Seventeen

754 81 2
                                    

Sementara itu ...

"Hampir saja," kata orang itu. "Terima kasih, ya."

"Huh, kalau tidak kutolong, kau pasti sudah jadi daging cincang!" omel temannya sambil merokok.

"Bagaimana ini? Senjata kita satu-satunya sudah diamankan polisi," kata orang itu lirih.

"Tenang saja, kau pikir berapa banyak senjata yang 'dia' punya?" kata temannya menenangkannya.

"Tapi, kita diperintahkan untuk mengambil senjata itu, lho," sahut orang itu.

Mereka berdua terdiam. Tiba-tiba, ada suara ringtone HP. Oh, rupanya ada panggilan masuk. Melihat nama di kontak si penelepon, dua orang itu langsung cepat-cepat menjawab panggilan tersebut.

"Halo?" jawab orang itu.

"Bagaimana dengan yang kuminta?" tanya seorang pemuda dari seberang sana.

"Maaf," jawab orang itu, "kami tidak bisa mendapatkannya."

"Bagaimana bisa?!" Omel pemuda itu di telepon. "Kalian hanya harus menghadapi seorang mahasiswa!"

"Kau pikir mudah, hah?!" balas orang itu. "Kami hampir mati karenanya!"

"Aku tidak peduli," kata pemuda itu dingin. "Kalau kalian tidak bisa mengambil senjata itu, bawa saja yang terpenting."

"'Yang terpenting'?" ulang orang itu.

"Ya," jelas pemuda itu. "Apapun, yang bisa membawa'nya' ke sini."

"Hei, hei ... apa kau serius?" orang itu mulai ketakutan.

"Tentu saja. Kau pikir aku pernah bermain-main?" jawab pemuda itu dengan sombongnya.

Setelah berdiskusi cukup lama dengan temannya, akhirnya ia menyanggupi perintah pemuda yang menghubunginya. Orang itu segera menutup teleponnya setelah itu.

Ia berbaring di tumpukan karung sambil menatap langit yang penuh bintang malam itu. Ingin sekali ia menangisi nasibnya yang amat sangat mengenaskan itu. Tapi demi mencukupi kebutuhan hidupnya, ia harus melakukannya.

Asal kalian tahu, ia sangat ketakutan ketika harus menghadapi Dianne satu lawan satu. Seandainya boleh memilih, ia akan lebih memilih mati kelaparan di tengah hutan, daripada harus berhadapan dengan seorang psikopat sadis berdarah dingin. Tapi waktu tidak akan bisa terulang kembali, ia sudah mengambil keputusan yang salah.

Saat itu, ia benar-benar tidak bisa lagi berpikir sehat. Yang ada di pikirannya adalah ia harus mendapatkan uang, segera. Sampai pemuda itu menawarkan sebuah pekerjaan. Tanpa pikir panjang, langsung diterimanya pekerjaan itu dan diajaklah temannya untuk ikut serta dalam pekerjaan itu.

Dan sekarang ia menyesal.

"Bodohnya aku," sesal orang itu. "Bodoh, bodoh, bodoh!"

"Tenang," kata temannya menenangkannya. "Kau sudah mengambil jalan yang benar."

"Tapi--"

"Tidurlah, besok kita masih harus bekerja," kata temannya memotong ucapannya.

Mereka berdua pun tidur. Walaupun cuma beralaskan setumpuk karung, itu sudah cukup. Ketika mereka berdua melarikan diri, mereka menemukan sebuah gubuk tua dan betapa senangnya mereka menemukan tempat berlindung. Walaupun cuma sementara.

***

Kepolisian divisi tindak kriminal dan pembunuhan sangat sibuk hari itu, mengingat insiden yang terjadi tadi malam. Beberapa anggota tim forensik tengah memeriksa sidik jari-sidik jari yang menempel di permukaan AK-47 itu. Ya, senapan itu diamankan kepolisian untuk sementara.

Sementara tim forensik tengah memeriksa barang bukti di kepolisian, para detektif polisi dan inspekturnya menyelidiki TKP. Tentu saja, Dianne ikut karena dia yang tahu tempatnya. Para detektif polisi melakukan penyelidikan TKP, sedangkan Dianne lebih tertarik pada sesuatu.

Ia menghampiri sebuah meja. Ia membuka laci meja itu, dan mendapati sebuah foto keluarga.

Dianne merasa mengenali orang-orang di dalam foto itu, apalagi dengan sosok bersurai blue black yang tersenyum menghadap kamera itu. Ia sangat mengenalinya.

"Ayah ...," gumam Dianne. "Aunt Hannah, Uncle Barney, dan ...

"Siapa ...?" tanya Dianne pada dirinya sendiri.

Ia mengenali orang-orang dalam foto itu, kecuali orang bersurai brunette di foto itu. Ia mencoba mengingat-ingat apakah ia punya nenek atau bibi dengan rambut brunette, tetapi yang ia tahu, ia tidak punya satupun keluarga dengan rambut brunette. Jika ada, hanya sepupu perempuannya. Itupun brunette ombre.

Dianne melihat ada jejak darah. Penasaran, ia mengikuti jejak darah tersebut. Ia tidak bisa bergerak leluasa karena harus menggunakan kursi roda sampai ia benar-benar pulih.

Tiba-tiba, ia merasa ada orang yang menarik kursi rodanya. Ia pun berhenti berjalan dan menengok ke belakang untuk melihat siapa orang itu.

Rupanya, seorang detektif polisi muda. Dianne terfokus pada surai dark blonde milik detektif polisi itu, terlihat sangat lembut dan halus. Sejenak, ia merasa iri karena rambut detektif polisi itu terlihat sangat lembut.

"Kenapa?" tanya Dianne.

"Ah, maaf. Kau belum diperbolehkan pergi ke sembarang tempat," jawab detektif polisi itu.

"Pasti perintah inspekturmu," tebak Dianne dan langsung dijawab anggukan oleh detektif polisi itu.

"Maaf kalau hal ini membuatmu tidak nyaman," kata detektif polisi itu meminta maaf. Dianne sebenarnya merasa risih dengan tingkah laku detektif polisi itu, terlalu sopan. Tapi ia tidak bisa apa-apa, untuk sekarang.

"Santai saja, tidak usah terlalu sopan padaku," kata Dianne. "Siapa namamu?"

"Victor, Victor Kent," jawab detektif polisi itu.

"Victor, ya ... keren juga namamu," komentar Dianne.

Dianne memilih untuk meninggalkan TKP. Ia berjalan keluar dari tempat itu menuju rumah sakit. Walaupun sulit berjalan dengan kursi roda, ia tetap melakukannya. Ia tidak ingin membuat teman-temannya khawatir.

Sesampainya di rumah sakit, ia langsung disambut oleh dokter yang menanganinya. Ia bingung, kenapa bukan teman-temannya yang menyambut kedatangannya. Dokter pun mengantar Dianne ke kamar rawatnya.

Suasana di dalam kamar rawat entah kenapa sangat sunyi. Teman-temannya termenung, tetapi ekspresi mereka seperti panik.

"Hei, ada apa ini?" tanya Dianne pada teman-temannya.

"Ah, tidak apa-apa," jawab Joe. "Kau istirahat saja."

Dianne tahu kalau Joe berbohong. Pasti ada sesuatu yang tidak beres selama ia dirawat di rumah sakit. Ia pun menyadari, Adam samasekali tidak menjenguknya.

"Mana Adam?" tanya Dianne. Teman-temannya hanya bisa diam dan terus menundukkan kepala.

Dianne terus mendesak teman-temannya untuk bicara. Jengkel, Dianne mengemukakan dugaannya dan dibalas tatapan kaget dari teman-temannya.

"Pasti dia hilang," duga Dianne.

"D- dari mana kau tau?" tanya Chico terkejut.

Dianne menunjukkan senyum sombongnya, seolah-olah mengatakan "itu adalah hal yang mudah bagiku".




Bersambung ...

The Sadness: Fake Person [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang