Seven

1.1K 99 0
                                    

Sepanjang perjalanan menuju kampus, Dianne terus memikirkan kejanggalan pada kasus kemarin malam. Rasanya, seperti ada yang aneh pada benda itu. Sesampainya di kampus, ia masih saja terus memikirkan hal itu, sampai-sampai ia lupa menaruh 'barang'nya di dalam loker.

Baru saja memasuki kelas Psikologi, ia sudah disambut oleh tatapan sinis dari iris hijau milik seorang pemuda bersurai Mahony. Pemuda itu tengah membaca buku ensiklopedia berjudul "Psych 101", buku ensiklopedia tentang Psikologi yang selalu ingin Dianne beli. Langsung saja, ia menghampiri pemuda itu.

"Jamie! Di mana kau membeli buku itu?" tanya Dianne dan tidak dijawab oleh yang bersangkutan. Dianne terus saja bertanya tetapi selalu diabaikan oleh Jamie sampai akhirnya Dianne pun kesal.

"Oh, come on! Ada apa denganmu, Bro?" tanya Dianne sambil menggebrak meja Jamie dan itu membuat Jamie kaget.

"Tidak ada apa-apa," jawab Jamie. Ketahuan kalau ia sedang meraju.

"Hei, ngambek, nih?" tebak Dianne. Jamie hanya membuang muka dengan tampang cemberut. Rupanya ia kesal karena harus membawakan buku-buku Dianne yang banyak itu kemarin.

"Mana janjimu yang katanya mau mentraktir Pizza 3 kotak, hah?" Jamie menagih janji yang kemarin Dianne ucapkan.

"Bukannya sekotak, ya?" ralat Dianne.

"What?! Janjimu kan, 3 kotak!!" protes Jamie. Dianne menghembuskan napasnya sambil geleng-geleng kepala.

"Dasar. Kemarin, Darwin membantumu, kan? Dan Chico yang membantu kalian berdua menaruh buku-buku itu di kamarku? Jadi, kau sekotak, Darwin sekotak," jelas Dianne.

"Lah, yang sekotak lagi?" Jamie mulai kesal.

"Ya, untukku dan Chico, lah! Aku tidak bilang kalau kau boleh minta bantuan, kan?" kata Dianne sambil tersenyum licik.

"Dasar licik ...," komentar Jamie.

"Hei, bedakan licik dengan cerdik," balas Dianne.

Setelah itu, ia pun pergi ke mejanya dan kembali memikirkan tentang hal yang aneh dan janggal itu. Karena terlalu sibuk berpikir, ia pun tidak sadar jika dosen Psikologi mereka, Mr. Harold, sudah masuk kelas. Ia baru tersadar ketika mendapat teguran dari Mr. Harold.

Mr. Harold menjelaskan apa-apa saja yang harus dijelaskan pada saat presentasi nanti. Para mahasiswa mencatat setiap kata yang keluar dari mulut Mr. Harold dengan cepat. Karena, Mr. Harold tidak akan menyuruh untuk menulis jika bukan teori pelajaran. Selesai menjelaskan, beliau pun langsung keluar kelas dan itu membuat para mahasiswa bingung.

"Hah? Mr. Harold keluar lagi?" kata seorang mahasiswa.

"Jadi kita harus apa? Hari ini kita hanya ada kelas Psikologi," kata mahasiswa yang lainnya.

Dianne langsung memasukkan barang-barangnya dan beranjak dari mejanya. Teman-temannya langsung bertanya apa yang Dianne lakukan.

"Dianne, kau mau ke mana?" tanya Emily.

"Bolos," jawabnya singkat. "Kenapa? Mau ikutan juga?"

"Tidak, aku cari aman saja," kata Emily, menolak tawaran Dianne.

Jamie yang melihat Dianne berjalan keluar kelas, bergegas menyusulnya. Dianne yang melihat tingkah laku temannya sejak SMA itu hanya geleng-geleng kepala.

Mereka berdua pergi ke sebuah restoran hanya untuk sekedar sarapan. Jamie yang serius membaca buku dan Dianne yang tukang melamun, suasana di antara mereka jadi sunyi. Hingga akhirnya datang seorang pelayan yang memecahkan kesunyian di antara mereka. Setelah memesan makanan dan minuman, mereka kembali lagi ke aktifitasnya masing-masing.

'Pistol itu ... aku baru sadar kalau pistol itu sudah ada di situ sejak sebelum aku datang. Tapi ... berlumuran darah? Apa pistol itu milik si palsu? Tidak. Sebodoh-bodohnya si palsu, dia tidak akan meninggalkan pistolnya di sembarang tempat. Lalu, milik siapa? Apa jangan-jangan ...,' batin Dianne.

Pesanan mereka pun datang tak lama kemudian. Mereka berdua memakannya dengan sangat lahap karena lapar, padahal mereka baru saja habis sarapan di rumah masing-masing.

Makanan mereka pun habis. Setelah membayar pesanan, mereka pun pulang ke rumah masing-masing. Jamie yang sedari tadi memperhatikan Dianne yang terus melamun pun penasaran akan apa yang Dianne pikirkan.

"Hei, kau kenapa? Melamun terus dari tadi," tanya Jamie.

"Entah kenapa, ada sesuatu yang membuat otakku terus berpikir ...," jawab Dianne yang masih terus berpikir.

"Apa itu?" tanya Jamie lagi.

Dianne terdiam sejenak sebelum menjawab pertanyaan Jamie. Menurutnya, itu adalah sesuatu yang tidak perlu diketahui oleh orang yang tidak terlibat dengan kasus malam itu.

"Tidak ... aku hanya mencoba menjadi detektif," jawab Dianne.

"Hmm ... begitu ...," komentar Jamie. "Lalu, kasus apa yang sedang kau tangani?" Dianne cuma bisa geleng-geleng kepala karena temannya yang keras kepala itu.

"Yah ... kasus yang tidak bisa dipecahkan dengan bukti-bukti yang ada," jawab Dianne.

"Kalau begitu, cobalah memecahkan kasus itu dengan logika sehari-hari kita," saran Jamie, "kita tidak bisa selalu berpatokan pada bukti, sama seperti soal kuis. Dosen pasti mengembangkan soalnya agar kita belajar menjawab dengan logika. Pasti pelaku kasus yang kau tangani juga begitu."

Mendengar saran dari Jamie, Dianne cuma manggut-manggut tanda mengerti. "Logika, ya ...."

Mereka berdua mampir ke restoran Pizza dan membeli 3 kotak Pizza. Jamie membawa 2 kotak, satu untuknya dan satu untuk Darwin. Sedangkan sekotaknya lagi untuk Dianne dan Chico.

Mereka berdua berpisah jalan di persimpangan. Dianne kembali memikirkan kata-kata yang tadi Jamie ucapkan. Ia pun akhirnya menyadari sesuatu.

"Yang masih hidup tinggal Adam dan si Palsu. Si Palsu tidak mungkin seceroboh itu. Jadi, kemungkinan terakhir adalah ...." Dianne menggertakkan giginya ketika menyadari hal yang mengganjal hatinya itu.

"Adam ...."

Bersambung ...

The Sadness: Fake Person [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang