"Selamat datang." Kata seorang laki-laki begitu mendengar suara lonceng yang ada diatas pintu terdengar ketika pintu itu terbuka.
Samudra tersenyum simpul mendengar sambutan dari laki-laki itu yang tidak lain adalah Guntoro—temannya sejak kecil. "Gun." Sapanya dengan suara yang hampir tidak terdengar.
Guntoro dengan cepat menghampiri Samudra yang baru saja duduk disalah satu kursi bar miliknya dengan seragam sekolah yang tidak ia kancingi. Ia menatap seluruh wajah Samudra yang berisikan luka lebam yang masih basah karena sepertinya tidak segera diobati oleh pemilik wajah itu.
"Kenapa muka?"
Samudra menghela napas. Menandakan dirinya tidak ingin membahas apa yang ditanyakan oleh teman kecilnya itu. Karena terlalu paham dengan sifat Samudra yang terlalu arogan itu, Guntoro menyudahkan sesi kecurigaannya kemudian memberikan Samudra segelas minuman.
"Bolos lagi?" Tanya Guntoro yang kembali diacuhkan oleh Samudra. "Mau jadi kaya gue? Putus sekolah?"
"Berisik."
Guntoro menghela napas kasar untuk menghadapi seorang manusia—berwajah bak dewa namun bersifat bak iblis—yang sedang menikmati minumannya itu. Dipikirannya sedang mencari topik pembicaraan apa yang akan ia bicarakan dengan Samudra. Sangat-sangat dipikirkan agar tidak diacuhkan lagi olehnya.
"Oh iya," ujar Guntoro yang membuat Samudra sedikit menoleh. "Kemarin ada cewek kesini, cari lo. Katanya dia temen satu kelas lo. Cakep. Polos gitu mukanya. Tipe gue banget sih—
—eh tapi bukan itu yang mau gue ceritain. Dia pas ngobrol sama gue tuh kaya cari-cari topik yang bikin gue ngasih tau dia tentang lo gitu. Paham nggak?"
Samudra menghela napas kemudian menggelengkan kepalanya. Menandakan jika ia tidak mencerna perkataan Guntoro yang terlalu berbelit menurutnya.
"Jadi tuh dia awalnya kayak sok pesen makan sama minum gitu. Terus lama-lama jadi nanyain lo sering kesini? Gue temennya lo? Kapan lo kesini? Terus kenalin namanya,"
"Raisha?"
Guntoro mengentikkan jarinya, "nah itu dia namanya."
Jawaban Guntoro benar-benar membuat Samudra kembali tenang. Bahkan lebih tenang dari sebelumnya. Dalam pikirannya ia sedang berpikir kenapa perempuan terkenal seantero sekolahnya itu terus membuntutinya.
Wajahnya yang polos, senyumannya yang sangat manis, suara dan tutur katanya yang lembut dan sikapnya yang selalu suci seperti anak kecil membuat namanya sering dijadikan bulan-bulanan siswa/siswi di sekolahnya. Ibarat kata, Raisha ini Samudra versi perempuan. Namun perbedaan keduanya terdapat pada sikap yang sangat bertolak belakang.
Sebenarnya Samudra tahu kenapa perempuan itu—Raisha sangat terobsesi padanya. Hanya saja ia benar-benar ingin memastikan apakah Raisha seperti apa yang selama ini ia duga atau justru itu hanya dugaannya saja.
Samudra menggeleng pelan untuk menepis semua pikirannya yang tertuju pada perempuan yang pernah mengaku menyukainya itu. Tangannya terangkat untuk merogoh saku celananya. Dikeluarkannya sekotak gulungan tembakau beserta alat untuk membakarnya.
Disulutnya satu batang yang sudah berada diantara dua bibir tebal merah-mudanya itu. Begitu bara api dari tembakau itu sudah menyala, perlahan Samudra menghisap ujung gulungan itu yang terasa manis. Sedetik kemudian Samudra terbatuk-batuk begitu asap dari gulungan tembakau itu yang seharusnya ia buang malah ia sedot kedalam tenggorokannya.
"Mangkannya Sam, kalau nggak pernah ngerokok jangan sok-sokan." Ejek Guntoro dengan nada yang tidak teratur karena sedang menertawakan tingkah konyol teman kecilnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ephemeral
Teen FictionBertutur tentang kisah seorang ibu yang kehilangan, sekumpulan sahabat yang merasakan kekosongan di dada, dan tentang cinta yang tak akan luntur.