12.Happier

211 30 2
                                    

Malam semakin larut dengan rintikan hujan yang menambah suhu dingin di kota Gudeg saat ini.

Di kamar dengan nuansa hijau tosca dengan diiringi lagu Happiernya Ed Sheeran menambah kesan sendu yang menghiasi suasana temaram pada kamar anak adam yang tengah bergelung dengan selimut dan pikiran entah berkeliran ke segala arah.

Gemuruh menggelegar seakan ingin menantang langit dengan kekuatannya. Namun, tak mengusik manusia yang masih enggan keluar dari ruangan 2x5 itu.

“Gerald sialaaan.”desisnya tanpa sadar. Sepersekian detik, aliran air menganak sungai dari pelupuk mata dan jatuh dari sisi pipi kirinya. Tak ada isak, hanya guncangan pelan dari bahu bahwa ia sedang menangis. Makin erat membungkus badan mungil itu dengan selimut tebal, seolah jika ia membuka selimutnya, tubuh itu akan hancur hanya dengan angin.

“Kalau lu bilang gue bakal bahagia hanya dengan mencari orang lain, itu salah! Gue maunya elu! Ga mau yang lain.” isakan terpotong dengan kedipan dari layar hand phone di nakas. Diraihnya ponsel itu dan melihat id call bertulis “Anak Iblis”.

“Apa?” langsung si penerima di semprot empunya.

“Kemana aja lu tiga minggu kabur, hah? Gue Whatsapp ceklis satu, gue sms ke nomer pribadi lu ga dibales, sampe gue telpon beratus kali ga diangkat. Mau lu apa, Lio? Gue pusing jadinya.” seseorang di seberang sana mengusak rambut.

“Gue.. Gue.. Gue sibuk.” putus si empunya yang dikatahui bernama Lio.

“Sibuk apaan? Kita kan lagi libur kelulusan SMA. Lu juga ga kerja. Lu sibuk apaan?” si penelpon mengusap wajahnya kasar.

“Denger ya Gerald. Gue mau sibuk apaan kek, pergi kemana kek, mau ngapain kek, itu urusan gue. Lu jangan sok ikut campur.” Lio mengerang kesal, isakannya sudah hilang, air mata ia hapus cepat dan tubuhnya ia bawa duduk dengan punggung bersandar pada headboard.

“Bukannya lu yang ga bisa gue hubungin. Selalu panggilan dialihkan pas gue nelpon lu. Whatsapp ceklis dua, bahkan online, tapi lu ga bales chat gue. Lu juga pergi terus pas gue ke rumah lu.” semprot Lio.

Amarah memuncak. Caci maki siap ia lontarkan. Hujatan ada di ujung lidah namun tertahan. Terlampau rindu akan pemilik suara di ujung sana.

“Lu kenapa sih, Lio? Kalau ada masalah kan bisa cerita sama gue. Kita tuh sahabatan dari zaman embrio kalo lu lupa.” Gerald menjatuhkan tubuh besarnya pada sofa kulit mahal di ruang tamu apartemennya.

“Panggil gue Julio, Gerald. Gue ga mau ada panggilan itu saat kita udah sama-sama dewasa. Gue aja udah ga manggil lu Erald lagi. Please stop.” Lio memijit pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut.

“Aneh. Lu aneh. Kita udah ga ketemu tiga minggu ini dan lu udah begini. Gimana kalau gue jadi ambil tawaran om Bagas? Bisa-bisa lu lupa sama gue.”

Ini dia yang membuat Lio uring-uringan selama beberapa minggu ini. Ia tak rela Gerald melanjutkan pendidikannya ke luar negeri.

“Udah ah gue ngantuk.” Lio memutuskan sambungan teleponnya paksa.

Beberapa detik kemudian, panggilan video call dengan id call “Anak Iblis” menghiasi layar handphonenya kembali. Lio menyalakan lampu kamar dengan paksa. Ruangan yang terlalu gelap membuat Gerald tidak bisa melihat wajah Lio nantinya.

Ya ampun. Ngapain juga gue peduli.” ia membatin.

Lalu kembali duduk di kasur dengan nyaman.

“Ganggu tau ga.” ketus mendominasi suara yang keluar.

“Lu kenapa? Kenapa ga cerita kalau ada masalah? Jangan buat gue bingung, Lio.” erang frustasi mengakhiri nada Gerald.

Pilihan Hati ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang