Part 6

2.3K 117 2
                                    

“Ujannya gede banget. Tadinya gue gak akan jadi kesini,” ucap Salsha. Gadis itu baru saja sampai di ruang kerja Fiona, menyampirkan jaket yang ia kenakan pada sofa putih yang kini ia duduki.

“Gak jadi kesini? Gue bela-belain kerja hari ini cuma buat ketemu lo.”
Fiona melangkah mendekat, memberikan secangkir teh hangat pada Salsha.

“Makasih,” ucap Salsha. Tangan kanannya menerima cangkir dari Fiona, sementara tangan kirinya tengah mengangkat kertas sketsa gaun pengantin yang Fiona buat untuknya.
“Bagus nih,” gumam Salsha berdecak kagum. Fiona, temannya yang kerap pikun itu memang sangat pandai membuatnya terkagum-kagum atas hasil karyanya.

“Nanti kalau ada tambahan, lo tinggal tulis aja. Nanti gue sesuaiin sama desainnya.”

“Ok.”
Salsha kembali memperhatikan kertas yang tergambar garis-garis indah rancangan gaunnya itu.

“Mbak.”
Tiba-tiba Nida membuka pintu ruangan Fiona.

Fiona mendongak menatap Nida yang kini berada di ambang pintu.

“Mbak Sonia *ngarang* mau fitting,” ucap Nida lagi.

“Kamu sama Vina aja ya, saya lagi gak enak badan.”
Fiona menjawab dengan nada lemas, punggungnya sudah ia jatuhkan pada sandaran sofa. Jika ia jujur, sebenarnya bukan tidak enak badan, tapi tidak enak hati. Terror itu, orang yang sengaja menyimpan remakan lagu itu, bagaimana bisa Fiona pulang ke apartemennya, dan satu lagi... Sentuhan Jason. Hhhh... Banyak hal yang membuat hati Fiona tidak nyaman.

Nida mengangguk dan mengacungkan kedua Ibu jarinya lalu pergi meninggalkan ruangan.

“Lo sakit?”
Wajah Salsha kini terlihat khawatir menatap Fiona.

Fiona tidak menjawab. Hanya mendesah lalu, “Lo tahu? Semalam ada orang yang sengaja nyimpen rekaman lagu Swan Lake di apartemen gue.”

“Ha?”
Mata Salsha membulat. “Siapa? Gila! Berani banget!” Salsha tampak kesal.

Fiona menggeleng pelan, “gue gak tahu.”
Fiona merasakan tubuhnya terasa lemas ketika membayangkan kejadian tadi malam.

“Caryn?” gumam Salsha.

“Ya?”
Fiona sedikit mendengar gumaman Salsha, namun tidak terdengar jelas.

“Mungkin ga kalau Caryn masih benci sama lo? Karena dia merasa lo yang rebut calon pengantin prianya. Dulu... Udah lama sih kejadiannya. Dan dia udah minta maaf juga. Tapi kan...”

Fiona termenung. Caryn? Mantan kekasih David yang dulu terang-terangan sangat membenci dirinya. Berkoar di semua jejaring sosial menyatakan dirinya ingin mencabik Fiona. Tapi itu dulu, kejadiannya sudah lama terjadi. Bahkan ia sudah meminta maaf pada Fiona dan menyadari kesalahannya. Namun, masih kah Caryn membenci dirinya sampai saat ini?

“Ya kan?”
Salsha memastikan Fiona meyakini terkaannya.

Fiona masih bergeming. Masuk akal memang jika dendam Caryn kembali muncul.

***

Hari ini Fiona memutuskan untuk tidak pulang terlambat. Pulang berbarengan bersama Nida dan Vina. Setelah usai membereskan dan menutup gordyn ruangan. Fiona keluar bersama kedua asistennya itu dari dalam ruangan.

“Gak ada yang ketinggalan kan mbak?” tanya Vina, sangat memahami tingkah pelupa atasannya itu yang berlebihan.

Fiona menggeleng. Lalu melangkahkan kakinya mendahului. Kasihan. Seharian ini wajah Fiona sangat terlihat memprihatinkan. Terlihat seperti seseorang ballerina ling lung yang lupa gerakan menari.

“Aku antar pulang.”
Fiona tersentak ketika seorang laki-laki berdiri di hadapannya, memotong langkahnya.

Laki-laki itu mengelus rambut Fiona dengan lembut. “Jangan banyak ngelamun. Yuk,”
Rangkulan tangan laki-laki itu pada pundak Fiona membuat degupan di dalam Fiona lagi-lagi berdentum kencang.

Fiona tidak mampu merespon apapun. Hanya mengikuti langkah laki-laki itu untuk masuk ke dalam mobilnya.

***

Fiona membolak-balikan tubuhnya dengan gusar. Sudah sangat larut. Tubuhnya pun sudah terasa sangat lelah. Namun mengapa matanya masih berusaha terbuka. Setiap kali menutup, matanya akan kembali terbuka karena Fiona takut telinganya kembali memperdengarkan lagu mengerikan kemarin.

Bagaimana ini. Tubuhnya kembali berubah-ubah posisi, sampai akhirnya...

-------

Ketika laki-laki itu melepaskan kecupannya, mata ku hanya mampu kembali memandangi sosok laki-laki tampan di hadapanku itu. Ia kembali menatap ku. Wajah ku nyaris tertunduk ketika 5 menit menatap matanya, mata indahnya membuatku tidak sanggup melihatnya lebih lama...

“Andai suatu saat nanti aku pergi-”

“Kamu mau pergi?”
Aku tidak terima ketika kata 'pergi' itu keluar dari mulutnya.

“Andai,” jawabnya, mencoba menenangkan keterkejutanku. “Andai suatu saat nanti aku pergi, percaya sama aku. Kamu tetap ada di sini,” ucapnya, menarik tanganku untuk menempel di dadanya.

“Aku akan cari kamu,” lanjutnya lagi.

“Seandainya gak ketemu?” tanyaku mencoba untuk menggodanya.

“Aku akan berusaha nemuin kamu.”

“Andai... Kamu gak bisa nemuin aku?” tanyaku lagi. Entah kenapa aku ingin bertanya seperti itu, berharap jawaban manis keluar darinya.

“Aku akan menghabiskan waktu ku, untuk mencari kamu.”
Jawabannya membuat kedua sudut bibirku tertarik ke atas. Benarkah? Ia akan terus mencari ku? Jika suatu saat nanti ia pergi? Hhhh... Lupakan. Aku yakin ia tidak akan meninggalkanku.

“Aku punya hadiah buat kamu.”
Laki-laki itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.

Trek... Tangannya menekan tombol on pada typerecorder yang kini ia genggam.

Intro lagu itu mengalun indah... Suara biola dan piano beradu menjadi melodi yang mampu membuat ku terbang.
-------

“Hhhh... Hhhh... Hhhh...”
Fiona bangkit dari tidurnya. Nafasnya tersengal-sengal tidak beraturan. Keringatnya membanjiri kening. Fiona mendesah, mengusap permukaan wajahnya. Laki-laki itu lagi. Mimpi itu... Lagu itu...

Tangan Fiona bergerak blingsatan mencari ponselnya. Kemana? Ia lupa menaruh ponselnya.

*

David  tengah duduk pada kursi kerjanya. Kerjaannya yang tertunda membuatnya harus membawa pekerjaan itu ke rumah. Berkali-kali David melepaskan nafas beratnya ketika selesai merampungkan pekerjaan itu. Matanya menatap ponsel yang tergeletak di atas meja. Sesekali tangannya bergerak pada menu pesan singkat.

Sedang apa gadis itu sekarang? Ketika pulang kerja tadi, David menyaksikan Fiona diantar pulang oleh laki-laki itu, Jason. Dia kah laki-laki yang dulu Fiona cintai? Laki-laki yang selalu Fiona ceritakan dalam mimpinya? Hhh... Lupakan! Laki-laki yang bernama Jason itu banyak kan? Tidak hanya satu. David mencoba menyingkirkan prasangka anehnya.

Tangannya kembali bergerak meraih ponsel. Menggeser-geser asal menu ponsel. “Kamu tidur nyenyak kan malam ini?” gumamnya.

“I believe I can fly
I believe I can touch the sky
I think about it every night and day
Spread my wings and fly away...”

Suara ponsel usang itu terdengar. Ponsel yang sedari tadi tergeletak di atas meja.

'1 message'
'Ayah. Aku mimpi buruk. Laki-laki itu. Siapa sih dia yah? Dia datang lagi dalam mimpi aku. Bawa lagu itu! Lagu menyebalkan itu. Aku gak bisa tidur sekarang.'

David sejenak tertegun setelah membaca pesan singkat pada ponsel usang yang ia genggam sekarang. Gadis itu mimpi buruk lagi? Tidak bisa tidur lagi?

Kali ini David  tidak ragu meraih ponselnya. Mengetik beberapa kata untuk ia kirimkan.

*

Fiona memainkan gelas yang berisi air mineral yang baru saja ia ambil dari dalam dispenser. Setelah mimpi itu Fiona tidak bisa tidur kembali. Haruskah ia bergadang sampai pagi seperti ini setiap kali selesai menyaksikan mimpi buruknya?

Drt... Drt... Drt...
Ponsel Fiona yang sengaja hanya dibuat tidak bersuara kini bergetar. Tanpa perlu melihat pesan, sebenarnya Fiona sudah tahu siapa orang aneh dalam waktu sedini ini mengirimkan pesan singkat untuknya.

'Tidur yang nyenyak. Aku ada, kapanpun kamu butuh aku. '
Emotion tongue out di akhir pesan membuat Fiona terkekeh. Laki-laki itu, aneh. Fiona sama sekali tidak berniat untuk membalas, dan memang Fiona tidak pernah membalas pesan singkat apapun yang dilayangkan oleh laki-laki itu. David . Karena sama sekali David tidak pernah memaksa Fiona untuk membalas pesannya.

***

Fiona baru saja selesai mengaitkan tali sepatunya. Menatap wajahnya di cermin, memperhatikan make-up tipisnya sejenak. Kali ini Fiona tidak terlalu menggunakan banyak atribut make-up, malas.

Langkah lunglainya terayun keluar dari kamar. Blazer putihnya menggantung di lengan kanan. Ponselnya ia otak-atik, jelas saja tatapannya hanya terarah pada layar ponsel. Crek... Pintu apartemen terbuka. Lalu,

Bruk... Kaki Fiona tidak sengaja menendang sesuatu yang tergeletak di depan pintu apartemen. Kotak merah dengan pita hitam, terlihat indah. Kotak apa itu? Fiona melirik ke arah kiri dan kanan. Menatap koridor apartemennya yang sepi. Siapa yang menaruh kotak itu di depan pintunya? Kotak ini benar untuknya?

Fiona membungkuk. Dengan satu tangan ia membuka kotak tersebut. Terlihat gaun putih indah di dalamnya, Fiona tersenyum. Gaun untuknya? Dari siapa gaun ini.

Dengan tangan kirinya Fiona meraih gaun tersebut, mengeluarkan dari dalam kotak. Ketika gaun itu ia bentangkan,

“Aaaaa!!!” Jeritan Fiona terdengar lagi. Kali ini terdengar lebih melengking, lebih histeris. Gaun putih, gaun ballerina putih indah itu Fiona lempar, benar-benar membuat Fiona takut.

Fiona mulai sulit menelan ludahnya. Tubuhnya lemas. Tangan kirinya bertumpu pada kusen pintu. Tatapannya beredar, siapa yang melakukan hal ini? Siapa orang yang lagi-lagi membuat Fiona hampir gila dalam waktu masih sepagi ini?

Dengan keringat yang bermunculan dan kaki seolah tidak menapak Fiona terus melangkahkan kakinya. Pagi ini koridor apartemen masih sepi. Tidak ada seseorang yang mengiringi langkah Fiona, begitu pula ketika Fiona memasuki lift.

'Caryn?'

'Ya?'

'Caryn masih benci sama lo? Karena dia merasa lo yang rebut calon pengantin prianya. Dulu... Udah lama sih kejadiannya. Dan dia udah minta maaf. Tapi kan...'

Fiona mengingat sepenggal pembicaraannya dengan Salsha pada hari kemarin. Caryn? Mungkinkah gadis itu masih membencinya? Pertanyaan itu kembali berkemelut di dalam benak Fiona. Jika saja dulu Fiona juga mencintai David , sumpah demi apapun yang ada di bumi ini Fiona tidak akan pernah berniat untuk merebut David  dari tangan Caryn.

'Kling'

Dentingan halus itu terdengar. Menyadarkan Fiona kalau saat ini ia telah sampai di lantai dasar.

Fiona keluar dari pintu lift dengan wajah pucat dan keringat dingin di sekitar wajahnya, malah keringat itu dengan berani mengalir di lehernya. Fiona seolah baru saja selesai melakukan maraton. Dalam waktu sepagi ini dandanannya sudah berantakan.

“Hey.”
Laki-laki di hadapan Fiona itu mengibas-ngibaskan lengannya di hadapan wajah Fiona.

Fiona terperangah, berapa lama orang itu berada di hadapannya dan mengibas-ngibaskan tangannya seperti orang bodoh?

“Kamu gak lihat aku dari tadi? Aku dari tadi manggil Fiona, aku dari tadi berdiri di sini,” ucap laki-laki itu, wajahnya bergerak miring ke kanan dan kiri memperhatikan wajah Fiona.

“Kamu baik-baik aja kan?” tanyanya lagi, melihat Fiona yang saat ini masih bergeming dengan wajah kusutnya.

Plak... Tamparan kencang itu mengundang perhatian orang yang saat ini berada di lobi. Tatapan mereka terarah pada Fiona yang baru saja menampar laki-laki di hadapannya.

“Jauhin aku. Berapa kali aku bilang itu sama kamu?” ucap Fiona dengan suara tercekat, matanya memerah dan mulai berair.

“Aku cape David . Cukup kamu bikin hidup aku gila dulu. Dan untuk sekarang aku mohon. JAUHIN AKU!!!”
Kali ini air mata Fiona sudah mulai meleleh, sudut matanya bergetar, membuat air matanya segera turun.

“Aku cukup tersiksa sama teror-teror itu,” lanjut Fiona lagi.

David  yang sedari tadi menunduk menahan dadanya yang begitu sesak, kini menengadahkan wajahnya, memberanikan diri menatap Fiona. Teror? Apa hubungannya teror itu dengan dirinya? David  tidak mengerti.

“Jauhin aku,” ucap Fiona. Lalu langkah Fiona terayun keluar dari pintu utama. Meninggalkan David yang kini tengah menikmati gilasan perasaannya.

Boleh kah jika laki-laki menangis? Sepertinya boleh. Namun tetap saja 'memalukan'. David menengadahkan wajahnya, membiarkan air yang sedikit mengelilingi bola matanya untuk segera menguap pergi. Berkali-kali melepaskan nafas beratnya. Dada yang penuh, sesak. David sibuk menyemburkan sesuatu yang memenuhi dadanya kini.

***

Klik, klik, klik. Berkali-kali Fiona menekan mouse di tangan kanannya. Membuka-buka beberapa file lama yang berada di dalam folder laptopnya.

“Caryn. Caryn. Caryn.”
Mulutnya tidak berhenti bergumam. Mencari file Caryn. Caryn adalah pelanggan Fiona dulu. Fiona sedang mencari data mengenai Caryn saat ini. Semoga saja Caryn belum mengganti nomor ponselnya. Sehingga Fiona dapat menghubunginya dengan mudah.

“Ya!”
Fiona menemukan file berisi data lengkap Caryn, ada nomor ponsel Caryn di dalamnya.

Ini wajah Caryn? Benarkah sebelumnya Fiona pernah bertemu dengan orang ini? Benarkah dulu ia pernah menjadi klien Fiona? Fiona sungguh tidak ingat sama sekali siluet wajah Caryn, sama sekali.

Setelah mencatat nomor ponsel gadis itu pada ponselnya, Fiona segera menutup laptopnya dan berlari ke luar ruangan.

“Mbak!”
Langkah Fiona berhenti di ambang pintu utama ketika Nida meneriakinya.

“Kita sekarang harus ke acara resepsi Mbak Fania kan? Ngantar gaun?” tanya Nida.

“Kamu sama Vina aja. Kunci mobil ada di meja ruangan saya,” jawab Fiona lalu kembali mengayunkan langkahnya yang tergesa.

“LB gimana mbak?” tanya Nida lagi, kali ini gadis itu berlari ke ambang pintu. Meneriaki Fiona yang sudah melangkah ke luar.

“Tutup dulu! Saya ada urusan penting,” jawab Fiona lalu kembali melangkahkan kakinya.

Nida mendesah, mengangkat bahunya dengan wajah bingung. Sepenting apa urusannya sehingga Fiona kerap meninggalkan pekerjaannya akhir-akhir ini.

***

Tuk... Tuk... Tuk...
Fiona mengetuk-ngetukan jari telunjuk dan jari tengahnya pada meja cafe yang tengah ia topangi kedua sikutnya. Menghilangkan rasa gugup yang mulai merajai dirinya saat ini.

Bagaimana mungkin dia seberani ini menghubungi dan menemui seseorang yang ia sangka sebagai penerornya selama ini? Sebesar apa nyali Fiona? Apa yang akan Fiona bicarakan bila bertemu dengan Caryn nanti? Tunggu! Wajah Caryn. Ahhh... Sialan. Fiona lupa membawa salinan foto Caryn. Dalam keadaan gugup seperti ini Fiona kerap lupa. Apalagi wajah seseorang yang sudah lama tidak ia temui.

“Haiii!” Suara itu membuat Fiona tersentak, kedua bahunya terangkat refleks karena kaget.

“Fiona?”
Dengan senyum manisnya gadis itu sudah duduk di hadapan Fiona.

Ini kah gadis yang bernama Caryn? Cantik. Benarkah Fiona pernah bertemu dengan gadis cantik ini sebelumnya? Lupa. Lagi-lagi.

“Bodoh!” umpat Fiona, tatapannya masih menatap wajah Caryn. Bodohnya David meninggalkan wanita cantik yang jelas-jelas mencintainya demi seorang gadis yang terang-terangan menolak keberadaannya. Si Psikopat itu benar-benar bodoh. Kali ini Fiona malah sibuk mengumpat sosok David .

“Fiona?”
Caryn menatap heran Fiona yang sedari tadi belum membalas sapaannya.

“Ohhh... Hai?” Fiona tersenyum, paksa. Rasa gugupnya malah semakin menjadi. Sialan. Ia belum berhenti mengumpat. Seharusnya ia terlihat berani di hadapan peneror ini.

“Ada keperluan apa? Aku kaget loh waktu tadi kamu telepon aku. Aku pikir kamu udah lupa sama aku,” ucap Caryn riang. Sikapnya seolah tidak pernah terjadi hal apapun di antara mereka dulu. Benarkah gadis periang ini adalah orang yang mengirimkan itu semua pada Fiona? Fiona mulai ragu atas prasangkanya. Eh bukan. Prasangka Salsha.

“Aku cuma mau tahu kabar kamu aja,” jawab Fiona mencoba berkata setenang mungkin. Kali ini ia harus pintar menyimpan prasangkanya.

“Baik. Oh ya! Kamu masih jadi perancang gaun pengantin?” tanya Caryn. Kali ini sikapnya terlihat lebih antusias.

Fiona bergumam seraya mengangguk.

“Aku mau nikah loh.”

“Oh ya?”
Mata Fiona membulat. Seakan tidak percaya bahwa Caryn sudah memiliki pengganti David dan melupakan David .

“Iya. Kamu tahu? Aku masih sangat jatuh cinta sama rancangan gaun pengantin kamu. Gaun pengantin yang dulu udah aku bakar,” ucap Caryn, kali ini wajahnya terlihat murung.

“Maaf,” ucap Fiona. Ck! Hey! Fiona! Ada apa ini? Apakah kamu datang kesini hanya untuk meminta maaf seperti ini? Fiona menunduk, mengumpat dirinya yang saat ini bersikap bodoh.

“Harusnya aku yang minta maaf sama kamu. Maafin sikap aku dulu. Padahal ini semua bukan salah kamu. Tapi laki-laki bodoh itu.”
Tatapan Caryn menyipit, terlihat menyeramkan ketika ia mengucapkan kata 'laki-laki bodoh'.

“Oh ya! Gimana kabar laki-laki itu?” tanya Caryn. Laki-laki bodoh? Sepertinya Caryn sangat enggan menyebut nama David .

“David ? Dia... Baik.”
Sebenarnya Fiona ingin sekali menjawab. 'Dia? Semakin bodoh, dan tingkah psikopatnya semakin kritis.'

“Dia udah bisa dapetin cinta kamu sekarang?” tanya Caryn, menatap Fiona seraya tersenyum.

“Ha?”
Fiona mengibas-ngibaskan tangannya. “Enggak.”

Caryn terbahak, menertawakan penderitaan David yang cukup lama itu. Setelah berusaha menghentikan tawanya, Caryn bertanya lagi, “Hmmm... Fiona?”

“Ya?”

“Hmmm... Seandainya. Aku meminta kamu jadi perancang gaun pengantin aku lagi...”

“Dengan senang hati,” ucap Fiona seraya tersenyum penuh.

“Tapi maaf. Aku gak akan pernah bawa calon suami aku ke LB, terlebih sampai ngenalin dia sama kamu. Aku masih trauma.”

Kali ini Fiona yang terbahak mendengar ucapan Caryn. Ya, memang seharusnya seperti itu. Trauma. Jika Caryn tidak merasakan trauma maka Caryn tidak normal.

Dua jam berlalu...

Fiona masih bertahan di tempat ini. Caryn sudah lama pergi. Ada urusan lain. Meninggalkan Fiona yang kembali tenggelam dalam kebingungannya. Ditemani bergelas-gelas minuman, berpiring-piring makanan. Tidak berhenti memikirkan tentang peneror itu. Siapa?

Yang jelas, saat ini Fiona sangat tahu kalau pelakunya bukan Caryn. Jelas bukan. Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Caryn. Caryn sangat terlihat baik-baik saja. Terlebih saat ini Caryn sudah bisa melupakan David dan bahagia bersama laki-laki lain. Atas dasar apa sekarang Fiona menuduh Caryn yang jelas-jelas sudah melupakan masa lalunya bersama David ...

“David ?”
Fiona menegakan punggungnya ketika mengingat nama itu.

'Jauhin aku. Berapa kali aku bilang itu sama kamu?'
'Aku cape David . Cukup kamu bikin hidup aku gila dulu. Dan untuk sekarang aku mohon. JAUHIN AKU!!!'
'Aku cukup tersiksa sama teror-teror itu.'
'Jauhin aku.'

Fiona menyandarkan kembali punggungnya dengan wajah menyesal. Tangannya segera mengaduk isi di dalam tasnya. meraih ponselnya untuk segera menghubungi laki-laki malang itu. Semoga laki-laki itu masih mau mengangkat teleponnya setelah tragedi menyakitkan tadi pagi.

“David . Malam ini aku lagi pengen nonton. Kamu mau temenin aku?”

***

David  sudah memarkirkan mobilnya di depan gedung bioskop yang Fiona janjikan. Fiona berjanji akan datang pukul 7 malam. Dengan wajah gugup dan berkali-kali meletupkan nafasnya David mondar-mandir di samping mobilnya. Sesekali tersenyum, tidak menyangka malam ini Fiona mengajaknya untuk nonton berdua. Ini kencan kan? David  terkekeh sendiri. Mengingat tadi sempat mengobrak-abrik isi lemarinya untuk tampil sempurna menemani Fiona.

Mungkinkah David  sudah melupakan kejadian tadi pagi? Melupakan bentakan Fiona yang menyuruhnya untuk menjauh? Sepertinya begitu.

Tatapan David  terus terarah ke arah seberang jalan. Dimana Fiona akan keluar dari dalam taxi yang berhenti di seberang sana. Fiona tidak membawa mobil sendiri karena agar David  bisa mengantarnya ketika pulang nanti.

Belum lepas tatapan David , ternyata sebuah taxi biru terhenti di seberang sana. Mengeluarkan seorang gadis cantik. Rok jeans dan kaos berwarna peach, sementara blazer cokelatnya ia jinjing.

David menegakkan posisi tubuhnya yang tadi bersandar pada samping mobil. Menatap Fiona yang baru saja membayar taxi kini tengah mengotak-atik ponselnya. David  yakin Fiona kini tengah mencari nomor kontaknya, untuk menghubungi David dan bertanya... 'Kamu dimana?'

Namun ketika Fiona menempelkan ponsel pada telinga kanannya, ponsel David  tidak kunjung berdering. Bahkan saat ini Fiona tengah terlihat sedang mengobrol dengan seseorang di balik speaker teleponnya. David mengernyitkan keningnya. Tangannya ia lambai-lambaikan ke arah Fiona. Berharap gadis itu melihat keberadaannya saat ini. Namun nihil. Setelah memasukan kembali ponselnya ke dalam tas, Fiona kini malah menyetop sebuah taxi dan masuk ke dalamnya.

Mata David membulat. Ada apa ini?
“Fiona!”
David berteriak di tengah riuhnya suasana luar gedung bioskop. Ck! Fiona tidak akan mendengar itu.

David  bergerak cepat masuk ke dalam mobilnya. Berniat untuk mengejar Fiona. Namun karena mobilnya sudah terparkir rapi terlebih dahulu, menyebabkannya sulit untuk keluar area parkir. Berkali-kali David  memukul stir mobilnya dengan kesal. Jejak taxi yang Fiona tumpangi sudah tidak terlihat. Fiona kemana? Apakah ia baik-baik saja? Ada masalah apa sehingga ia membatalkan janjinya dengan David begitu saja? Berkali-kali David mencoba menghubungi Fiona. Namun hasilnya nihil. 'Nomor telepon yang anda hubungi sedang sibuk...'

David mulai gusar. Mungkinkah Fiona pulang ke apartemennya? David memutar balik mobilnya untuk menuju apartemen Fiona. Mobilnya ia lajukan dengan kecepatan tinggi. Seolah tidak perduli dengan keselamatannya sendiri. Yang David pikirkan saat ini adalah keselamatan Fiona. Kenapa gadis itu tadi tidak menemuinya? Apakah ada sesuatu yang terjadi?

Blugh... David menutup kencang mobilnya. Langkah cepatnya, bukan. Lari. David kali ini berlari sangat kencang memasuki lobi apartemen.

'Lift dalam masa perbaikan'

Pamflet itu menggantung di pintu lift. David menggeram kesal. Dalam keadaan darurat seperti ini ia harus berlari tanpa lift, melewati ratusan anak tangga untuk mencapai lantai 3, kamar Fiona.

Tap... Tap... Tap... Tanpa pikir panjang David berlari menaiki anak tangga. Ia melompati 2 anak tangga sekaligus setiap langkahnya, agar lebih cepat sampai. Sesekali menghentikan langkahnya untuk menghela nafas, karena ia merasakan dadanya mulai sesak kehabisan udara.

Trap... Anak tangga terakhir berhasil ia lalui. Dengan tubuh sedikit membungkuk karena kelelahan David sejenak terhenti. Langkah lunglainya ia ayunkan disertai nafasnya yang masih terengah-engah. Berkali-kali menelan ludahnya untuk membasahi tenggorokannya yang kering.

Dugh... Kening David menyentuh pintu apartemen Fiona. Menyandarkan tubuh lemasnya yang penuh keringat. Kemeja yang ia kenakan terlihat sangat basah mandi keringat. Dengan lemas, tangan kanannya berusaha mengetuk-ngetuk kencang pintu. Berkali-kali menekan bel.

Tidak ada sahutan dari arah dalam. Berkali-kali David melakukan hal itu. Hingga satu jam ia lalui berdiam di depan pintu apartemen Fiona.

Fiona tidak ada di dalam? Lalu kemana perginya Fiona saat ini? Tubuh David meringsut, duduk menjulurkan kakinya dengan punggung basah menyandar pada pintu. Tangan kanannya merogoh saku celana. Meraih ponsel untuk menghubungi Fiona. Semoga kali ini teleponnya mendapat sahutan.

'Hallo?'
Suara di seberang sana terdengar baik-baik saja.

“Hallo? Fiona? Kamu dimana? Dari tadi aku teleponin kamu.”

'Aku? Lagi makan malam sama Jason. Ada ap- Ya Tuhan!' pekikan kaget Fiona terdengar jelas di telinga David .
'Aku baru ingat sekarang, tadi aku datang ke gedung bioskop itu untuk apa. Aku janji nonton sama kamu kan David ?' lanjut Fiona.

“Mmmm...”
David hanya mengeluarkan gumamannya. Untuk saat ini sepertinya ia tidak mampu mengeluarkan suaranya. Terlalu menyakitkan.

'Aku tadi udah sampai di depan gedung. Tapi karena Jason nelepon dan ngajak makan... Aku lupa David !!! Aku lupa janji aku sama kamu. Maaf. David ? Maaf.'

'David ?'
Fiona tidak mendengar sahutan David .

David menengadahkan wajahnya. Mengambil ancang-ancang untuk berbicara. Berbicara seolah dirinya baik-baik saja. “Malah aku yang harusnya minta maaf sama kamu. Aku tadi ada urusan mendadak jadi gak bisa datang kesana. Makanya dari tadi aku telepon kamu. Aku khawatir kamu tadi datang ke sana dan nunggu aku.”

'Kamu gak ke sana tadi?' tanya Fiona.

“Enggak. Maaf ya. Lain kali aku pasti janji tepatin janji aku.”
Kali ini suara David terdengar tertahan.

'Mmmm...'
Hanya gumaman Fiona yang David dengar. Suara gadis itu terdengar lebih kalem saat ini. Tidak seperti biasanya. Apa karena ada Jason di sampingnya?

“Kamu lagi sama Jason? Cieee... Biasanya cuma makan siang berdua, kali ini makan malam berdua. Pergerakan Jason cukup cepet ya?”
Ya, cepat. Sangat cepat. Berpuluh kali lipat bahkan beratus kali lebih cepat dari pergerakan David . Hingga saat ini David belum pernah bisa mengajak Fiona makan siang bersama, jangankan untuk makan malam.

'Ya. Dan sekarang, aku tawarin sama kamu... Apa gak nyerah aja?' tanya Fiona.

“Nyerah? Ck! Jangan panggil David kalau nyerah gitu aja. Tinggalin Caryn aja aku bisa. Apa lagi cuma nyingkirin Jason. Kecil buat aku,” jawab David dengan nada bergurau.

'Yayaya... Silahkan. Aku cuma nawarin. Sebelum hati kamu benar-benar hancur.'

Hancur? Sebelum hancur? Jika saja saat ini Fiona mengetahui hati David , seperti gelas kaca tipis yang sengaja di banting dari ketinggian 3 meter di atas lantai. Bagaimana?

“Ya udah. Aku mau istirahat dulu. Baru nyampe rumah. Have fun ya. Bye.”

Tut... Tut... Tut...
David memutuskan sambungan telepon. Terlalu lelah berlama-lama berbicara seolah dirinya baik-baik saja. Terlalu sakit berbicara dengan nada suara yang terdengar riang dalam situasi menyakitkan saat ini. Ternyata itu tidak mudah. Menyakitkan. Sangat.

David mengusap permukaan wajahnya dengan kedua telapak tangan. Memejamkan matanya sejenak. Menikmati perasaan sakit yang ia rasakan, berkali lipat sakitnya ketika Fiona memintanya untuk menjauh, tadi pagi. Cara lembut Fiona dengan pergi bersama laki-laki lain ini ternyata lebih mudah membuat dirinya hancur.

Berkali-kali David melepaskan nafas beratnya. Mencoba mengeluarkan udara menyakitkan di dalam dadanya, namun sulit. Sesak di dadanya semakin menjadi. Mendesak air matanya untuk menyelubungi bola mata David yang kini memerah.

“Chhh...”
David  mendesis. Menertawakan, sekaligus menangisi dirinya sendiri

Ballerina's BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang