Bagian Keenam

9 1 0
                                    

Samudra menghela napasnya begitu kedua pelupuk matanya terbuka. Sudah pagi, gumamnya dalam hati. Lagi-lagi ia harus menghadapi harinya yang biasa-biasa saja.

Dilangkahkan kakinya keluar menuju ruang tamu yang masih gelap. Tidak ada cahaya sedikitpun yang masuk ke dalam ruangan itu dikarenakan seluruh jendela yang masih tertutupi oleh sang pelindungnya. Dengan cepat tangannya menggapai gorden untuk mempersilahkan cahaya masuk untuk menerangi seisi rumahnya.

"Sam, maaf, Ibu bangunnya kesiangan."

Samudra menoleh begitu mendengar suara Sandra yang terdengar seperti habis menangis, "Ibu gak pa-pa?" tanyanya sembari segera mendekati Sandra. Sandra tersenyum begitu mendapati raut wajah Samudra yang dipenuhi tanda tanya menunggu jawaban darinya. "Emangnya Ibu kenapa?"

"Kok jadi balik nanya sih? Itu mata Ibu sembab, suaranya kaya gitu. Kenapa?"

"Mandi sana. Udah jam berapa ini? Nggak sekolah emang kamu?" Sandra mengalihkan pembicaraan.

Mata Samudra segera melirik jam dinding, sesaat kemudian helaan napas berat dikeluarkannya. Waktu memang tidak pernah memberinya kesempatan.

Dalam hati Samudra masih bertanya-tanya. Mengapa Ibunya terlihat seperti itu. Apa ada hal yang dilakukannya yang membuat Sandra menjadi sedih? Atau ada hal lain yang ditutupi oleh Sandra? Satu hal yang sangat Samudra benci yaitu melihat Sandra menangis. Karena satu tetes air mata yang turun di kedua pipi Sandra mengingatkannya akan kejadian itu.

Dengan berat hati, Samudra pergi meninggalkan rumah untuk berangkat ke sekolah. Ditatapnya wajah Sandra yang mengantarnya keluar hingga pekarangan rumah. Senyuman yang sedang digunakan untuk menutupi sesuatu. Senyuman yang perlahan menghilang seiring hilangnya tubuh Samudra dari jangkauannya.

== EPHEMERAL ==

"Sam, katanya ada anak baru ya? Kelas IPS 2 gitu,"

Samudra yang sangat tidak perduli dengan pernyataan dari Trisno mencoba menaikkan volume dari lagu yang sedang ia putar di walkmannya. "Bukan anak baru itu bego. Anak lama cuman baru masuk lagi ke sekolah." sahut Bagas.

"Abis cuti sih katanya. Kasian dia, masa buta." lanjut Bagas yang membuat Samudra perlahan menurunkan volume musiknya untuk mendengarkan percakapan antara dua temannya ini. "Astagfirullah kalo ngomong tuh disaring ngapa, dia nggak bisa liat kan karena ada kecelakaan," timbas Trisno.

"Iya kasian aja gitu. Udah mana cantik pisan, dia juga penari balet ya katanya. Yang narinya begini," Bagas beranjak dari kursinya lalu menirukan sebuah gerakan dari tarian balet sembari bergumam seakan ada musik yang mengiringi tariannya. "Namanya siapa dah ya, lupa gue." sambungnya dengan napas terengah-engah.

"Kaila namanya." Sahut seorang perempuan yang tiba-tiba ikut andil dalam percakapan mereka bertiga.

Mendengar nama itu, Samudra dengan cepat mencerna pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oleh kedua temannya tadi. Ia menyangkut pautkan semuanya dan berusaha mengingat seseorang yang nampaknya tidak asing di pendengarannya. Sampai pada akhirnya muncul satu wajah yang berkelibat di ingatannya. Dengan segera Samudra menyangkalnya karena tidak mungkin yang disebutkannya itu adalah Kaila yang ia tahu.

"Eh, Raisha," sapa Bagas ke seseorang yang baru saja turut bergabung ke percakapan mereka. Perempuan yang bernama Raisha itu tersenyum kemudian menoleh kearah Samudra yang masih berkutat dengan walkmannya, "Sam, udah makan? Kantin bareng yuk."

Samudra tidak menggubris Raisha sama sekali. Namun karena Raisha sudah terbiasa dengan penolakan dari Samudra, ia tetap berusaha agar Samudra mengeluarkan suara walaupun hanya satu kata saja.

"Aku traktir."

"Sama gue aja, Sha," sahut Trisno dan Bagas bersamaan. Samudra melirik kearah dua temannya itu yang sedang menyeringai kesenangan berharap direspon oleh Raisha, "gue cabut duluan." katanya sembari beranjak membawa tasnya yang sepertinya tidak ada isinya.

Samudra tetap berjalan meskipun banyak yang memanggilnya. Terutama sang ketua kelas yang sudah sangat lelah dengan sikap Samudra yang datang dan pergi semaunya. Padahal saat ini jam belum menunjukkan tanda-tanda pulang, tapi Samudra sudah terlebih dahulu memilih untuk meninggalkan sekolahnya ini.

Diiringi oleh musik dari Arctic Monkeys, ia melangkahkan kakinya ke setiap penjuru lorong di sekolahnya. Dengan banyak tatapan yang mengintimidasi dan menatapnya kagum. Wajahnya yang tampan benar-benar membuat semua mata kalap melihatnya. Ditambah dengan sifatnya yang acuh tak acuh membuat wajahnya lebih tampan berkali lipat.

Namun seketika langkahnya terhenti begitu ia melihat seorang perempuan dari ujung lorong sedang berjalan bersama the white canenya. Seseorang yang ia kenal. Seseorang yang sangat ingin ia temui. Dilangkahkannya lagi kakinya dan tidak perlu waktu lama Samudra sudah berada di hadapan perempuan ini.

"Pour Homme," gumam perempuan itu. "Tunggu,"

Samudra terdiam begitu perempuan ini masih mengingat wangi parfumnya.

"Kita sering ketemu ya," sambung perempuan ini begitu ia menyadari Samudra berhenti disebelahnya. "Nama aku Kaila, IPS 2." lanjutnya.

Samudra mencoba mengatur napasnya yang sudah mulai tidak karuan. "Nggak perlu tau nama gue siapa."

Dengan cepat Samudra melangkahkan kakinya kembali. Mencoba menjauh dari Kaila dan mencoba menetralkan detak jantungnya yang sudah tidak karuan. Samudra bersembunyi di balik tembok guna mengatur napasnya terlebih dahulu. Kemudian mencoba melirik dari balik tembok yang masih menampakkan tubuh Kaila yang terlihat kebingungan.

"Nama gue Samudra, mulai sekarang kita bakal lebih sering ketemu." bisiknya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 01, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

EphemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang