Sesegera mungkin aku kembali ke apartement ku, menyiapkan barang untuk beberapa hari menjenguk ibu, dan juga sesegera mungkin memesan tiket pesawat untukku.
Keluarga ku bernomisili di jogjakarta, sebuah kota kuno dengan keindahan tiada akhir. Dulu, bapak yang seorang diplomat, memaksa kami untuk terus berpindah negara, mulai dari negara kecil seperti Singapura, bahkan sampai ke negeri impian para perempuan, Perancis.
Tak jarang, kami harus beradaptasi ulang mulai dari bahasa, sampai ke kebiasaan hidup. Berkali-kali mencari teman, dan membiasakan diri.
Bapak sangat mencintai jogjakarta, sebuah kota yang ia selalu sebut "kota eksentrik dengan sesuatu yang antik." Ia selalu membicarakan kota dengan hal klasik itu berkali-kali, bahkan waktu bapak mendapat tamu dari kedutaan besar negara lain, ia selalu menyarankan jogjakarta sebagai destinasi wisata.
"Saya seperti menginjak surga, setapak kaki saya berjalan, dewa-dewi dengan penuh keramahan menyapa saya. Saya dipaksa bernostalgia, dan terpaksa menuruti kota itu; mencintainya dengan sepenuh hati, sampai saat ini" itu kata bapak.
Menginjak usia pensiun, bapak memilih kota jogja sebagai rumah terakhir. Ia mengajak kami sekeluarga tinggal disana.
Bapak membeli Tanah seluas 20 hektar, yang ia bangun rumah tingkat tiga dengan bentuk yang hangat, dan menyejukan hati. Sedangkan sisa tanahnya ia buat kebun sayur untuk dijual, kebun buah, dan juga beberapa kolam ikan yang tentunya untuk dijual.
Aku hanya mengingat hal itu, sebelum terjadi perselisihan antara aku dan bapak, sehingga aku harus pergi dari rumah itu, rumah yang bapak cintai.
.....
Waktu sudah menunjukan waktu 17:58 WIB, aku mendapatkan tiket pesawat jam 18:17 WIB, aku tak memikirkan harga, jam, bahkan setiap detik dihari itu.
Pikiran ku hanya tertuju satu hal, Ibu.
"Pesawat dengan tujuan Jakarta-Jogjakarta telah tiba, para penumpang diharapkan menuju pesawat segera" jelas suara pelantang diatas kepalaku, tanda pesawat telah tiba.
Aku segera berkemas, mengambil barangku dan menaiki pesawatku.
Waktu dipesawat, aku hanya tertidur pulas, untuk beristirahat sejenak, menenangkan diriku, otakku, badanku, semua hal tentang ku yang dapat mengganggu diriku nantinya.
Jam pun berlalu, pesawatku mendarat di kota Jogja.
setelah mengambil bagasi dan barangku sehabis turun dari pesawat, aku langsung menuju keluar bandara untuk mencari taksi. Belum sempat menilisik sekitar, dari kejauhan terdengar suara teriakan yang makin lama makin jelas.
"Den Rinan! Den Rinan!" begitu bunyinya.
Aku langsung memalingkan tubuhku menuju panggilan tersebut. Sedikit kupicingkan mataku karena rupanya belum begitu jelas.
"Den Rinan! Hah...hah... Den Rinan!" suara makin terdengar jelas, ditambah dengan suara sengau nafas kelelahan.
Akhirnya aku sadar, dia genthung, supir pribadi bapak.
Dirinya yang bertubuh gempal dan memakai baju surjan khas jawa yang dibuka kancingnya, sehingga terlihat jelas perutnya yang buncit dibalik kaos hitam bertuliskan "AKU TRESNO KARO INDOMIE" dengan setelan celana bahan, beralaskan sendal teplek.
"sek...mass..hahh..hhahh, sek yoh..." ,dirinya kelelahan.
"Yaudah, ambil nafas dulu, baru ngucap mas", ucapku sambil menahan tawa.
Setelah dirasa membaik, genthung langsung memasang senyum di wajahnya, dan langsung memelukku dengan erat.
"Pie kabare toh mass??...kangen lho kulo sama koe" ,ucapnya sembari memelukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
R E I N
RomanceTentang cinta, tentang hidup, tentang rasa, tentang perjalanan. Hai! aku Rinan.