Twenty Two

653 80 0
                                    

"Perlu apa?" Randy bingung dengan apa yang dikatakan adiknya. "Kasus apa?"

Baru saja Adam mau menjelaskan, Chico menjitak kepalanya, menandakan kalau ia harus tutup mulut pada orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan kasus itu.

"Bukan apa-apa," jawab Chico berbohong. "Dia kehilangan uang jajannya sehari yang lalu, jadinya menggila."

Randy curiga kalau dugaannya benar. Chico pun mempersilahkannya masuk. Ia membawa tas yang lumayan besar, sepertinya ia akan menginap untuk beberapa hari.

Awalnya ia bingung, kenapa Adam tinggal bersama Dianne dan Chico. Tapi karena itu mereka berdua, ia tak perlu terlalu ambil pusing. Mereka memang sudah lama saling kenal.

Adam dan Chico pun berangkat ke sekolah dan kampusnya masing-masing. Randy pun memutuskan untuk pergi ke Rumah Sakit, menjenguk Dianne.

Dan bicara empat mata.

Ia pun keluar dari rumah itu dan mengambil sepeda dari garasi. Garasi itu sangat kotor dan penuh oli, jadi ia harus menutup hidungnya karena di dalam situ bau olinya sangat kuat. Setelah perjuangannya mengambil sepeda dari dalam garasi yang amat sangat bau itu, ia pun mengayuh pedal sepeda dengan kencang menuju Rumah Sakit.

***

"Waterson, ada yang menjengukmu," kata perawat memberitahu Dianne.

Dianne hanya menganggukkan kepalanya. Seorang pemuda bersurai dark brown pun masuk ke dalam kamar rawat itu. Pemuda itu tak lain dan tak bukan adalah Randy, adik sepupunya.

Mengetahui maksud kedatangan Randy, Dianne meminta dokter dan perawat untuk keluar sebentar dari ruangan itu.

"Jadi, ada apa?" tanya Dianne, pura-pura tidak tahu.

Randy terdiam sejenak. Ia berpikir, kalau ia mengatakannya sekarang, semuanya akan berakhir. Tapi jika ia tidak mengatakannya, keadaan akan jadi semakin rumit.

"Ah, bukan apa-apa," jawab Randy pada akhirnya. "Aku hanya ingin menjengukmu."

Raut wajah Dianne terlihat tidak menyenangkan, seperti anak kecil yang kesal karena mengira ia akan dibelikan mainan dan ternyata tidak.

"Ooh ... kukira kau akan mengakuinya," komentar Dianne kesal. "Fake Person."

Randy awalnya tertegun mendengar ucapan Dianne, tak lama kemudian ia terkekeh. Seperti perampok yang tertangkap basah tengah mencuri permata.

"Sudah tau, ya ...," komentar Randy. "Tau dari mana?"

"Itu bukan perkara yang sulit," jawab Dianne, "kalau kau sendiri menunjukkannya dengan amat sangat jelas."

Randy bingung, menunjukkan dengan amat sangat jelas? Apa maksudnya? Dianne rupanya mengetahui kebingungan adik sepupunya yang tiga tahun lebih tua darinya itu. Ia pun menjelaskan.

"AK-47 itu milikmu, kan?" Dianne mulai menjelaskan. "Kalau itu bukan milikmu, kau tidak akan mengetahui di mana kotak kau menyimpan senjata itu. Karena ukuran kotak Tokarev dan kotak AK-47 milikmu itu hampir sama ukurannya.

"Kau menuliskan kode penanda di setiap kotak itu. Untuk AK-47, kau menuliskan angka 47 yang merupakan nomor serinya. Sedangkan untuk Tokarev, kau menuliskan angka 1930, yang merupakan tahun dibuatnya.

"Lalu dalam kasus pembantaian keluarga malam itu," lanjut Dianne. "Selain keluargamu yang lain, yang tidak kau bunuh hanya Adam, adikmu."

Randy seketika tertegun mendengar Dianne mengatakan bahwa keluarganya dibantai semua kecuali Adam. Ia meminta Dianne menceritakan kejadian malam itu. Dianne yang awalnya bingung, akhirnya tahu situasi dan menceritakannya.

Setelah Dianne selesai menceritakan, sebuah tangisan pun meledak seketika. Dianne sepertinya tahu apa yang terjadi.

Randy bukanlah yang membantai keluarganya pada malam itu.

"Jadi kemungkinan, temanmu yang membantai keluargamu, kah ...?" gumam Dianne. "Akan tetapi, dia tidak mau kalau kau sampai tau. Dan karena sebenarnya tidak tega ...."

"Dia samasekali tidak membunuh Adam ...?" sambung Randy dengan terisak-isak. Dianne hanya mengangguk membenarkan.

Melihat adik sepupunya terus menangis tanpa henti, ia lebih memilih untuk membiarkan Randy terus menangis sampai ia merasa lebih baik.

***

"Hmm ...," gumam seorang polisi muda.

"Bagaimana?" tanya rekannya.

"Kemajuan kasus ini bisa dibilang sangat baik," jawab polisi muda itu. "Pelaku menyerahkan diri."

Orang-orang yang ada di dalam kantor divisi tindak kriminal dan pembunuhan saat itu langsung menatap sang polisi muda. Ia melepaskan headphone dari kepalanya dan menjelaskan apa yang ia dapatkan.

"Pelaku selama ini ternyata adalah keluarga The Sadness sendiri," jelas polisi itu.

"Jadi, dia yang selama ini muncul dengan hoodie hitam?" tanya salah satu polisi dan dijawab anggukan.

"Berarti, dia juga yang menjadi pelaku kasus penembakan wanita paruh baya pada malam itu?" tanya rekannya yang lain.

"Dia juga yang menjadi pelaku kasus pembantaian satu keluarga beberapa minggu yang lalu?" Rekan-rekannya yang lain ikutan bertanya.

Polisi muda itu tampaknya kebingungan bagaimana harus menjawab banyak pertanyaan yang dilontarkan rekan-rekannya, terlebih pertanyaan itu adalah pertanyaan yang ia sendiri samasekali tidak tahu jawabannya.

"Bukan."

Semua orang dalam ruangan itu langsung menoleh ke arah sang polisi muda. Mengetahui suara itu dari headphone-nya, ia mencabut kabel headphone dari speaker komputernya dan menyaringkan volume-nya.

"Tunggu, darimana kau bisa tersambung dengan kami?" tanya si polisi muda yang masih bingung itu.

"Aku sudah tau kalau kalian memasang penyadap di ruang rawatku," jawab Dianne. "Jadi, sekalian saja.

"Randy bukan pelaku sebenarnya," lanjut Dianne. "Dia sekutu pelaku."

Pernyataan Dianne disambut dengan tatapan bingung dari para detektif polisi di ruangan itu. Sampai akhirnya detektif Victor memasuki kantor itu.

"Hmm? Ada apa ini?" tanya detektif Victor yang bingung melihat suasana kantor itu menjadi lebih serius dari biasanya.

"Apa itu detektif Victor?" tanya Dianne dari seberang sana. "Apa kau mendapatkan bukti terbaru dari penyelidikan TKP beberapa hari yang lalu?"

"Ya," jawab detektif Victor singkat.

"Di mana bukti itu?" tanya Dianne lagi.

"Ada di lab forensik," jelas detektif Victor. "Tim forensik tengah memeriksa sidik jari dan sifat-sifat pemilik bukti tersebut."

"Buktinya berupa apa?" tanya Dianne. Ia seperti tengah menginterogasi saja.

"Sebuah arloji tua."








Bersambung ...

The Sadness: Fake Person [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang