“Sekali ini. Aku janji. Lain kali aku gak akan ngajak kamu buat pulang bareng lagi.”
Laki-laki itu tersenyum penuh.
Fiona sejenak terdiam sebelum akhirnya mengangguk. Itu artinya ia menyetujui ajakan David. Sejenak kembali masuk ke dalam butiknya hanya untuk mengambil tas dan ponsel. Setelah selesai mengunci pintu, Fiona melangkahkan kakinya mendahului David.
Tunggu! Apa ini? Fiona seolah tengah menyadarkan dirinya sendiri. Untuk ke-dua kalinya ia mengikuti ajakan David? Langkah Fiona terhenti di samping mobil David. Terdiam.
Fiona yakin dirinya masih waras. Apa hanya karena David mengucapkan kalimat janji memprihatinkan itu maka Fiona merasa iba?
“Masuk.”
David tersenyum seraya membuka pintu mobilnya. Fiona sejenak menatap David. “Ayo masuk,” ucap David. Heran melihat Fiona yang malah terus menatapnya tanpa bergerak masuk ke dalam mobil.
Keduanya sudah berada di dalam mobil. David sudah mengemudikan mobilnya dengan kecepatan lambat, dilambatkan, sengaja dilambatkan, atau apapun itu. Seperti biasa, hening. Sebenarnya David ingin sekali untuk memulai pembicaraan. Tapi, sepertinya untuk saat ini akan merusak mood Fiona jika David banyak bicara.
'Saat ini? Hanya saat ini? Bukan kah setiap saat? Setiap saat mood gadis itu selalu jelek ketika berhadapan sama gue.' David meringis ketika mendengar pikiran anehnya sendiri.
“Jangan sengaja pelanin mobilnya deh!”
Tiba-tiba suara Fiona yang menghentak memecahkan keheningan.
“Ha? Apaan sih? Enggak.”
David mengibas-ngibaskan tangannya dengan raut wajah tidak terima. Tidak terima karena strategi noraknya ketahuan.
“Kamu sengaja kan pelanin mobilnya? Supaya lebih lama berdua sama aku?” Lagi-lagi pertanyaan Fiona memaksa David untuk menjawab 'iya'.
“Enggak.”
Lagi-lagi David mengelak. Lalu sesaat kemudian ia mempercepat laju mobilnya.
Mata Fiona mendelik kesal. Jelas-jelas jalanan sedang sedang lengang, tapi David mengemudikan mobil seolah ada ratusan mobil berjejer bergerak merayap di hadapan mobilnya. Hhhh... Lupakan. Saat ini David sudah menaikan kecepatan laju mobilnya. Sedangkan tangan Fiona iseng kembali mengobrak-abrik kepingan kaset milik David. Walau ia tahu, tidak ada lagu-lagu yang cocok di telinganya. Hanya lagu-lagu band beraliran tidak jelas yang hanya bisa merusak kuping Fiona. Tapi tunggu...
SNSD? Sistar? F(x)? 2NE1? Dan... Masih banyak lagi gambar girlband korea yang bahkan Fiona tidak tahu nama grup mereka. Mata Fiona terbelalak melihat kepingan cd baru--sepertinya, berada di tumpukan cd milik David.
“Aku sengaja beli. Siapa tahu kamu mau nebeng mobil aku lagi. Dan ternyata...”
David tersenyum. Senyumnya begitu tulus.
Tanpa sadar Fiona ikut tersenyum menatap kepingan cd baru yang ia genggam. Fiona pikir, ucapan ketusnya kemarin tentang lagu-lagu girlband itu akan berlalu begitu saja di telinga David. Karena jujur, sebenarnya Fiona juga sudah lupa. Bahkan menurut Fiona itu sama sekali tidak penting untuk diingat. Tapi David...
“Maka-” ucapan pelan Fiona tiba-tiba terhenti. Makasih? Fiona akan mengucapkan terima kasih kepada David? Gadis itu segera menepuk-nepuk pipinya.
'Sadar Fiona! Untuk apa berterimakasih dan terharu dengan hal sepele seperti ini? Laki-laki manapun bisa melakukan hal kecil seperti ini! Lagi pula kamu tidak meminta semua ini kan?' Fiona kembali menyadarkan nalarnya untuk tidak berubah menjadi sosok gadis yang melankolis. Dan akhirnya ucapan terima kasih itu tidak tersampaikan.
Tangan Fiona kini bergerak memasukan sebuah keping cd. Menekan-nekan tombol untuk memilih lagu, dan mengatur volume. Ok! Selama perjalanan, ia tidak akan diganggu oleh suara David yang bising, karena kini sudah ter-cover oleh suara lagu dari girl band korea yang sama sekali tidak David mengerti. Dan sebenarnya Fiona juga tidak mengerti-_- namun sepertinya ini lebih baik daripada mendengar ocehan David.
“Aku harus bilang makasih?” tanya Fiona ketika David sudah mengantarkannya tepat di depan pintu apartemen.
“Kalau menurut kamu gak usah. Ya gak usah,” jawab David seraya tersenyum tipis.
“Ya. Menurut aku juga gak usah. Kamu yang paksa aku pulang bareng. Dan kamu yang maksa untuk ngantar aku sampai di depan pintu. Ya kan?” tanya Fiona lagi dengan nada lembut, namun... Sebenarnya terdengar menyebalkan.
David mengangguk. “Ya, aku yang harusnya berterimakasih. Terimakasih karena bersedia untuk aku antar pulang.”
“Sama-sama,” jawab Fiona singkat.
Seperti biasa kan? Jika Fiona melakukan kesalahan, maka David yang akan meminta maaf. Jika David melakukan hal yang berjasa, maka David juga yang akan berterimakasih. Mungkin mereka berdua ada di dalam dunia berkebalikan. Entahlah. Lupakan.
“Aku pulang ya.”
David memutar tubuhnya untuk berbalik, mengayunkan langkahnya menuju lift.
Fiona sempat mematung di depan pintu menatap kepergian David, lalu masuk ke dalam apartemen. Menekan tombol on untuk menyalakan lampu. Hari ini, tidak begitu melelahkan. Hanya saja... Gaun Salsha. Fiona belum mendapatkan ide untuk membuat gaun pernikahan Salsha. Otaknya hari ini seperti cairan kental yang tidak berguna.
Fiona bergerak ke arah dapur, meraih gelas dari lemari kecil di atas pantry. Menekan dispenser untuk mengeluarkan air dingin. Lalu duduk bertopang pada meja makan, menyandarkan punggungnya dengan mata terpejam. Sesekali mendesah. Melepaskan udara kelelahan yang seharian ini hinggap di dalam tubuhnya.
“Gaun apa yang cocok untuk Salsha?” gumam Fiona masih memejamkan matanya.
“Wajah Salsha?”
Untuk memudahkan dalam memilih model gaun, biasanya Fiona menyesuaikan dengan wajah calon pengantin.
“Wajah Salsha?”
Lagi-lagi Fiona bergumam seraya mengencangkan pejaman matanya. Dalam keadaan lelah seperti ini Fiona bisa melupakan wajah siapapun. Sekalipun itu wajah sahabatnya sendiri yang kerap kali ia temui.
Fiona berdecak. Bodohnya. Fiona saat ini lupa akan wajah Salsha? Ohhh... Serasa ingin menjedukan keningnya pada meja makan.
Hening...
Fiona tidak lagi memaksakan dirinya untuk mengingat wajah Salsha. Sudahlah, saat ini Fiona membiarkan kepalanya untuk beristirahat. Kali ini tengkuknya terkulai pada bagian atas sandaran sofa, membuat wajahnya menengadah ke atas. Sepertinya ia sangat malas untuk beranjak berdiri dan melepaskan pakaian, berganti dengan pakaian tidur. Jangankan untuk berjalan, untuk menggerakan jarinya saja ia malas.
Tiba-tiba dalam keheningan, suara intro lagu terdengar. Suara biola, beradu dengan piano. Alunan nada lembut itu sangat Fiona kenal. Tiba-tiba mata Fiona terbuka. Lagu itu semakin jelas terdengar, lagu 'Swan Lake'. Apakah ini hanya halusinasi Fiona? Telinga Fiona juga merasakan kelelahan sehingga bisa mendengar suara lagu yang 6 tahun lamanya berusaha untuk tidak ia dengar.
Tengkuk Fiona tiba-tiba memanas. Keningnya berkeringat, begitu juga dengan telapak tangannya, punggungnya seakan lemas, dan lututnya ia rasakan gemetar mendengar volume lagu indah itu semakin lama semakin kencang. Siapa yang menyalakan lagu sekencang itu? Lagu yang mengantarkan Fiona menjadi seorang ballerina yang malang. Fiona ingin sekali berteriak, namun rasa takut yang ia rasakan kini seperti mengunci mulutnya sendiri. Air matanya tiba-tiba membanjir ketika lagu itu berdentum semakin cepat dengan volume suara yang semakin naik.
“Hhhh... Hhhh... Hhhh...”
Nafas Fiona tersengal-sengal. Kakinya yang gemetar ia paksakan untuk berlari keluar dari apartemen. Dengan langkah berat dan terseret ia memaksakan dirinya untuk berlari. Sama halnya ketika di atas pentas ia memaksakan dirinya untuk menari dan berputar kencang. Air matanya terus mengalir.
Brak... Fiona menghantamkan daun pintu dengan kencang ketika berhasil keluar dari dalam apartemennya. Berlari dengan kencang namun lagu itu seakan terus terdengar dan mengejar langkah cepat Fiona saat ini. Fiona merasakan tubuhnya melayang, gerakannya untuk berlari tidak terkontrol.
Bruk... Tubuh lemasnya bertubrukan dengan seseorang ketika ia akan berbelok di lorong apartemen.
“Fiona?” Suara itu terdengar begitu khawatir.
“Hhhh... Hhhh... Hhhh...”
Fiona tidak mampu mengucapkan kata apapun. Tubuhnya terlalu lemas, saraf motoriknya terlalu lelah untuk memerintahkan mulutnya bergerak.
“Fiona? Kamu kenapa? Hah?”
Laki-laki yang kini menyangga tubuh Fiona, menepuk-nepuk pelan pipi Fiona. David, yang sudah sampai di basement tadi harus kembali ke atas--ke kamar Fiona, karena ponsel Fiona yang tertinggal di dalam mobilnya. Gadis ceroboh! Bagaimana bisa David membiarkan gadis itu tidak bersama ponselnya. Dan terbukti, saat ini Fiona sedang tidak dalam keadaan baik.
“Baal...”
Hanya desisan itu yang keluar dari mulut Fiona.
“Iya aku di sini. Tenang ya. Kamu gak akan kenapa-kenapa.”
David memberanikan diri melingkarkan kedua lengannya pada tubuh Fiona. Wajah gadis itu terlihat pucat, seakan baru saja ditemui hantu menyeramkan.
Fiona tidak mampu berkata apapun lagi. Tangan kanannya malah terus meremas kemeja David dengan kencang.
David terdiam, tidak lagi bertanya. Hanya membiarkan Fiona meremas kemejanya dengan lebih kencang. David membiarkan gadis itu sedikit lebih tenang. Walau harus menunggu waktu pulangnya dengan waktu yang lama.
“Aku anter kamu ke apartemen lagi ya? Tunjukin sama aku ada apa,” ujar David dengan suara pelan ketika ia merasakan tubuh Fiona tidak lagi menegang.
***
Fiona membuka pintu apartemennya dengan malas. Kejadian tadi malam benar-benar membuat tubuhnya lemas. Seseorang menyimpan rekaman lagu Swan lake dengan menggunakan typerecorder di atas meja ruang tamunya. Dan typerecorder itu sekarang sudah diamankan oleh David. Entah akan David selidiki atau bagaimanapun itu Fiona tidak perduli.
Jika saja hari ini tidak ada janji dengan Salsha untuk membicarakan tentang baju pengantinnya maka Fiona tidak akan untuk berangkat kerja.
Crek... Pintu apartemen terkunci. Fiona kini berbalik dan,
“Aaaaa...!!!”
Fiona menemukan laki-laki aneh yang tertidur di depan pintu apartemennya. Bagian kepalanya tertutup jas hitam yang sengaja ia kurung pada tubuh bagian atasnya.
Bruk... Tanpa sadar tas Fiona yang lumayan berat sudah melayang lalu menghantam kepala laki-laki asing itu dengan kencang.
“Awww...”
Laki-laki itu hanya meringis tertahan. Keadaannya yang belum tersadar penuh, baru saja terbangun dari tidurnya membuat gerakannya lambat, tidak mampu untuk menghentikan Fiona yang saat ini tengah memukulnya dengan brutal.
“Fiona! Ini aku.”
Laki-laki itu membuka jas hitam yang menutupi kepalanya.
“Ini aku! Hey!”
Tangan laki-laki itu mencengkram kedua pergelangan tangan Fiona. Menghentikan pergerakan lengan Fiona yang memukul-mukul kepala dan bahunya tanpa henti.
“Ini aku!!!”
Suara itu kini terdengar kencang. Terkesan membentak, jelas saja membuat beberapa penghuni apartemen keluar dari dalam kamarnya untuk melihat peristiwa bising itu.
“Masih pagi. Berisik banget,” gerutu beberapa penghuni sekitar, lebih terkesan sebagai desisan pelan.
“Ini aku.”
Laki-laki itu menatap mata Fiona. Mengelus tengkuk Fiona yang kini mematung dengan nafas tidak beraturan.
“Baal...” Lirih Fiona dengan suara tertahan.
“Iya, ini aku.”
David tidak lagi mencengkram kedua lengan Fiona, tangannya kini memegangi sisi wajah Fiona yang mulai berkeringat. “Tenang ya,” ucapnya lagi.
Plak... Bagh... Bugh... Bugh...
Fiona menampar pipi kiri David, kembali memukul-mukul David. Kali ini lebih brutal dari sebelumnya. Wajah David menjadi sasaran pertama, dilanjut dengan bahu dan punggungnya karena kini David membungkuk menghindari pukulan Fiona pada wajahnya, “Kamu! Pagi-pagi udah bikin aku kaget! Ngapain kamu tidur di depan kamar aku, ha! Aku kaget! Kejadian semalem aja belum bisa aku lupain! Sekarang kamu bikin aku kaget lagi! Apa sih mau kamu!”
Jika tadi hanya beberapa penghuni yang keluar dari kamarnya. Maka sekarang semua kamar yang berada satu koridor dengan kamar Fiona memunculkan kepalanya keluar. Tidak hanya teriakan Fiona yang terdengar bising, tetapi juga suara pukulan Fiona yang terkesan mengenaskan. David laki-laki yang kini terlihat mengenaskan.
“Hhhh... Hhhh... Hhhh...”
Dengan nafas putus-putus Fiona menghentikan gerakannya. Menatap David yang kini bangkit memegangi bagian tulang pipi kanannya yang memar.
“Aku antar ke butik ya,” ujar David dengan suara menahan sakit, wajahnya meringis.
Fiona membulatkan matanya. Setelah dipukuli seperti itu, David masih menawarkan diri untuk mengantar Fiona kerja?
***
“Mbak Fiona mukulin Mas David sampai kayak gini?”
Vina dan Nida yang membantu mengompres memar di pipi kanan David tidak berhenti berkomentar.
“Dia ngagetin aku waktu keluar dari apartemen. Jangan salahin aku kalau aku kaget terus mukulin dia,” ucap Fiona, duduk di meja kerjanya, menatap David yang kini menempelkan handuk pada wajahnya.
“Iya maaf. Aku tidur di depan apartemen kamu, supaya bisa jagain kamu. Kalau aku pulang, terus kamu kenapa-kenapa dan aku gak tau. Aku akan merasa bersalah sama diri aku sendiri. Maaf, aku bikin kamu kaget,” ujar David seraya tersenyum menatap Fiona.
“Mas!” pekik Nida dan Vina bersamaan.
“Udah babak belur kayak gini, masih aja minta maaf,” protes Nida dengan tampang sewot.
“Mbak Fiona yang minta maaf gak bisa?” tanya Vina tidak kalah sewot.
“Ok. MAAF,” ucap Fiona dengan santai, seperti biasa dengan tingkahnya yang menyebalkan lalu kembali berkutat dengan kertas sketsanya.
Vina dan Nida geleng-geleng kepala. Sementara David hanya tersenyum tipis menerima permintaan maaf Fiona. Gadis itu, tidak kah bisa membuat David menjadi orang yang dianggap penting. Sedikit saja?
***
“Semalam, aku kurang tidur,” jawab Fiona, menjawab pertanyaan Jason yang kini duduk di hadapannya. Untuk kesekian kalinya Jason mengajak Fiona makan siang di luar. Fiona jelas tidak menolak. Walaupun sebenarnya setiap diajak makan siang bersama Jason tiba-tiba nafsu makannya hilang, karena sibuk menatap wajah tampan Jason.
“Kenapa?”
Jason terlihat khawatir. Wajahnya sedikit dimiringkan untuk menatap wajah Fiona lebih jelas.
Fiona menggeleng. Harus kah ia menceritakan kejadian semalam pada Jason? Orang yang baru saja ia kenal. Belum lama.
“Fiona?”
Jason menyadarkan Fiona dari lamunannya.
“Ya?”
“Aku tanya, kenapa tadi malem gak bisa tidur?”
“Mmm... Mungkin karena banyak kerjaan. Jadi kepikiran terus, dan akhirnya gak bisa tidur.” jawab Fiona seraya tersenyum. Mencoba menutupi apa yang ia derita tadi malam.
“Kalau setiap malam kamu susah tidur, gimana besok paginya mau kerja?”
Jason menatap mata Fiona, kali ini matanya benar-benar lurus menatap mata Fiona.
“Mulai nanti malam. Janji sama aku, harus tidur yang nyenyak. Ok.”
Jason memegangi tangan Fiona. Mengelus rambut Fiona dengan lembut.
Deg... Deg... Deg... Jantung Fiona melompat-lompat lagi, kali ini seakan ingin keluar dari dalam rongganya. Tapi, untuk saat ini Fiona mencoba melupakan keadaan dadanya, karena yang lebih mengenaskan adalah keadaan kepalanya.Fiona merasakan pusing yang luar biasa. Matanya terpejam, seperti mengingat sesuatu. Sentuhan itu... Fiona mencoba mengingat sentuhan itu... Ya, ia merasakan pernah menerima sentuhan lembut itu. Dari siapa? Fiona benar-benar tidak ingat.
“Fiona?”
Lagi-lagi Jason menyadarkan Fiona yang sering tidak sadarkan diri secara tiba-tiba.
Fiona hanya tersenyum meringis. Untuk kesekian kalinya Jason harus melihat Fiona bertingkah aneh. Memalukan. Tapi tunggu... Sentuhan itu... Fiona masih belum bisa melupakannya.
'Ada apa sebenarnya sama kamu? Kamu benar-benar gak ingat aku?'
Jason menatap Fiona, gadis yang kini sibuk memainkan sedotan minumannya.
'Fiona? Ini aku... Jason.'
Jason menunduk. Membiarkan rasa tidak karuannya itu tidak untuk diperlihatkan pada Fiona.
***
Fiona terus melangkahkan kakinya menyusuri pinggiran trotoar, menuju LB yang jaraknya masih sekitar 50 meter. Jason tidak sempat mengantar Fiona untuk kembali ke butiknya setelah makan siang tadi, ada rapat mendadak. Fiona harus berjalan kaki seorang diri.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba titik-titik hujan jatuh satu persatu menimpa tubuh Fiona, dan seiring kemudian menjadi gerombolan air hujan yang menghantam terus menerus. Dengan segera Fiona menepi, merapatkan tubuhnya pada pinggir atap sebuah toko untuk membuka tasnya, meraih payung lipat yang selalu ia siapkan. Musim hujan, bodoh jika bepergian tidak membawa payung.
Hujan semakin deras, namun Fiona sama sekali tidak berniat untuk berteduh. Malah langkahnya kini bergerak untuk kembali ke butik, langkahnya semakin lama semakin cepat. Hujan yang juga bergerak cepat dan deras kini membasahi kaki Fiona yang telanjang.
Berkali-kali Fiona melepaskan nafasnya. Perjalanan yang tidak terlalu jauh memang, namun jika berjalan tergesa seperti ini jelas saja akan terasa lebih lelah.
Bruk... Fiona berjongkok, karena kini gadis itu telah mencapai batas teras butiknya. Meremas kencang pergelangan kakinya. Sakit. Ia lupa, bahwa kakinya tidak boleh mencapai jarak terlalu jauh. Tapi bagaimana lagi, ia tidak mungkin menunggu hujan sederas ini untuk reda kan?
Sejenak ia rasakan kakinya lebih terasa membaik, Fiona bangkit dari posisinya, lalu membalikan tubuhnya,
“Aaaaa!!!”
Lagi-lagi Fiona menjerit. Entah untuk keberapa kalinya pada hari ini Fiona menjerit. Aneh.
“Ka... Kamu?”
Fiona menatap tubuh David yang tengah berdiri di hadapannya. Basah kuyup. Lebih mirip seperti anak kucing tercebur selokan.
David nyengir, mengusap permukaan wajahnya yang basah. Air yang membasahi rambutnya terus menetes, bahkan mengalir membasahi wajahnya.
“Kamu dari tadi ngikutin aku? Di belakang aku? Ujan-ujanan?” tanya Fiona dengan tampang tidak percaya, heran, kaget, aneh. Tingkah David memang selalu aneh kan?
“Iya.”
David mengibas-ngibaskan jas hitamnya yang ia gunakan sebagai pelindung kepalanya ketika mengikuti langkah Fiona tadi.
“Kenapa kamu gak manggil aku? Kita kan bisa satu payung berdua?”
Fiona lagi-lagi bertanya dengan wajah heran.
“Aku cuma gak mau bikin kamu kaget lagi. Kayak tadi pagi,” jawab David. Lagi-lagi, laki-laki itu selalu menyertakan senyumnya ketika menjawab pertanyaan Fiona, dan itu selalu membuat Fiona seolah tidak bersalah.
“Kaki kamu gak apa-apa?”
David berjongkok, memegangi pergelangan kaki kanan Fiona. “Sakit gak?” tanya David menengadahkan wajahnya.
Fiona menggeleng pelan.
David bangkit, berdiri di hadapan Fiona, “Lain kali. Telepon aku buat jemput kamu, biar kamu gak jalan kayak tadi. Kapanpun. Aku selalu bilang kan sama kamu? Kapanpun ka-”
“Aku tadi makan siang sama Jason. Tapi Jason ada rapat mendadak,” sela Fiona, tidak membiarkan David untuk khawatir berkelanjutan.
“Mmm...”
David hanya bergumam. Lagi-lagi menunjukan senyumnya.
“Ada apa?” tanya Fiona.
“Hm?”
Sepertinya David tidak mengerti atas pertanyaan singkat Fiona, air hujan yang mengguyur kepalanya mungkin membuat kecerdasan otaknya luntur.
“Ada apa kamu datang kesini?” ucap Fiona, memperjelas pertanyaan yang ia ucapkan sebelumnya.
“Ohhh.. Enggak ada apa-apa. Aku cuma mau mastiin. Kalau kamu udah makan siang, kamu baik-baik aja. Kamu... Gak kenapa-kenapa,” jawab David.
Hening...
Tidak ada komentar yang keluar dari mulut Fiona. Begitu juga dengan David. Bingung, harus berkata apa lagi, karena hanya itu alasannya untuk datang kesini.
“Ok. Aku ke kantor lagi ya,” ucap David. Setelah lama berpikir akan mengucapkan kalimat apa lagi, akhirnya ia mengucapkan kalimat itu. Jas basahnya kembali ia taruh di atas kepala. Langkah lebarnya ia ayunkan meninggalkan Fiona.
“Ball!”
Fiona mencoba memanggil David, agar langkah laki-laki itu terhenti, agar laki-laki itu kembali. Walaupun awalnya ragu, tapi sepertinya tidak ada salahnya jika Fiona meminjamkan payungnya pada David untuk digunakan menuju parkiran mobilnya kan?
Namun sepertinya percuma, langkah laki-laki itu cepat dan lebar. Hanya dalam sekejap kini David sudah berada jauh dari hadapan Fiona, ditambah dengan suara hujan yang mengaburkan pendengaran David, sehingga seruan Fiona sama sekali tidak terdengar.
Jarak kantor David cukup jauh. Jika ia menggunakan waktu istirahatnya untuk menemui Fiona, maka waktu istirahatnya akan habis begitu saja. Kapan ia makan siang? Tidak kah ia makan siang? Malah datang kesini, behujan-hujan ria hanya untuk memastikan Fiona sudah makan siang, dan Fiona baik-baik saja. Hanya itu?
Lalu setelah ia melakukan hal tidak penting ini, ia akan kembali bekerja di dalam ruangan ber-ac dalam keadaan basah kuyup. Ya, David memang pintar. Pintar cari penyakit.
“Psikopat!” gumam Fiona, namun entah kenapa kali ini Fiona tersenyum ketika menggumamkan kata itu.
David...
KAMU SEDANG MEMBACA
Ballerina's Bride
Teen FictionCerita karya Citra's Slide , mungkin masa lalu telah mengubah gadis ini menjadi pelupa , bahkan ia bisa lupa dengan wajah wajah sahabatnya tetapi mungkin ia telah menyia-nyiakan cinta yang tulus dari seorang pria berwajah malaikat yang selalu ada un...