Bagian Kedua

49 5 1
                                    

Dengan teliti Kaila memakai parfum patchouli kesayangannya di setiap sudut tubuhnya yang biasa ia pakaikan parfum. Harum khas miliknya ini seketika mendominasi ruang kamarnya dan diiringi dengan lagu Summer Girl yang dinyanyikan oleh Family Of The Year.

Tubuhnya bergerak selaras dengan irama musik sembari ditatapnya cermin yang berada tepat di hadapannya. Terpantulkan sesosok perempuan bertubuh mungil dengan kulit mulusnya yang berwarna putih, bola mata hitam pekat yang hangat, rambut hitamnya yang ia ikat, bibir manis yang menyembunyikan gigi kelinci di dalamnya. Namun sayangnya Kaila tidak dapat melihat pantulan dirinya.

Tatapannya sangat kosong menatap cermin di hadapannya. Tangannya terangkat untuk mencoba merasakan sesuatu dari cermin di hadapannya. Kaila mengerjapkan kedua matanya sesekali berusaha agar dapat melihat dirinya. Namun sekeras apapun ia berusaha, ia tidak bisa melihat apapun.

Kedua kakinya mulai menari begitu suara Swan Lake oleh Tchaikovsky terdengar mendominasi ruang kamarnya. Matanya menatap kosong ke sembarang arah sembari menggerakan tubuhnya sesuai dengan gerakan yang sangat ia kuasai. Ia terpejam begitu sudah dapat menyesuaikan gerakan dan menikmatinya.

Sekelibat bayang-bayang disaat dirinya berada di atas panggung mulai merasuki kepalanya. Kamarnya yang tidak terlalu luas ini mendadak menjadi panggung yang ia pijaki di masa itu. Tubuhnya yang mungil masih sama seperti masa itu. Ia masih dengan sangat gemulai melakukan gerakan-gerakan yang sudah seperti makanan sehari-harinya.

Namun seiring terputarnya lagu, semakin banyak bayang-bayang yang memaksa untuk masuk ke dalam kepalanya. Terutama salah satu bayang-bayang yang sama sekali tidak ingin ia ingat namun selalu saja menghantuinya.

Kakinya melemas dan terjatuh dengan mata yang masih terpejam. Dalam bayangnya Kaila juga terjatuh dengan posisi yang sama. Begitu ia sedikit mendongakkan kepalanya samar-samar dalam bayangnya Kaila melihat serpihan kaca yang entah berasal darimana sedang terjatuh mengarah tepat ke kedua bola matanya.

"Aaarrgghhhh!!!" jerit Kaila.

Kini Kaila meringkuk diatas lantai kamarnya yang terasa dingin. Kaila menangis sejadi-jadinya mengenang masa itu. Masa yang membuat dunianya menjadi seperti saat ini. Dunia yang tidak ia kenal sama sekali. Dunia yang sangat berbanding terbalik dengan dunianya yang seperti saat-saat dulu.

"Kaila, kamu kenapa?!" seru suara bariton khas yang Kaila sangat kenal.

"Berhenti!" pinta Kaila begitu ia merasakan Kanu—Abangnya—mulai berjalan mendekatinya. "Jangan mendekat! Abang keluar. Aku nggak mau ada orang di kamar aku." Pintanya lagi dengan tatapan kosongnya dihiasi oleh air mata yang sudah membanjiri wajahnya.

Kanu menatap Kaila dengan tatapan sedih. Ia tidak tahu sampai kapan adiknya ini akan seperti ini. Sudah tiga tahun berlalu semenjak kejadian itu, namun Kaila masih saja tidak bisa melupakan kejadian yang membuatnya kehilangan penglihatannya.

Dengan perlahan Kanu melangkahkan kakinya lagi mencoba mendekati Kaila yang masih menenggelamkan kepalanya di antara kedua kakinya. Tangannya mencoba meraih tubuh Kaila untuk dibawa masuk ke dalam dekapannya. Kaila masih terus meronta agar Kanu tidak berusaha menenangkannya. Namun bagaimanapun juga tubuh Kaila yang terlalu kecil kalah dengan tubuh Kanu yang lebih besar darinya.

"Jangan ada di sini, Bang. Kaila mau sendiri," rintih Kaila dalam dekapan Kanu. "Kaila nggak mau Abang terus urus Kaila yang sama sekali nggak bisa lihat keberadaan Abang."

Air mata Kanu sudah mulai membasahi wajahnya. "Kamu jangan ngomong gitu. Abang bakal terus jagain kamu. Abang bakal terus ada di samping kamu."

Kanu mengeratkan dekapannya agar Kaila dapat merasakan ketulusannya. Agar Kaila dapat mengerti jika dia tidak sendiri di dalam dunianya yang baru. Di dalam dunia gelap yang sama sekali tidak ada satu orangpun yang menginginkan berada di dalamnya.

EphemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang