Sepeninggal Sela Anggara yang menuju biliknya untuk beristirahat, kedua tamu dari Pajang itu mempunyai banyak waktu untuk berbincang dengan Bondan.
Sesekali kedua orang tua itu mengerutkan kening menilai peristiwa-peristiwa yang dialami Bondan semenjak menginjak kakinya untuk pertama kali di kotaraja. Mereka sama sekali tidak mempunyai dugaan sebelumnya jika Bondan telah terlibat dalam beberapa pertempuran, dan sekali terlibat dalam pertempuran besar di Sumur Welut.
Kedua orang itu menundukkan kepala dan terbenam dalam angan ketika Bondan berkisah tentang Ki Wisanggeni dan anaknya, Lembu Daksa. Seusai Bondan berkisah tentang kejadian yang dilewati ayah dan anak itu, ketiga orang yang berada di pendapa terdiam beberapa lama.
Sambil menarik nafas dalam-dalam, Ki Hanggapati mengatakan, "Tentu sangat berat bagi Ki Wisanggeni untuk memutuskan ia harus berada di pihak yang mana. Begitu juga yang terjadi pada anaknya, Lembu Daksa. Aku sendiri mungkin tidak akan sanggup berbuat seperti Ki Wisanggeni atau Lembu Daksa. Menurutku, keduanya tidak dapat disalahkan atau juga dibenarkan. Karena masing-masing sudut dari kebenaran dan kesalahan adalah tergantung pendirian kita."
"Dan bukan tidak mungkin karena peristiwa itulah, akhirnya menjadikan sepak terjang Ki Wisanggeni seperti tidak ada kendali dalam dirinya," berkata Ki Swandanu.
Lalu katanya lagi," Sekelumit kisah di pertempuran Sumur Welut tidak dapat dijadikan landasan untuk menarik kesimpulan yang sangat penting terkait perubahan yang dialami oleh Ki Wisanggeni.
Namun begitu, jika ia dapat meloloskan diri dari pertempuran besar yang didalamnya ada Ki Jayapawira, Mpu Tandri dan Ki Banawa. Dan diantara berita pilu yang kita dengar, ternyata ada satu berita yang membanggakan. Angger Gumilang Prakasa mampu memimpin pasukan berkuda dalam jumlah besar dan sangat tangguh terlibat di peperangan yang luar biasa."
"Gumilang tidak berhenti untuk meluaskan wawasan, Kiai. Ia banyak menimba ilmu dari perwira-perwira yang lebih berpengalaman, terutama kepada Mpu Drana," kata Bondan.
Setapak ia bergeser maju. "Apa yang terjadi dengan Ki Wisanggeni di Pajang, Paman?" bertanya Bondan penasaran.
"Paman berdua akan mengatakan itu kepadamu, namun sudah tentu paman berdua tidak akan mendahului Nyi Retno dan Ki Banawa. Di kotaraja, mereka berdua adalah orang tua bagimu, Ngger. Dan aku kira malam ini kita tidak perlu terlalu dalam berbincang," Ki Swandanu menganggukan kepala dan Bondan melapangkan dadanya sambil menarik nafas panjang.
Lalu Bondan berkata, "Ki Wisanggeni. Pasukan Paman Ken Banawa memang tidak mengejarnya ketika meninggalkan medan pertempuran. Hanya saja aku tidak menyangka jika ia telah berada sangat jauh dari kotaraja."
"Marilah, Paman berdua dapat beristirahat di gandok kanan yang sudah disiapkan untuk paman berdua melepas lelah. Sementara kedua kuda Paman sudah dalam perawatan di halaman belakang," Bondan segera bangkit dan mendahului kedua orang Pajang berjalan menuju gandok kanan.
Malam yang terang dengan kerlip bintang seakan menenangkan penduduk kotaraja bahwa tidak akan terjadi sesuatu yang buruk malam itu. Sebenarnyalah keadaan kotaraja saat itu sudah cukup tenang di malam hari jika dibandingkan beberapa waktu lalu ketika Mantri Rukmasara tewas terbunuh di dalam rumahnya.
Sementara pada masa sebelum itu, para prajurit yang setia pada Lembu Sora dan Gajah Biru sesekali melakukan usaha untuk menuntut balas kematian kedua panglimanya. Namun permintaan mereka ditolak oleh Ra Dyan Wijaya dan sama sekali tidak diperhatikan oleh penerusnya, Sri Jayanegara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bara di Borobudur
Fiksi SejarahDengan berlatar belakang Kerajaan Majapahit di masa Sri Jayanegara, kisah Bara di Borobudur diawali dengan sebuah pertempuran di sekitar istana kaisar Tiongkok. Para penentang kaisar kemudian menuju ke Tanah Jawa dan berkelana di sekitar Gunung Merb...