Hari ini adalah hari terakhir MOS. Lega adalah perasaan semua murid baru. Tapi sekaligus menjadi hari paling melelahkan. Mereka harus meminta tanda tangan semua anggota OSIS. Masalahnya sih sederhana, para senior itu tidak akan pernah memberikan tanda tangan secara gratis alias mudah. Mereka akan disuruh melakukan semua cara agar bisa memperolehnya. Bila tidak minta tanda tangan atau ada yang kurang satu saja, resikonya adalah mengulang MOS tahun depan.
"Udah dapet berapa Let?" tanya Kinara.
Jujur, Arletta tidak suka kalo namanya dipanggil dengan singkatan Let. Mending Ta aja, lebih enak gitu di telinga. Let kan banyak kepanjangan, bisa aja lelet, melet, pelet, dan lain-lain. Tapi ya udahlah, anggap saja Kinara spesial.
"Baru tujuh. Elo?" tanya balik Arletta.
"Sembilan." Kinara nyengir seperti kuda. "Masih kurang banyak nih, Let. Tapi gue udah capek banget," keluh Kinara. Dia disiksa habis-habisan oleh sembilan senior dalam waktu bersamaan. Kasihan...
"Sama." Arletta merasa senasib. Dia melihat begitu banyak juga yang memiliki nasib sama. Sedang berjuang keras seperti kuli hanya untuk sebuah tanda tangan.
"Gue takut minta tanda tangan Zarra," kata Kinara dengan wajah lesu.
"Gue sih nggak takut. Cuma males aja ngemis-ngemis sama dia. Berasa artis besar nanti dia."
Kinara terkekeh. Dia tau kalo Zarra memang selalu menjadikan Arletta sebagai manusia tertindas tanpa tau apa alasannya. Salah ataupun benar, ada aja cara Zarra untuk membuat Arletta berada dalam kesulitan.
"Kalo minta tanda tangan Elang, pasti lo mau kan? Gue yakin dia bakal ngasih dengan sukarela. Dia kan selalu jadi pahlawan saat lo tertimpa kemalangan."
Arletta tertawa. Bahasa yang dipakai Kinara mengandung banyak majas berlebihan. Tapi wajahnya kembali serius, "justru dia yang paling gue hindarin sekarang." Entah kenapa, dia punya feeling yang tidak enak hari ini. Dia merasa akan terjadi sesuatu yang besar.
"Loh kenapa?"
Arletta mengangkat bahunya, "entahlah."
"Elang itu memang cowok pujaan banget ya, Let. Gantengnya itu loh, bikin mata nggak bisa berhenti menatap. Belum lagi dinginya, bikin badan membeku seketika. Dan matanya, merinding gue kalo ngejabarin satu persatu."
Arletta menatap Kinara dengan rasa jijik. Dia tidak sependapat dengan temannya itu. Baginya Elang itu, "cowok nyebelin kayak gitu lo puji-puji."
"Eh, Arletta. Jangan terlalu benci, nanti bisa jadi malah terlalu cinta."
Arletta langsung berdiri. "Gue nggak tertarik dengan topik yang satu itu. Itu cuma cerita di sinetron yang sering lo tonton dan novel cinta-cintaan yang lo baca."
"Ishhhhh." Kinara mencebik. "Eh, mau kemana?" tanyanya sambil menyusul.
"Menurut lo?" Arletta mengacungkan buku di tangannya.
"Ikut." Kinara mengamit lengan Arletta.
Arletta dan Kinara menyusuri setiap koridor sekolah. Berharap menemukan bebera anggota OSIS yang sedang bersembunyi. Biasanya, yang menyembunyikan diri itulah yang paling gampang dimintai tanda tangan. Soalnya mereka termasuk tipikal orang yang tidak mau diganggu, jadi daripada digeretokin adik kelas mendingan cepat-cepat ngasih tanda tangan dan mengusirnya pergi.
"Let, suara apaan tuh?" tanya Kinara sambil mematung di depan perpustakaan yang tertutup rapat.
Arletta yang tadinya sudah berjalan, kembali lagi ke depan pintu dan memasang telinga. Benar saja, terdengar suara-suara aneh. Semacam desahan seorang wanita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Rasa #Seri Ke-1
RomanceArletta memergoki sepasang murid tengah bermesraan di Sekolah, yang ternyata adalah Sang Ketua OSIS, Elang Aldrich Altar. Gara-gara kejadian itu, Elang malah terus mengganggu hidupnya. Mulai dari menyiksanya selama masa MOS, hingga berulangkali menc...