Fourteen

824 83 0
                                    

Dianne berjalan mendekati jendela. Setelah melihat keadaan di luar, ia malah mendecak kesal. Tentu saja, karena kondisi di luar sangat tidak mendukung aktifitasnya.

Rumah mereka tidak memiliki lantai dua, jadi jendela kamar tidak akan langsung menyambung ke atap rumah lain. Dan itu tidak memungkinkannya untuk pergi diam-diam.

Adam mengetahui hal itu, dan ia mencoba untuk menghentikan Dianne. Tapi, Dianne sangat keras kepala.

"Dee-dee, sudahlah. Biar polisi saja yang menanganinya," kata Chico.

"Tidak, mereka saja tidak tau tempat persembunyian orang-orang itu," balas Dianne. "Dan aku tidak akan memberitahu mereka."

"Sebenarnya," tanya Adam, "apa yang kau inginkan dari mereka?"

Dianne terkekeh mendengar pertanyaan adik sepupunya itu. Bodoh, batinnya. Ia hanya geleng-geleng kepala sambil terus terkekeh, menunjukkan sedikit sifat sombongnya.

"Anak kecil sepertimu tidak perlu tau," jawab Dianne. "Kau cukup duduk manis di sekolah, mendengarkan gurumu mengajar."

"Dasar kau, mentang-mentang sudah kuliah!" protes Adam.

Adam mulai mengomel, dan itu amat sangat memekakkan telinga siapapun yang mendengarnya. Untuk menghentikan polusi suara, Dianne membawa Adam pergi ke luar, ke tempat teman-temannya melakukan pesta tahun baru.

"Hah ...? Pesta? Sejak kapan?" tanya Adam.

"Sejak tadi," jawab Chico. "Ayo kita mulai pestanya!! Aku sudah lapar!"

Semuanya tertawa melihat tingkah Chico yang seperti anak kecil. Walaupun Dianne mengikuti pesta dengan perasaan tidak tenang, ia mencoba untuk menikmati pesta itu.

'Yang penting tidak ketahuan, lah,' batin Dianne pasrah.

Tak lama kemudian, terdengar suara ribut-ribut. Ternyata suara itu berasal dari teman-temannya. Dianne menghampiri teman-temannya untuk melihat apa yang terjadi.

Rupanya, jari Dohwa teriris pisau pada saat memotong-motong daging panggang. Darah mengalir deras dari jarinya yang teriris. Dianne, tentu saja mau tidak mau ia juga kena dampaknya. Chico yang sudah tahu situasinya langsung menyuruh Joe untuk menjauhkan Dianne dari Dohwa sementara ia mengobati jari Dohwa yang teriris. Gadis keturunan Korea itu menangis ketika darahnya mengalir makin deras.

"Bagaimana ini?" tanya Dohwa panik. "Bagaimana jika darahku habis?!"

"Tenang saja," kata Chico menenangkan Dohwa. "Darahmu tidak akan habis hanya karena luka teriris."

Sementara itu, Adam sibuk membantu Chico mengambil obat-obatan dari kotak P3K. Entah kenapa, ia senang melakukannya. Katanya, seperti asisten dokter.

Dan Joe, ia berusaha membantu Dianne mengontrol kesadarannya. Berkali-kali sudah Dianne berusaha untuk meraih pisau yang mengiris jari Dohwa, tapi selalu dihalangi oleh Joe. Sampai akhirnya ia  menjauhkan pisau itu dari Dianne.

Joe menjauh darinya, itu kesempatan emas. Ia pergi diam-diam menuju tempat persembunyian orang-orang itu. Tentu saja, ia memanfaatkan kondisinya yang menjadikannya bagaikan mesin pembunuh berjalan.

Selesai mengobati jari Dohwa, Chico hendak melihat keadaan teman masa kecilnya. Tetapi ...

"Mana Dee-dee?" tanya Chico pada Joe yang menjaga Dianne.

"A- aku tidak tau!!" jawab Joe panik. "Tadi aku menjauhkan pisau darinya, tapi setelah itu dia menghilang!"

Chico mengacak-acak rambutnya frustasi. Adam menghampirinya, dan menceritakan kejadian yang tadi dialaminya. Seketika raut wajah mereka semua berubah.

"Apa jangan-jangan ...," duga Dohwa.

"Kalau tempat persembunyian orang-orang aneh itu, aku tau," kata Jamie. Semua mata langsung tertuju padanya.

"Bawa kami ke sana!" pinta Chico.

***

Dianne masih terus berlari menuju tempat persembunyian si Fake Person sambil terus berusaha mempertahankan kesadarannya yang tinggal seperempat itu. Berkali-kali ia hampir terjatuh dari atap, karena kesadarannya yang sedikit itu membuat tubuhnya oleng.

Tapi, usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil.

Dianne sampai di tempat persembunyian orang-orang itu. Ia masuk lewat atap yang bolong. Keadaan di dalam situ masih sama seperti beberapa jam yang lalu, tidak terurus. Ia mulai mencari-cari AK-47 yang dicuri oleh salah satu di antara mereka berdua.

Kayu-kayu di sekitar lantai, dan juga keramik yang sudah lepas dari tempatnya membuat Dianne kesulitan mencari kotak besar berisi senjata api itu. Ia harus menyingkirkan setiap kayu dan keramik yang berserakan.

Sampai akhirnya ia menendang sebuah kotak besar.

"Ah, ketemu!" seru Dianne senang.

Dianne pun cepat-cepat mengambil kotak itu dan bermaksud membawanya pulang. Tapi, satu masalah menghampirinya.

'Tunggu,' batin Dianne, 'kok ringan?'

Curiga, Dianne membuka kotak besar itu. Mulutnya langsung menganga lebar saat mengetahui bahwa kotak itu ...

"Kosong ...," gumam Dianne.

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki. Sialnya, Dianne yang sedang panik sendiri malah tidak menyadarinya.

KRAK!

Suara kayu yang diinjak hingga patah membuat Dianne tersadar dari kepanikannya. Akhirnya ia sadar jika ada seseorang yang mendekatinya.

"Siapa-"



DORR!!






Bersambung ...

The Sadness: Fake Person [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang