Thirty Four

666 72 1
                                    

Dengan senyum hangatnya, Dianne memain-mainkan ujung mata pisaunya di telapak tangan Randy. Randy seperti ingin tertawa karena menahan geli yang dirasakannya. Tapi, tawa itu seketika berubah menjadi jeritan. Dianne menusukkan pisau dengan pelan-pelan. Kemudian dicabutlah pisaunya.

"Ugh ... hentikan ...," kata Randy disela-sela tangisannya. "Kumohon ...."

"Oh, aku keterusan menusukkan pisau itu, ya?" sahut Dianne. "Padahal aku hanya mau membuatmu geli saja. Maaf, maaf.

"Kali ini aku tidak akan main-main," kata Dianne. Senyumnya itu, mengerikan. Chico hanya bisa pura-pura tidak melihat. Jika ia ketahuan melihat itu, siksaan yang diberikan kepada Randy akan semakin menjadi. Bahkan, mungkin saja ia akan menjadi sasaran selanjutnya.

Entah kenapa, Dianne membiarkan Randy kabur. Baru beberapa langkah, Randy merasakan kerah bajunya ditarik dari belakang. Ia pun langsung jatuh dengan posisi telentang. Dianne langsung menendang Randy sehingga posisi badannya menjadi telungkup.

Dianne menjongkok agar tingginya sejajar dengan Randy. Dijambaknya rambut Randy sampai wajah mereka saling bertemu.

"Kenapa kau berikan kotak itu padanya?" tanya Dianne.

"A- aku memberikannya agar dia tidak mengganggu kita lagi!" jawab Randy spontan. "Itu yang dia katakan."

Mimik wajah Dianne berubah. Dari yang awalnya seperti psikopat berubah menjadi sangat mengintimidasi. Iris dark blue-nya seolah bersinar di kegelapan ruang tamu saat itu. "Heh ... berhenti mengganggu katanya? Dan dengan gampangnya kau percaya hal itu?

"Bodoh, dunia ini penuh dengan tipu muslihat. Lebih rumit dari yang kau kira," sangkal Dianne. "Maaf saja, sepertinya aku tidak puas dengan jawabanmu."

Randy dapat merasakan betapa perihnya ketika pisau itu menusuk punggungnya cukup dalam. Tak cukup dengan menusuk, Dianne menarik pisau itu ke samping, membentuk sebuah garis merah panjang. Hal itu dilakukannya juga di sebelah dan di bawah sayatan awal yang dibuatnya. Membentuk emoticon ='(

The Sadness.

Setelah membuat tanda itu, ia menyeret Randy naik ke atas tangga. Dianne berlari-lari naik turun tangga sambil menyeret-nyeret Randy yang tak henti-hentinya menjerit. Setelah puas membawa Randy naik turun tangga, ia memukul luka tusukan di telapak tangan Randy dengan menggunakan gagang pisau.

Chico yang mendengar jeritan Randy hanya bisa menutup kedua telinganya, pura-pura tidak mendengar. Tidak mungkin ia bisa menghentikan Dianne melakukan tindakan kekerasan seperti itu. Tubuh Randy dipenuhi dengan darah dan luka sayatan, begitu pula dengan Dianne.

PLAK!

Sebuah tamparan mendarat di pipi Randy yang sudah penuh dengan lebam. Ia sampai mati rasa saking sakitnya luka yang ia dapat. "Aku melakukan ini agar kau tau, seberapa berbahayanya orang itu."

Setelah mengatakannya, Dianne berjalan naik ke kamarnya meninggalkan Randy yang tergeletak tak berdaya di lantai ruang tamu. Napasnya terasa berat. Chico membopong Randy masuk ke dalam kamarnya kemudian mengobati luka-luka itu.

"Apakah luka di punggungku akan cepat hilang?" tanya Randy, tubuhnya masih gemetaran.

"Entahlah, mungkin akan lama," jawab Chico singkat. "Dee-dee membuat luka itu agar kau selalu ingat kesalahanmu dan tak mengulanginya lagi. Jujur saja, bagiku yang barusan itu tidak lebih sadis dari yang sudah-sudah.

"Yak, sudah selesai!" seru Chico. "Ganti bajumu kemudian beristirahatlah. Mungkin kau akan merasa sedikit pegal pada tempat-tempat luka tadi."

Chico pun keluar dari kamar Randy dan berjalan menuju dapur, mengembalikan kotak P3K. Tangannya gemetaran dan keringat dingin mengalir deras dari tubuhnya. Ketika hendak naik ke kamarnya, ia mendapati anak tangga penuh dengan darah. Begitu juga dengan dinding dan lantai ruang tamu.

The Sadness: Fake Person [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang