9.Prank

387 39 38
                                    

Duduk di luar cafe, Fano menyesap black coffee secara perlahan. Hembusan angin menerpa kulit sawo matang dan membelai rambut cokelat gelap dengan lembut. Menarik rokok dari bungkus dan menyalakan pemantik, namun manik melihat sahabat sedari kecil –Rasya- gusar pada duduk.

Hening masih menguasai meja itu lebih dari 3 menit lamanya. Masih betah bungkam seolah apa yang diungkapkan akan menyakiti rungu dengan sangat. Manik Fano pun betah memindai Rasya dengan tekun. Tak ada yang terlewatkan, mulai dari Rasya yang mengembuskan nafas melalui mulut dengan sangat berlebihan, mata yang berkedip dua kali lebih cepat dan melihat segala arah tanpa berniat melirik si sahabat di seberang kursinya, kedua tangan terkatup di atas meja yang sesekali ia usap pada celana jeans guna membersihkan keringat pada telapak tangan, dan kaki yang selalu bergerak pelan padahal tidak ada musik di sekitar mereka –kecuali bisingnya kendaraan yang lalu lalang, oh atau tukang es krim gerobak dengan speaker.

“Lu mau ngomong apa? Katanya penting. Gue sampe pake motor ke sini.” Fano membuka percakapan.

“Hemm.. Lu tau ga kenapa Kevin ga pernah nongkrong bareng kita lagi?” tanya Rasya dengan gugup.

“Males kali.” balas Fano acuh.

“Bukan. Dia.. emm..” terputus. Rasya meneguk air mineral dengan rakus. Sepertinya kata yang ia akan utarakan menusuk tenggorokan.

“Kenapa dia?” Fano menyalakan rokok, menyilangkan kaki dan menyenderkan punggung. Membuat tubuhnya se-relaks mungkin. Sejujurnya Fano tanpa sadar merasa takut dengan apa yang akan Rasya ungkapkan, namun ia mencoba kuat.

“Janji jangan marah abis gue bilang ini. Sikap lu biasa aja ke Kevin.” Rasya mengulurkan tangan, menunggu jabatan tangan dari si lawan bicara.

“Kenapa dulu? Gue ga bisa janji kalau aneh-aneh.” menjentikkan ujung rokok guna membuang abu.

“Gak mau. Janji dulu pokoknya. Apa yang gue bilang ini ga buat lu ngejauhin Kevin. Kita masih tetep temenan.” tangan itu masih betah menggantung. Beberapa detik kemudian di sambut oleh pemuda berkulit sawo matang.

“Jadi gini, No. Si Kevin udah lama ga kumpul bareng kita soalnya dia... suka sama lu.” cicit Rasya di akhir kalimat, namun masih bisa di terima pemuda di seberang meja.

“Ah jangan Gila kamu, Ca” Fano menegakkan punggungnya. Rasya –Caca nama panggilan dari Fano- menunduk takut.

Hening kembali tercipta sepersekian detik. Fano mematikan paksa rokok yang baru setengah ia hisap. Menyesap air mineral Rasya tanpa izin dan merasa harus segera meluruskan pembicaraan yang ada, Fano kembali bersuara.

“Coba jelasin, Ca. Yang detail. Gue ga ngerti.” manatap intens sahabat dari kecilnya mencoba membaca gerak tubuh, berharap ini hanya banyolan.

“Kevin tuh suka sama lu semenjak kita ngajakin dia main abis jam pertama kuliah selesai. Dia bilang kalau lu itu gentle dan tipe dia banget. Tapi dia takut lu ngejauh kalau dia bilang. Mana kita semua tau  lu tuh ga takut setan, penjahat atau apapun, tapi lu takut sama gay. Oke lu ga masalah sama gayfriend relation sama lu, karena kita punya banyak temen gay. Tapi lu takut sama gay yang suka dan ngejar-ngejar lu. Makanya si Kevin cuma bisa diem doang. Gue jujur juga kaget pas dia cerita gitu.” Rasya meremat paha yang berbalut jeans.

Tak percaya dengan apa yang di bicarakan oleh Rasya, Fano melirik jalanan yang mulai padat, mengingat jam pulang kantor akan tiba. “Kapan dia bilang?”

Rasya melirik takut pada Fano. Hell, siapa yang tak takut dengan aura dari atlet taekwondo nasional jika rahangnya saja sudah mengatup rapat dengan tatapan tajam seperti itu? Rasya saja yang sudah berteman sejak 21 tahun lalu masih selalu takut dengan si pemuda bersurai cokelat gelap itu.

Pilihan Hati ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang