Bagian Pertama

74 8 4
                                    

Jakarta, 12 Mei 2019

Jemarinya dengan lihai menari diatas senar gitar kesayangannya. Ditatapnya sebuah pigura dengan tatapan kosong.

Bibirnya bersenandung, menyanyikan sebuah lagu yang selalu dinyanyikan oleh sang Ayah saat ia kecil. Hari ini kembali Samudra mengenang semuanya. Mengenang hari dimana kejadian itu berlangsung tepat dikedua matanya.

17 tahun sudah terlewati. Samudra selalu mengenang hari ini dengan menyanyikan sebuah lagu yang selalu dinyanyikan oleh Ayahnya sembari menatap pigura keluarga mereka yang sedang tersenyum bahagia.

Samudra tertawa mendengus beriringan bulir air matanya jatuh.

Ia tertawa untuk menertawakan pigura itu. Yang dimana terdapat kepalsuan yang jelas terpampang pada raut wajah Ibu dan Ayahnya. Maka untuk itu ia tertawa.

Ia menangis untuk menangisi pigura itu. Yang dimana untuk tujuh belas tahun ini ia tidak dapat melihat senyum dari Ibu dan Ayahnya. Bahkan senyumnya sendiripun ia tidak pernah melihatnya lagi. Maka untuk itu ia menangis.

Di ruangan ini. Ruangan rahasia yang selama ini hanya dia yang mengetahuinya, Samudra menyimpan semuanya. Menyimpan kekesalannya. Menyimpan kesedihannya. Menyimpan penyesalannya.

I'm lying alone with my head on the phone
Thinking of you till it hurts
I know you hurt too but what else can we do
Tormented and torn apart
I wish I could carry your smile and my heart
For times when my life feels so low
It would make me believe what tomorrow could bring
When today doesn't really know, doesn't really know

"Shit!" Umpat Samudra.

Suara bariton khasnya berhenti bernyanyi dan berganti mengeluarkan umpatan saat salah satu senar gitarnya terputus. Dengan penuh emosi Samudra melempar gitarnya ke sembarang arah. Ia menenggelamkan kepalanya di antara kedua lututnya yang ia tekuk.

Sungguh rasa sakit yang ada di dalam hatinya lebih terasa dibandingkan rasa sakit yang ada pada jemari yang terkena senar putus tadi. Tangannya meremas kemeja flanel yang sedang ia pakai. Meremas dengan sangat kuat hingga ia tidak sadar jika tangannya sudah mengeluarkan lebih banyak darah.

Seperti inilah kehidupannya setelah kejadian itu. Seperti inilah caranya mengenang kejadian itu.

=== EPHEMERAL ==

Hujan turun deras tepat ketika bus yang ditumpangi oleh Samudra berhenti di halte terakhir. Membuat seluruh penumpang yang ada di dalam bus itu berhamburan keluar dan cepat-cepat berteduh di halte. Beberapa dari mereka langsung membuka payung lalu pulang, tapi sisanya hanya bisa bertahan di tempat dan menggerutui cuaca hari ini.

Tangan Samudra yang semula berada di dalam saku celana yang ia pakai terulur untuk merasakan rintik hujan. Begitu tangannya sudah nyaris basah seluruhnya, Samudra mengembalikan tangannya ke posisi semula. Diniatkannya dalam hati untuk berjalan menembus hujan yang akan membasahi seluruh tubuhnya begitu ia terjang. Dalam hitungan ketiga—yang hanya ia yang dapat mendengarnya—kaki Samudra melangkah untuk menerjang hujan deras ini membuat semua mata tertuju kepadanya.

Langkahnya benar-benar biasa seperti ia berjalan tanpa adanya hujan deras yang sedang mengguyur tubuhnya itu. Penampakannya kini membuat pasang mata yang melihatnya mendadak membeku. Rambut hitam belah tengahnya yang mulai kehilangan bentuknya karena terkena air yang berasal dari langit, matanya yang sesekali menyipit menahan bulir-bulir air yang sudah berada di bulu matanya agar tidak masuk ke dalam matanya yang tenang itu, salah satu tangannya yang masih berada di dalam saku celananya, serta garis rahangnya yang semakin tajam. Ditambah lagi luka lebam yang menghiasi kesempurnaan wajahnya.

Secara mendadak langkahnya terhenti begitu ia mendapati seseorang menabrak tubuhnya dari arah belakang. Dengan cepat Samudra membalikkan tubuhnya untuk mengetahui siapa yang telah mengganggu ketenangan langkahnya.

"Ma-maaf," ucap seorang perempuan.

Samudra menghela napas, "kalau jalan liat-liat orang di depan." Katanya datar.

Samar-samar Samudra mendengar suara napas dari perempuan itu terengah-engah. Kening Samudra terpaut begitu melihat perempuan ini menangis di hadapannya. Tatapannya yang kosong menatap kearah sembarang dengan air matanya yang menyatu dengan air hujan.

"Kaila!"

Perempuan itu mendadak panik begitu mendengar suara yang tidak asing baginya memanggil namanya. Tangannya mulai terangkat ke depan untuk mengetahui ada apa di hadapannya kemudian dengan perlahan kakinya melangkah dengan posisi kedua tangannya yang masih sama seperti itu.

Samudra semakin mengernyit melihat perempuan itu mulai melangkah memasuki jalan yang sedang banyak di lalui oleh kendaraan-kendaraan yang berusaha menerobos hujan. Pandangan Samudra beralih kearah laki-laki yang sepertinya memanggil nama perempuan itu tadi. Laki-laki itu berlari sekencang yang ia bisa untuk menggapai tubuh perempuan itu.

"Lepasin! Lepasin aku!" rontak sang perempuan begitu laki-laki itu meraih tubuh mungilnya dan dengan cepat dibawanya ke pinggir jalan. Laki-laki itu terus memeluk tubuh perempuan walaupun meronta agar dilepaskan. "Nggak ada lagi yang harus aku lakuin, Bang. Selamanya hidup aku bakal terus kaya gini." Rintih perempuan itu.

Napas Samudra tertahan melihat kejadian yang terjadi di hadapannya ini. Tatapan perempuan itu memang kosong. Kosong karena perempuan itu tidak bisa melihat apapun yang ada di sekitarnya. Samudra mengerti mengapa perempuan itu menabrak tubuhnya tadi, dan mungkin perkataan Samudra tadi sedikit menyakiti hatinya.

Dengan tertatih laki-laki itu membawa tubuh perempuan itu yang masih dalam dekapannya untuk kembali berjalan—yang mungkin menuju rumah mereka. Sudut bibir Samudra terangkat sembari menatap punggung mereka yang semakin menjauh. Kemudian ia kembali melangkahkan kakinya dan melanjutkan perjalanannya.

EphemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang