saja yang jelas-jelas sayang sama kamu. " ucap Rangga menatap Laras sinis.

" kenapa sih mas harus bawa-bawa Dino, aku dan dia ga pernah ada hubungan apa-apa mas, apa kesalahanku mengenal Dino menjadikan aku salah besar seumur hidupku?  Kenapa anak ini tidak akan bahagia jika kamu yang menjadi ayahnya?" tanya Laras menatap suaminya dengan air mata yang bercucuran di pelupuk matanya.

" Karena aku tidak sekaya Dino. Aku apa saking kekurangannya aku, aku harus menikah denganmu hanya untuk menyelamatkan perusahaan orang tuaku. "

" jadi mas menyesal menikah denganku? "

"Ya. " ucap Rangga memalingkan wajah.

" jadi apa yang ingin kamu lakukan sekarang? " tanya Laras.

" sebaiknya kita berpisah " kata Rangga yang membuat dada Laras semakin sesak.

" kamu mau menceraikanku mas? " tanya Laras dengan suaranya lirih.

" aku bahkan tidak mau melihat wajahmu. "

Laras terdiam, dia berpikir sampai pada akhirnya  di memutuskan sesuatu.

" jika tidak adanya aku di hidupmu akan membuatmu bahagia, aku akan mengalah. " kata Laras yang  membuat Rangga tidak percaya, jika istrinya akan berbicara seperti itu.

" Sudah ku duga, kamu juga memang menginginkan berpisah dariku bukan?  Suami macam apa aku? Bahkan memberikan kebahagiaan untuk istriku saja aku tidak mampu. " ucap Rangga lalu pergi dari pandangan istrinya.

*****

Sebulan ini Laras berusaha jadi istri yang lebih baik, tak perduli Rangga marah, kasar atau bahkan tidak mau memakan masakannya sekalipun. Setiap hari Laras menjantarkan bekal ke kantor suaminya meski pada akhirnya Rangga membuangnya ke tempat sampah di hadapannya. Laras berusaha menciptakan suasana hangat seperti memeluk dan mencium suaminya meski pada akhirnya dia di dorong dengan kasar oleh suaminya bahkan banyak lagi.

Laras merasa sudah cukup. Kini dia membenahi beberapa pakaiannya ke dalam tas. Dia memutuskan untuk pergi meski berat rasanya meski tetap tinggal pun sama saja beratnya.

*****

Rangga pulang ke rumahnya larut. Dia langsung tidur di sofa tanpa mengganti pakaiannya. Hari ini dia bangun siang karena tidak sadar jika hari telah pagi. Biasanya pagi-pagi seperti ini Laras membangunkannya tetapi pagi ini tidak. Di dapurpun Rangga tidak mendengar istrinya memasak. Rangga duduk lama sekali di sofa tetapi dia tidak melihat Laras yang biasanya menyiapkan kopi untuknya meski tak pernah ia minum. Apakah dia masih tidur?  Apakah dia sakit?  Seribu pertanyaan ada di benaknya.

Rangga mencoba melihat Laras di kamarnya, tetapi Laras tak ada di sana. Dia hanya meninggalkan sepucuk surat untuknya.

Dear suamiku sayang

Sayang aku pamit ya. Maaf jika aku belum bisa menjadi istri yang baik menurutmu mas. Semoga kamu sehat terus ya mas. Aku akan selalu mendoakanmu. Terimakasih karena telah menjadi suamiku. Terimakasih karena telah mencintaiku. Aku akan menjaga buah Cinta kita dengan baik sayang. Aku akan membesarkannya dengan baik. Jika dia lahir nanti aku akan bilang padanya jika papahnya pria yang sangat tampan dan baik. Terimakasih telah melamarku malam itu, aku akan mengingatnya seumur hidupku, aku akan terus mencintaimu mas. Semoga kamu bahagia selalu.

Mengapa bukankah ini kemauannya?  Kenapa kini Rangga menangis seperginya Laras? Dia merasa sangat buruk. Dia memukul-mukul kepalanya dengan kedua tangannya. Kadang meremas rambutnya kuat-kuat. Dia terus menangis sampai matanya sembab. Hari-harinya kini kian sepi. Tanpa seseorang yang begitu hangat dan memperhatikannya. Tidak ada lagi yang membuatkannya sarapan di pagi hari, menyiapkan pakaian setelah ia mandi, bahkan menunggunya sepulang kerja. Tidak ada lagi yang mengantar makanan ke kantornya. Setiap hari dia menatap layar handphonenya berharap Laras menelpon atau mengirim pesan tanpa ada keberanian untuk menghubunginya terlebih dahulu.

Hari ini seperti ada alasan untuk ke rumah mertuanya. Barangkali Laras disana. Jantungnya berdebar kencang saat turun dari mobilnya menapakan kaki di depan rumah mertuanya.

" Assalamualaikum. " ucapnya sambil mengetuk pintu.

"Wa'alaikum sallam. " jawab seorang wanita yang sudah terlihat sedikit keriput menghampirinya.

" eh nak Rangga, sini masuk. Ada apa sayang? " ucap ibu mertuanya.

"Ini bu, saya mau memberikan laporan-laporan yang harus Ayah tanda tangani. " jawabnya nya sambil sesekali matanya melirik ke daerah lain.

" oh iya terimakasih ya. Nanti ibu antar ke kantor setelah Ayah tanda tangan. " jawab mertuanya sambil mengambil berkas-berkas yang di bawa Rangga.

" Bu, apa.. Emmhh Laras.. Sering main kesini? " tanya Rangga sungkan.

" Laras empat hari yang lalu kesini, katanya kangen sama ibu dan ayah. Dia bilang sedang hamil. Selamat ya kalian akan menjadi orangtua. Kalian itu harus saling menjaga apalagi mau punya anak harus rukun. " ucap mertuanya tersenyum.

Rangga menunduk mendengarnya. Hatinya terasa teriris.

"Maafkan aku bu, " ucap Rangga menahan tangis matanya berkaca-kaca.

" kenapa sayang?  Kalian bertengkar? " tanya ibu mertuanya.

" hmm.. Aku ada meeting hari ini, aku pamit ya bu. " ucap Rangga tiba-tiba bangik dari tempat duduknya.

*****

RAJUTAN ASMARA  ( TAMAT )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang