Solo, 12 Mei 2004
Suara bising yang berasal dari sepasang suami istri membuat atmosfer rumah menjadi tegang. Seorang anak laki-laki yang terduduk di bawah meja makan mencengkram baju yang sedang ia kenakan dengan erat, berusaha menutup telinganya dari suara bising itu. Sementara seorang anak perempuan yang usianya lebih muda darinya sedang menahan isak tangisnya sembari mendekap boneka beruang kesayangannya. Mata cokelat bening milik anak laki-laki itu terpejam, napasnya memburu menahan air mata yang ingin sekali terkuak.
Anak laki-laki itu menenggelamkan wajahnya diantara kedua lutut yang ia tekuk. Semuanya ia tenggelamkan. Saat-saat indah yang ia jalani di rumah sederhana ini hilang begitu saja. Seakan tidak pernah terjadi sedetikpun.
Sebuah tangan terulur untuk menarik tangan anak perempuan di sebelahnya. Memaksanya untuk keluar dari tempat persembunyian dan ikut keluar dari dalam rumah ini. Dengan cepat anak laki-laki itu menarik satu tangan ana perempuan yang masih terbebas begitu anak perempuan itu berteriak memanggil namanya.
Anak laki-laki itu menarik tangan anak perempuan dengan kuat. Dibantu oleh seorang perempuan paruh baya dan akhirnya cengkraman tangan kekar itu terlepas dari sang anak perempuan yang malang.
Dengan cepat anak laki-laki itu menarik anak perempuan yang sudah menangis tersedu-sedu ke dalam pelukannya. Perempuan paruh baya yang berstatus sebagai Ibu dari kedua anak tersebut mendaratkan sebuah tamparan yang cukup keras di pipi sang pemilik tangan kekar yag berstatus sebagai Ayah dari kedua anak tersebut.
Merasa dirinya sudah dipermalukan di hadapan kedua anaknya, sang Ayah balas menampar sang Ibu. Bahkan lebih keras daripada itu hingga membuatnya jatuh tersungkur. Melihat Ibunya di perlakukan seperti itu, anak laki-laki bangkit dari tempatnya kemudian berusaha memberi hajaran yang lebih dari apa yang sudah ia berikan kepada sang Ibu. Namun apa daya. Anak laki-laki tersebut masih terlalu pendek dan lemah. Ia juga tersungkur di kaki sang Ibu dan membuat pelipisnya mengeluarkan darah karena terbentur ubin rumah yang terasa dingin.
Dengan perasaan tidak berdosa, sang Ayah beranjak meninggalkan rumah yang sebelumnya selalu terasa hangat kini menjadi dingin dan menegangkan. Meninggalkan rumah yang sebelumnya selalu rapih kini menjadi berantakan tak keruan. Meninggalkan sang Istri yang selalu menunggu dan menyambut kedatangannya dengan penuh hati. Meninggalkan kedua anaknya yang selalu beranggapan jika dirinya adalah seorang Pahlawan.
Sang Ibu menarik kedua anaknya ke dalam dekapannya. Dengan penuh isakan tangis sang Ibu terus menerus mengucapkan kata maaf kepada kedua anaknya karena sudah memperlihatkan kekacauan yang seharusnya tidak mereka lihat.
Air mata anak laki-laki itu tidak dapat lagi tertampung. Ia menangis di dalam dekapan sang Ibu dengan perasaan yang sangat tercabik-cabik. Tangannya terkepal kuat dan mengucapkan beberapa janji untuk sang Ibu yang telah terkhianati dan untuk sang Ayah yang telah mengkhianati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ephemeral
Teen FictionBertutur tentang kisah seorang ibu yang kehilangan, sekumpulan sahabat yang merasakan kekosongan di dada, dan tentang cinta yang tak akan luntur.