Selepas kejadian di lorong, entah kenapa aku menjadi dekat kembali dengan Dianta.
Entah perasaan apa yang begemuruh di hati ini, seperti ingin tapi tak ingin, seperti mau tapi tak mau, terus timbul dalam benak.
Apakah aku jatuh cinta? Namun mengapa ada rasa ingin menghindar ?
Entahlah, jika bicara tentang rasa, hati ini enggan. Namun, jika bicara keinginan, hati ini berharap Dianta hadir.
Siang itu, aku mendapat telfon dari atasanku untuk mengurus pekerjaan. Karena kamar ibu tidak diperbolehkan ada akses Wifi, entah karena apa.
Aku memutuskan untuk ke lantai bawah, dengan minta bantuan suster pastinya untuk menjaga ibu, karena nanti ada asisten ibu yang akan datang. Kebetulan di lantai bawah ada cafe hits tempat nongkrong langganan ku.Setelah aku mengambil laptop ku di mobil, diriku langsung menuju cafe tersebut, memesan secangkir americano dan sandwich tuna untuk menemaniku, lalu sesegera mungkin mengerjakan tugasku.
Belum lama aku duduk, seseorang mengirimku pesan.
Ternyata seraphin. Ya, seraphin...
"Rinan, hari ini ada waktu kosong? Mari bertemu 😊" pesan yang kubaca dari smartphone ku.
Ku hanya menjawab, bahwa siang ini aku sedang ngopi sambil mengerjakan tugas kantor ku. Mengingat, diriku tak bisa jauh dari ibu.
Dia kembali menjawab pesanku
"Gua kebawah, jangan pergi dulu, hehehe"
Ku hanya tersenyum.
Tak lama waktu berselang, Seraphin pun datang. Namun kali ini, jas dokternya di lipat di tangannya.
" udah lama nunggu nan?" tanyanya sembari menarik kursi untuk duduk.
"Engga, baru sekitar 10 menit sih" jawabku.
Dirinya pun memesan beberapa menu makanan, sandwich beef salami dan ice thai tea seingatku.
"Jadi gimana sekarang? hiduplu nyaman kah?" bukaku dengan sedikit senyum.
Dia tertawa
"Hahaha, alhamdulillah nyaman. Lo sendiri gimana nan? Enak banget ya pasti jadi kepala di kantor besar ibu kota..." tanyanya dengan logat jawanya yang kental.
Diriku terhentak sebentar.
Mendengar pertanyaannya, aku agak sedikit bimbang menjawabnya. Dulu memang hidupku nyaman, tapi setelah kembali ke jogja, ada sedikit beban psikis Didiriku.
"Hmm, bisa dibilang sama lah, haha" jawabku
"ohh ia, kabar ibu gimana? Sehatkan?" lanjutku sebentar.
"Ibu gue ikut kakak gue nan ke Bruchel. Kebetulan dia koki disana, dan gue padet banget jadwalnya. Makanya, setelah gue fikir ulang, bapak udah meninggal lama kan, nanti ibu kesepian, yaudah akhirnya pindah" jawabnya sambil menyeruput ice thai tea miliknya.
Ada banyak hal yang kami bicarakan di siang itu. Tentang bisnis, tentang masa lalu aku dan Seraphin. Hingga ke kejadian konyol selama kami bekerja, yang pastinya dihiasi dengan gelak tawa kami yang memecah heningnya cafe.
Kami terdiam sejenak.
Aku menyeruput kopi americano ku yang tinggal setengah cangkir.
"Nan..." tanyanya pelan.
"Kenapa sera?" jawabku.
Dia terdiam lagi.
"Yang di lorong tempo hari sama lo itu siapa ya?" tanyanya.
Aku sedikit kaget mendengarnya, kukira tidak ada orang yang melihat aku dan Dianta.
Aku terdiam beberapa saat.
"Itu Dianta" jawabku singkat.
"Dianta itu siapa" tanyanya lagi.
Aku kembali terdiam. Kali ini aku bingung harus menjawab apa.
"Pacar lo ya?" lanjutnya.
Dirinya pun asal tebak, entah dari sudut pandang mana ia bisa menerka seperti itu, mungkin karena aku memeluk Dianta.
"Adek sepupu gua itu" jawabku.
" lu liat dia nangis ya?" tanyaku kembali.
"Ia, makanya gue nanya" jawabnya.
"soalnya kalian tadi mesra banget, hahaha, gue sampe ga berani lewat tadi" lanjutnya dengan senyum simpul.
"ohh, gua sama dia emang akrab, kan gua jarang ke Jogja, jadinya dia kangen, makanya sampe nangis gitu" jawabku.
"Ohh, hahaha" jawabnya.
Kemudian ku lihat, seraphin agak tertunduk lesu. Nampaknya, ada rasa tidak enak mengganjal di hatinya. Entah dari mana hawa itu, namun aku merasa, Seraphin memendam sesuatu.
Dia pun meminum sisa-sisa thai teanya yang tinggal sedikit, dan memakan suapan terakhir sandwichnya.
"Gue cabut dulu ya, ada client ngajak ketemuan nan. semoga nanti bisa ngobrol santai lagi ya lain waktu" ungkapnya, di hiasi senyum manis dari wajahnya.
Kami pun bersalaman. Kemudian dia berlalu pergi, dan aku melanjutkan pekerjaan ku yang sedikit lagi selesai.
Perasaanku agak tidak enak. Setelah melihat raut wajah Seraphin ketika membahas Dianta tadi, seperti ada yang ditutupi.
"Ahh, mungkin hanya perasaanku saja" gumamku.
Tugasku pun akhirnya selesai. Segera ku kirim ke atasanku, dan aku kembali ke kamar ibu.
Ku lihat ibu sedang disuapi suster, ia sedang makan siang.
"Makan yang banyak bu, biar lambungnya ga berisik minta sesajen" ucapku sambil tertawa.
"Kamu kira ibu makan bunga kantil apa, segala sesajen" gerutu ibu.
Aku pun menemani ibu selama makan, tangan ibu menggenggam tanganku erat, seperti biasa.
Makan pun selesai, suster lanjut memberikan obat untuk ibu, kemudian berlanjut pergi.
Ibu senang sekali, katanya badannya sudah sangat sehat hari ini.
"Lihat nih. Ibu udah bisa loncat-loncat" katanya ceria.
"Ibu...nanti saja loncatnya, nanti infusnya lepas loh" balasku sambil tertawa.
Ibu memang selalu ceria. Beliau bisa membuat suasana sepi menjadi ramai, banyak banyolan-banyolan yang ia keluarkan.
Kami terdiam karena kehabisan bahan banyolan.
Ibu menggenggam tangan ku erat.
"Rinan..." panggil ibu lembut.
"Kenapa bu" jawabku pelan.
"Terima kasih sudah menerima Dianta lagi dihidupmu ya " terang ibu dengan senyum bahagia.
Setitik air membasahi pipinya
ibu menangis bahagia.
"Ia bu..." aku hanya bisa bilang itu.
Ibu bahagia, mungkin tadi pagi ia terbangun, dan melihat aku dengan Dianta. Karena seingatku, posisi kami dekat dengan pintu.
Namun, pertanyaan masih terus berlanjut di hatiku.
Siapakah Dianta dihatiku? Dapatkah aku menerimanya?
....
THANKS BERAT!!! untuk kalian yang udah baca cerita ini.
Insyallah cerita ini akan terus berlanjut, doakan lancar ya, maaf kalau keinginan membuat cerita ini untuk seminggu sekali terbit belum bisa terwujud, doakan saja cepat terlaksana ya.tetap vote dan beri komentar ya guys, itu adalah bentuk dukungan kalian kepada penulis sekaligus memberi semangat agar tulisan saya jauh lebih baik kedepannya.
merci beaucop 😀
KAMU SEDANG MEMBACA
R E I N
RomansaTentang cinta, tentang hidup, tentang rasa, tentang perjalanan. Hai! aku Rinan.