2.Ungkapan Cinta Kapten Basket

824 63 14
                                    

Percuma kalau sekarang Diaz mau menyesal . Pernyataan cinta lebih tepatnya pemaksaan dalam menyatakan perasaan dari sang kakak kelas sudah terdeklarasikan.

Umpatan dan maki kekesalan sudah ribuan kali Diaz lontarkan namun hanya dalam hati. Bagaimana tak pusing, kakak kelas ini menyatakan perasaannya di lapangan sekolah, oke mungkin itu romantis menurut kalian dan itu Diaz iyakan, tapi yang paling memalukan adalah si kakak kelas itu lelaki yang satu jenis dengannya.

Ingin rasanya Diaz mengubur dirinya bersama rasa malu di taman belakang sekolah bersama akar tanaman mawar yang baunya semerbak minta dicium pagi hari.

"Morning Sunshine." sapa kakak kelas yang sudah duduk di meja makan bersama orangtua nya.

"Kak Excel ngapain ke sini?" tanya Diaz bingung. Pasalnya yang ia tahu rumah Excel berlawanan arah dengannya.

"Jemput kamu." jawab Excel enteng tanpa takut hubungan yang baru sehari mereka jalin terendus orangtua Diaz.

"Gak usah kak. Aku bisa naik bus kok." Diaz duduk berhadapan dengan ayah yang sedang mengaduk kopi hitam buatan bunda.

"Ngapain naik bus kalo pacar bisa jemput." Excel menaik turunkan alisnya.

"Kak Excel." bisik Diaz seraya melotot untuk memberi kode bahwa mereka sedang tidak berdua dan pembahasan ini sangat tabu di bicarakan di depan umum.

"Ekhem." ayah berdehem membuat jantung Diaz mencelos.

"Selesaikan sarapan kalian." titah ayah dan diangguki dua remaja tanggung ini.

Bunda tengah membereskan meja makan usai sarapan tadi kala Diaz memakai sepatu.

"Cepet berangkat sebelum si pacar marah." ayah bersuara tanpa memandang Diaz. Sekali lagi jantung Diaz mencelos.

"Ayah." lirih Diaz.

"Udah sana berangkat." bunda datang dari arah dapur membawa kain lap.

"Bunda." lirih Diaz lagi. Bunda mengibaskan tangan sebagai tanda Diaz harus pergi.

Ya memang atmosfer ruangan ini mendadak panas dan menyesakkan dada. Diaz pamit pada orangtuanya dan berjalan ke arah Excel yang sudah duduk ganteng di motor ninja hitamnya, oh jangan lupakan kacamata hitam yang nangkring manis di perpotongan kemeja putihnya.

"Kakak tadi ngomong apa sama ayah sama bunda?" Diaz bertanya tanpa memandang lawan bicaranya.

"Heem bilang apa yaa?" Excel menaruh jari telunjuknya di dagu seolah ia sedang berfikir.

"Kak aku serius ih." Diaz menatap tepat di manik hitam kakak kelas yang sialnya tampan tak terdeskripsikan.

“Kalau serius ke KUA, Dek." Niat Excel ingin melawak namun jatuhnya garing seperti kripik.
Terserah ah. Diaz merajuk.

"Aku bilang kalau aku ke sini mau jemput pacar aku yang anaknya ayah sama bunda Hermawan." jawab Excel enteng, seenteng barang bawaan di tasnya pagi ini.

"HAH?" Diaz kaget bukan main. Ia harap kemarin dan pagi ini adalah mimpi. Mimpi yang akan hilang kala ia bangun dari kasur.
Namun sayang memang sayang tadi malam ia terantuk plafon karena loncat-loncatan di kasur untuk mengenyahkan pikiran dari kakak kelas yang "nembak" dia di lapangan, ia merasakan sakit yang luar biasa walau tidak sampai benjol namun itu menyadarkan Diaz bahwa kejadian random yang ia alami bukan mimpi.

"Jangan bengong sayang. Yuk naik ntar telat." Excel meraih lembut tangan sang kekasih. Diaz hanya menuruti tanpa protes karena sadar bahwa ia akan telat kalau naik bus.

Excel memakai helm untuk Diaz. Dari jarak yang sedekat ini Diaz bisa merasakan aroma pasta gigi yang Excel gunakan. Bau mint yang menyejukkan. Tanpa sadar Diaz memandang wajah lelaki  satu tingkatnya, bulu mata yang tak terlalu panjang membuat iris sehitam telaga milik Excel terlindungi dari debu, hidung bangir serta bibir tebal Excel seolah menyempurnakan pahatan dewa pada wajah anak adam ini.

Pilihan Hati ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang