5.Fallin For You

388 51 7
                                    

Rifna Pov

Katanya kalau siap jatuh cinta siap juga untuk patah hati. Tapi yang aku rasakan malah sudah patah hati sebelum jatuh cinta. Aku sudah menangis sebelum merasakan manisnya di cintai. Aku selalu mencintai tanpa tahu dia cinta padaku apa tidak. Sampai akhirnya dia memilih orang lain sebagai penghias masa remajanya.

Aku selalu berharap dia mengerti akan semua perhatian yang aku berikan. Aku mencintai orang yang bodoh yang tidak peka terhadap kasih yang aku beri, tapi lebih bodoh lagi aku yang tidak siap berhenti untuk jadi pemujanya saat aku sadar dia tidak menganggap aku lebih dari sekedar sahabat.

Entah setan mana yang bercokol dalam diriku untuk terus bertahan dengan semua yang terjadi. Setegarnya karang ia juga akan terkikis akibat air laut. Sekuatnya pohon ia juga akan mati apabila ia rapuh. Ya walau aku tidak setegar karang atau sekuat kayu namun aku pernah mencoba untuk menjadi setegar itu. Setegar untuk terus berharap bahwa dia akan mengerti mengapa aku bisa secare itu padanya.

Rifna Pov End

Tak tahu sudah berapa kali orang lalu lalang melewati pintu cafe namun sosok yang ingin ia lihat belum menujukkan batang hidungnya. 2 jam Rifna menunggu Devan . Padahal satu jam lalu Devan mengabarinya bahwa ia sudah di jalan, namun lagi-lagi sosok mempesona itu belum hadir.

“Halo Rif. Lu dimana?” suara Devan di ujung telepon.

“Di dalem kafe.” ketus nada yang keluar dari bibir tipis Rifna.

Klik.
Sambungan telepon putus sepihak.

Rifna menghembuskan nafas, sudah biasa ia mendapat perlakuan seperti itu dari Devan.

“Hey yo bro. Maaf lama. Lu harus tau jalanan macet banget.” Devan menarik kursi di depan Rifna dan memesan minuman setelah pelayan cantik dengan potongan rok yang dipendekkan berlebihan datang. Rifna tersenyun kecut.

“Ngapain ngajakin gue ke sini?” tanya Rifna to the point setelah hening cukup lama.

“Bentar.”

Pelayan cantik meletakkan vanilla latte pesanan Devan di depan black coffee punya Rifna yang tinggal setengah.

Ekhem.. Gue mau minta saran ke lu, Rif.” Devan menggaruk tekuk belakangnya.

“Apa?” Rifna memasang telingan dan mendengarkan Devan seksama.

Alunan Sepatu milik Tulus yang di aransemen menjadi musik Jazz menghanyutkan suasana. Andai saja saat ini yang duduk berhadapan dekat jendela itu pasangan kekasih, mungkin sudah ada adegan memegang tangan atau saling melempar senyum manis. Ya itu andai saja, nyatanya saat ini yang menduduki meja dekat jendela cafe adalah sepasang sahahabat bergender sama.

“Gue mau nembak seseorang, tapi bingung gimana.” Devan mengaduk vanilla latte dengan gerakan memutar.

“Kok lu ga ngasih tau gue kalo lu lagi deket sama cewek sih, Dev? Lu anggap gue apa? Kita udah sahabatan lama, tapi masalah gini aja masih main rahasia-rahasiaan. Tenang aja gue ga bakal ngerebut dia kok. Jadi siapa cewek yang ga beruntung bisa lu sukain itu?” Rifna merasa kecolongan karena Devan tidak terbuka padanya. Namun yang lebih parah ia merasa ada bunyi kretek dari dalam dirinya pada saat ini.

“Iya maaf deh gue ga bilang. Abisnya gue bimbang banget, bingung mau cerita dari mana. Tapi lu bisa kasih saran ga cara nembak dia kayak gimana?” Devan mencondongkan badannya.

Rifna mengetuk meja seolah berfikir. Hening menjeda mereka. Alunan lagu berganti menjadi acara stand up comedy. Suasana riuh namun berbeda di meja ini. Hanya hening dan tatapan lucu yang Devan beri pada Rifna.

Pilihan Hati ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang