Part 2 - The Begining

4.1K 188 1
                                    

“Chhh...” Steffy tersenyum miring. Bola matanya berputar. Terlihat dari tingkahnya, ia sangat meremehkan perkataan Salsha.

Salsha kembali memiringkan bibirnya, sekilas menatap wajah Steffy lalu menghiraukan. “Menurut lo, gue pantes pake baju pengantin gaun atau kebaya modern?”
Salsha berdiri di samping kursi Fiona, kedua tangannya ia taruh di pinggang.

“Buat lo. Dua-duanya cocok.”
Fiona memperhatikan Salsha yang kini memutar tubuhnya.

Salsha kembali duduk. Menarik gelas Steffy yang berisi jus jeruk, lalu menyedotnya dengan anggun. “Gue udah mutusin Bastian,” ucap gadis itu santai seraya memperhatikan kesepuluh kuku jarinya kini. Sontak Fiona dan Steffy memekik bersamaan dengan mata membulat.

“Baru di cat. Bagus gak?”
Salsha menjentikan kesepuluh jarinya tepat di hadapan wajah Fiona.

Fiona menepis tangan Salsha dengan cepat. “Sha! Serius lo mutusin Bastian?”
Dengan wajah seolah tidak percaya Fiona menatap Salsha.

“Kemarin Bastian masih bm gue, nanyain lo,” Steffy menambahkan bumbu tidak percaya juga dalam kalimat yang ia ucapkan, tentu saja disertai dengan alisnya yang bertaut.

Salsha tidak menjawab, seolah pekikan Fiona dan Steffy hanya suara desahan angin yang mampir sejenak di telinganya. Gadis itu masih memperhatikan cat kuku sparkling yang terpoles rapi di kuku jarinya. Selang sepuluh detik ketika Salsha mengedarkan tatapannya, dua sahabatnya itu masih menatap ke araahnya dengan tatapan heran. Salsha mendesah, lalu menarik nafas mengambil ancang-ancang untuk berbicara. “Bastian, temen seangkatan yang gak lulus-lulus?”

'Tunggu!'
Pasca Salsha mengucapkan sepenggal kalimatnya, Fiona dengan segera membuka buku kecil di hadapannya.
'Bastian, pacar Salsha. Mahasiswa Jurnalistik dengan IPK pas-pasan. Hanya mampu mengambil 3 mata kuliah setiap semesternya.' Tulisan itu merupakan keterangan dari foto yang terpajang di bukunya. Fiona mengangkat kedua alisnya. Dalam keadaan terdesak, Fiona terkadang sulit untuk mengingat seseorang sehingga dengan terpaksa ia harus membuka buku catatan anehnya itu.

“Harus sampai kapan gue nunggu? Nunggu dia lulus, cari kerja, sukses, ngelamar gue. Kapan? Kapan dia lamar gue? Kalau gue udah tua?”

Jawaban Salsha membuat Fiona dan Steffy geleng-geleng kepala. “Dia lupa kali, siapa yang bayarin apartemen mewah dia untuk pertama kalinya?” ujar Steffy dengan senyum sinis.

Fiona ikut tersenyum dengan gelengan kepalanya, padahal di dalam kepalanya muncul pertanyaan 'Emang siapa yang bayar?' Fiona sungguh ingin bertanya seperti itu, karena ia benar-benar tidak ingat. Tapi melihat raut wajah Steffy yang mendekati kesan menyeramkan, akhirnya Fiona memasang wajah sok mengerti.

“Hello! Bastian bayarin gue pake duit orang tuanya. Cowok gue sekarang bisa bayarin 10 bahkan berpuluh-puluh apartemen mewah buat gue pake duitnya sendiri. Dia pengusaha. I've never thought about it, but...” Salsha sejenak terkekeh, “mungkin ini takdir cinta gue.”

“Oh iya! Sekarang jam berapa?” tanya Salsha menarik lengan Fiona, menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan Fiona. “Gue ada janji.”
Dengan tergesa Salsha mengeluarkan ponselnya, sejenak menggeser-geserkan telunjuknya pada layar ponsel.

Biasa. Kelakuan Salsha yang muncul dengan lambat dan pergi dengan tergesa sudah biasa diterima oleh Fiona dan Steffy, sehingga keduanya tidak terlalu banyak berkomentar.

“Makan dulu Sha,” Fiona menarik lembut lengan Salsha.

Salsha sejenak melirik makanan yang tersedia di hadapannya. Kentang goreng dan beberapa potong steak disertai setumpuk sayuran di sampingnya. Pemandangan itu membuat bahu Salsha bergidik ngeri.

“Satu porsi steak sama dengan 685 kalori. Belum lagi kentang goreng, satu porsi kentang goreng sama dengan 192 kalori. Ohhh...”
Salsha mengibas-ngibaskan tangan kanannya. Lalu meraih cermin kecil di dalam tasnya.

Ucapan Salsha membuat Fiona sedikit tersentak. Benarkah? Jumlah kalori jika ia memakan semuanya adalah 877 kalori? Berapa hari ia harus berolah raga untuk mengimpaskan jumlah kalori yang ia makan sebanyak itu? Fiona tiba-tiba tertegun.

Walaupun Fiona tidak berprofesi sebagai seorang model, atau bercita-cita untuk menjadi seorang model internasional seperti Salsha, namun Fiona benar-benar menjaga penampilannya. Tidak jarang, bahkan setiap wanita yang menjadi kliennya akan memperhatikan penampilan Fiona. Bagaimana bisa seoarang desainer memiliki bentuk tubuh yang tidak indah? Akankah ada orang yang menghampirinya untuk menjadi klien? Mungkin ada, namun tidak akan sebanyak sekarang.

Fiona, seorang gadis cantik dengan bentuk tubuh yang indah, selalu dipercaya oleh setiap calon pengantin wanita untuk membuat gaun pengantinnya ketika pertama kali bertemu.

Penampilan Fiona mampu meyakinkan para calon pengantin wanita, bahkan calon pengantin pria. Tidak jarang calon pengantin pria yang mengantar calon istrinya mengunjungi butik Fiona malah lebih tertarik melihat pakaian yang membalut tubuh Fiona daripada gaun pengantin yang terbalut indah pada manekin. Lalu setelah itu meminta nomor telepon Fiona dengan alasan 'jika ada apa-apa perihal baju pengantin'. Padahal, niat sebenarnya adalah menelepon Fiona pada malam hari untuk mengajak kencan atau sekedar dinner.

Pernah suatu ketika kejadian tragis teralami oleh Fiona. Ketika acara pernikahan sepasang kekasih yang tinggal 1 minggu tidak lain adalah klien Fiona, pengantin pria yang terbilang masih muda, memutuskan untuk tidak menikah dengan calon pengantin wanitanya dengan alasan terang-terangan jatuh cinta pada Fiona. Laki-laki itu bersikeras mengaku bahwa dirinya tidak mencintai calon istri yang akan ia nikahi, gadis yang ia cintai adalah Fiona.

David, ya... Fiona masih dapat mengingat nama laki-laki itu. Bahkan sampai saat ini laki-laki itu masih sering memperlihatkan batang hidungnya untuk mengejar Fiona. Mengejar cinta Fiona, namun Fiona masih memberikan kesan bahwa itu adalah teror yang harus ia hindari.

Kejadian itu sempat membuat Fiona beserta nama outletnya tercemar. Jelas saja... Caryn, yang tidak lain adalah mantan calon istri David, dengan lantang menyuarakan rasa sakit hatinya di berbagai jejaring sosial. Berkoar mengeluarkan unek-uneknya seperti orang kesurupan, bahkan beritanya sempat masuk koran lokal.

Gila? Ya, hal itu sangat membuat Fiona gila. Sehingga untuk saat ini, Fiona harus lebih hati-hati dalam menghadapi calon pengantin yang datang ke outletnya. Jika saja tidak terkesan aneh, Fiona ingin sekali memasang pamflet 'calon pengantin pria dilarang masuk' tepat di samping pamflet 'OPEN' yang tergantung di pintu kaca outletnya.

“Ya kan Fiona? Lo juga harus jaga penampilan. Biar lebih banyak lagi laki-laki yang kayak David.” Ucapan Salsha membuat Fiona sedikit terkejut, tersadar dari pikirannya yang tenggelam dalam bayangan atas nama David.

Salsha menyeringai usil. Setelah mengkatup tutup cermin bedaknya lalu ia berdiri. “Seorang pengantin pria membatalkan pernikahan dengan calon pengantin wanita karena jatuh cinta pada seorang perancang baju pengantin.”
Salsha tertawa, tawanya kini terkesan terbahak disertai oleh kekehan Steffy.

“Lo masih inget aja tulisan besar yang nempel di cover depan koran.” Kali ini tawa Steffy terkesan lancang.

“Ck!”
Fiona menatap sekeliling. Memperhatikan mata beberapa pengunjung yang kini teralih ke arah mereka.

***

“Mbak. Tadi Mbak Amanda ada nelepon. Katanya dia lagi diperjalanan mau ke sini,” ucap Nida, salah satu asisten Fiona. Nida dan Vina, dua asisten Fiona memang kerap untuk tidak berucap formal pada Fiona. Sebenarnya itu atas saran dari Fiona, agar tidak terkesan canggung, lagi pula umur mereka juga tidak terlampau jauh.

“Oh iya. Nanti tolong disiapin aja ya. Gaun yaaaang...”
Pandangan Fiona mengedar. “Gaun yang itu.”
Fiona menunjuk salah satu manekin dengan gaun pengantin putih yang baru saja ia selesaikan semalam.

“Sip mbak.”
Nida berlalu, menghampiri manekin yang baru saja Fiona tunjuk.

Sementara Fiona segera menyalakan tombol power laptop di hadapannya. Setelah Mr.Loading tidak muncul, Fiona meng-klik dokumen yang sudah ia posisikan di dekstopnya.

“Amanda. Amanda.” Fiona bergumam seraya menatap layar laptopnya. Jari telunjuknya bergerak menarik roll mouse. “Nah!”
Fiona menemukan foto Amanda dengan beberapa keterangan di sampingnya. Wajah Amanda, Fiona mengingat itu sekarang.

“Haaaiii!!!”

“Oh haiii!!!”
Fiona refleks menyambut sapaan itu dengan tampang kaget. Amanda yang kini baru saja memasuki outlet Fiona membuat Fiona yang tengah duduk di kursinya terkejut sampai ia ingin menumpahkan gelas kopi yang digenggamnya pada layar laptop.

Tanpa aba-aba, Amanda sudah berdiri di samping manekin yang terbalut pakaian pengantinnya. “Bisa saya coba sekarang?” tanyanya dengan nada terburu. Nida yang bertugas mempersiapkan gaun tersebut mengangguk cepat.

Amanda masuk ke dalam kamar ganti berukuran besar yang sudah tersedia di balik tirai putih dengan kaca-kaca besar memenuhi dinding ruangan. Fungsinya untuk melihat gaun yang dikenakan dari berbagai sudut.

Setelah melucuti gaun dari manekin, kini Nida dan Vina dengan hati-hati memboyong gaun untuk masuk ke dalam kamar ganti. Membantu Amanda untuk fitting.

Fiona masih berkutat dengan laptop di hadapannya. Sesekali menatap tirai putih yang di dalamnya terdengar suara pekikan-pekikan kekaguman Amanda. Amanda belum berkomentar apapun dan kedua asistennya belum meminta Fiona untuk masuk. Itu artinya Amanda belum selesai memakai gaunnya. Namun tiba-tiba,

“Aaaaaaa!!!” Jeritan itu terdengar melengking dari dalam tirai. Lagi-lagi Fiona dibuat terkejut. Itu adalah jeritan Amanda. 'Ada apa?' Dengan tampang gusar, Fiona bergegas bangkit dan menyingkap tirai kamar ganti.

Amanda yang kini sudah mengenakan gaun pengantin putihnya dengan rapi tengah menatap tubuhnya pada cermin di hadapannya. Kedua telapak tangannya mengkatup mulutnya sendiri.

“Ada apa?”
Wajah Fiona terlihat sangat kebingungan.

Amanda tidak menjawab. Kini dengan cepat tubuhnya berbalik memunggungi Fiona. Memperlihatkan resleting gaun yang macet hanya mencapai setengah punggung.

“Ya ampun.”
Fiona menghampiri Amanda yang kini memasang wajah stress.

“Kenapa bisa kekecilan?” tanya Amanda, berbalik menatap Fiona.

Fiona tidak menjawab. Dengan cepat menarik lengan Amanda untuk mendekat. Diraihnya alat pengukur lingkar pinggang dari meja samping. “Perut kamu melebar 5 cm. Kamu gak ikuti saran aku untuk diet ya? Malah makin lebar,” ujar Fiona setelah melingkarkan alat pengukur pada perut Amanda.

“Gimana ini? Besok aku gimana?”
Amanda mencak-mencak dengan wajah yang semakin terlihat stress dari sebelumnya, sama sekali menghiraukan pertanyaan Fiona.

Fiona menggeleng dengan wajah pasrah. Sepertinya nanti malam Fiona harus beraktivitas lagi ketika orang lain nyenyak untuk tertidur.

***

“Kalau mbak butuh bantuan. Saya sama Nida mau kok malem ini lembur,” ujar Vina seraya membereskan sisa peralatan di meja besar, meja yang biasa mereka gunakan untuk membeberkan bahan pakaian.

“Gak usah. Cuma lebarin baju dikit. Saya sendiri bisa kok.”
Fiona tersenyum tipis. Amanda! Lagi-lagi wanita itu membuat Fiona bekerja ekstra. Padahal acara resepsi pernikahannya akan digelar jam 11 siang besok. Tapi karena ukuran perut Amanda yang melebar 5 cm, Fiona harus merombaknya lagi. Walaupun merombak sedikit, namun merombak bahan brukat bukan suatu hal yang mudah.

Fiona mendesah. Menatap kepergian dua asistennya dari pintu kaca, mereka sudah keluar dari outlet. Hanya tersisa Fiona seorang diri. Tirai putih penutup ruangan sudah tertarik menutup dan pamflet 'OPEN' sudah dibalikan menjadi 'CLOSED'.

Fiona berkacak pinggang. Menatap manekin yang terbalut gaun pengantin Amanda di hadapannya. Sejenak menatap gaun itu dari arah belakang, lalu dengan gerakan malas Fiona meraih gunting, memulai aksi tangan dinginnya sebagai 'desainer muda penuh kreativitas', sebenarnya itu julukan dari Fiona sendiri untuk dirinya-_-.

Sesekali Fiona bergerak mengelilingi meja untuk meraih alat yang ia butuhkan. Menambahkan payet yang terpangkas dan hal-hal kecil lainnya. Untuk memudahkannya berjalan Fiona sampai harus membuka high heels yang ia kenakan, membuka blazer yang menutupi kemeja putihnya, mengikat rambutnya sembarang dengan potongan kain sisa, mulutnya menggigit jarum atau payet yang ia gunakan agar tidak perlu menjangkau terlalu jauh. Sungguh, Fiona terlihat memprihatinkan.

'Trek trek trek'

Tiba-tiba Fiona merasakan bulu kuduknya meremang. Tengkuknya berubah memanas. Suara itu? Suara seseorang di luar sana mengetuk pintu kaca outlet Fiona, mengetuk dengan menggunakan sebuah kunci kedengarannya. Tapi siapa?

“V... Vina? Atau Nida?”
Fiona berteriak dengan suara tertahan.

“Aku,” jawab seseorang di luar sana dengan suara santai.

“Ck!” Fiona berdecak. Hawa menyeramkan yang baru saja menyelimutinya tiba-tiba melumer dan berganti menjadi hawa menjengkelkan, “ngapain ke sini! pergi sana!” ketus Fiona.

'Trek trek trek'

Suara itu terdengar lagi. Sepertinya orang di luar sana mempergunakan kunci mobilnya untuk mengetuk pintu kaca.

“Fiona! Buka. Aku mau nemenin kamu lembur. Aku baru pulang kerja.”

Hening... Tidak ada respon dari Fiona.

“Aku bawa makanan loh Fiona, bawa minuman. Satu kantong penuh.”

Masih hening...

“Fiona...” Suara itu terdengar berirama, “sampai kapan kamu nyuruh aku nunggu di sini?”

Fiona masih tidak menjawab. Sibuk terfokus pada potongan kainnya.

“Ya udah kalau kamu gak mau ditemenin.”

Setelah kalimat itu. Selang 10 menit, tidak ada suara lagi yang terdengar dari luar. Tapi itu justru malah membuat Fiona gusar. Apakah orang itu pergi? Tega laki-laki itu membiarkan Fiona berlembur sendirian di butiknya?

Fiona melangkah menghampiri pintu kaca butik. Tangan kanannya sedikit menyingkap gordyn yang menutupi pintu.

“Hai,” sapa laki-laki di luar sana. Tepat di hadapan Fiona membuka gordyn laki-laki itu berdiri seraya tersenyum melambai-lambaikan tangan kanannya.

“Hhhh...”
Fiona mendesah, setengah kesal. Aksi mengintipnya tertangkap basah. Tangannya kini membuka kunci pintu dan memutar knop.

“Masuk.” Suara Fiona masih terdengar ketus. Mungkin tidak ada salahnya juga membiarkan laki-laki aneh itu menunggu di dalam.

“Dari tadi kek. Dingin tahu di luar.”

“Siapa yang nyuruh?” tandas Fiona seraya mengangkat dagunya. “Orang tuh pulang kerja. Maunya langsung nyampe rumah. Mandi, makan, tidur. Nah. Kamu? Ngapain kesini?” Fiona menatap wajah laki-laki yang kini duduk di sofa putih berbulu yang terdapat di samping kanan jejeran manekin.

“Buat kamu. Apa sih yang enggak? Selelah apapun itu gak akan terasa kalau sama kamu.”
Laki-laki itu membuka satu botol green tea dan menyerahkannya pada Fiona, walau ia tahu Fiona akan menggeleng ketika tangannya mengulurkan botol minuman. Mungkin Fiona takut laki-laki itu memasukan obat bius ke dalam minuman yang ia berikan.

“Gombal,” desis Fiona dengan suara sedikit berirama.

“Gombal? Apa lagi yang harus aku buktiin kalau aku sebenernya cinta sama kamu? Masih kurang pengorbanan aku batalin pernikahan aku? Buat kamu? Buat sama kamu?”
Laki-laki itu kembali duduk di sofa, menatap Fiona yang sibuk dengan pekerjaannya.

Fiona berbalik, menatap laki-laki yang kini tengah meneguk minuman botolannya. “Hoh...” Mulut Fiona membulat, sedikit terkekeh, “Harusnya kamu sadar. Justru hal itu yang bikin aku gak akan pernah mau terima kamu.”
Fiona kembali berbalik menusukan jarum jahitnya pada gaun yang tengah ia perbaiki.

“Oh ya?”
Raut wajah laki-laki itu berubah sedikit murung, tidak seantusias semula.

“Ya. Kejadian kamu membatalkan pernikahan kamu dengan Caryn, itu bikin aku berpikir kalau kamu bukan pria baik-baik. Bisa jadi suatu saat nanti kamu ninggalin pengantin wanita kamu lagi untuk gadis yang baru kamu temui.”
Fiona kembali berkata ketus.
“Psikopat.”
Kali ini perkataan Fiona terkesan seperti desisan.

“Ok. Tunggu si psikopat ini dapetin cinta kamu ya,” ujar David, laki-laki yang sedari tadi memaksakan diri untuk menemani Fiona.

“Ok. Tunggu gadis yang kamu kejar ini dapetin laki-laki idamannya dan bikin kamu patah hati ya,” balas Fiona tersenyum miring.

David tidak menjawab. Hanya mengangkat kedua alisnya dengan santai. Entahlah, kerap kali Fiona menolak, mencaci, bahkan menerjangnya secara terang-terangan, laki-laki itu masih tetap bertahan di tempatnya. Apapun yang Fiona lakukan, seketus apapun dan sejahat apapun tindakan Fiona, sepertinya tetap terkesan manis di mata David.

“Selesai.”
Fiona menepuk-nepuk kedua lengannya yang seolah berdebu. Padahal sedari tadi ia hanya berkutat dengan kain, jarum, dan payet-payet sparkling-nya.

“Kita pulang.”
David menyambutnya dengan senyum antusias.

“Hoh? Kita?” pekik Fiona seolah tidak percaya, “kamu pulang sendiri. Aku...”
Fiona mengalihkan pandangannya, pandangannya kini berpendar ke segala arah.

“Aku dijemput,” lanjut Fiona dengan tatapan yang beredar, menghindari tatapan David yang menyipit.

“Di jemput?”
David mengernyit seolah balik tidak percaya.

“Iya!” tegas Fiona, “pulang sana! Nanti cowok aku keburu datang!”
Fiona mendorong punggung David, mengaitkan kantong berisi makanan yang masih penuh pada tangan David.

“Setelah aku nemenin kamu? Aku diusir gitu aja? Manis banget tingkah kamu sama aku.”
David yang kini sudah berdiri di luar pintu kaca butik menatap dengan wajah yang masih tidak percaya. Padahal tujuan utamanya kan menunggu Fiona hanya untuk mengantar gadis itu pulang, tapi ia diusir karena ada laki-laki lain yang akan menjemput Fiona? Tragis.

“Pulang!” bentak Fiona dengan wajah kesal.

“Ok! Ok! Gak usah pake melotot bayar berapa?” tanya David setelah membuka pintu mobilnya, melemparkan kantong makanannya ke dalam mobil dengan sembarang. Menyebabkan makanan ringan yang ia beli di minimarket itu berserakan di dalam mobil.

David membanting tubuhnya di atas jok pengemudi. Memutar kunci mobil dengan kesal. Menginjak pedal gas dengan tiba-tiba. Dan melesat menghilang dari tatapan Fiona saat ini.

“Hhhh...” Fiona mendesah lega. Kembali masuk ke dalam butiknya untuk meraih blazer dan tas miliknya. Sekilas melirik jarum jam tangannya yang ternyata sudah menunjukkan pukul 1 malam.

Sudah malam ternyata? Bodoh kah keputusannya ini? Fiona menggeleng cepat. Setelah mengunci pintu butiknya dengan mengendap-ngendap, melirik kanan kiri takut David masih menunggunya dan memaksanya untuk pulang bersama. Tapi... Tidak ada, mobil David sudah lenyap. Fiona melangkah dengan lemas menuju tepi jalan. Udara dingin mulai menyeruak. Angin malam mulai bermain-main dengan bulu tipis di tubuhnya sehingga ia harus mengeratkan blazer yang ia kenakan. Kendaraan yang melintas cepat di hadapannya membuat rambut dan bagian bawah roknya bergoyang menerima terpaan angin malam.

Akhirnya. Setelah selang 10 menit, tangan kanan Fiona bergerak melambai-lambai ke arah jalan. Menghentikan sebuah taxi blue bird yang melaju pelan.

'Blugh'

Pintu taxi tertutup seiring dengan menghilangnya tubuh Fiona masuk ke dalam taxi.

“Ohhh... Jadi cowok idaman kamu supir taksi Fiona? Seorang David kalah sama supir taksi? Apa ini?”
David terkekeh. Laki-laki itu ternyata belum pulang. Berada di dalam mobilnya yang terletak di ujung jalan, berjarak sekitar 20 meter dari butik Fiona.

“Ok Fiona seorang perancang busana pengantin pacarnya supir taksi. Jangan pikir David si psikopat ini akan menyerah begitu saja.” Laki-laki itu menghentikan kekehannya. Menginjak kembali pedal gasnya untuk mengikuti arah taksi yang ditumpangi Fiona. Memastikan gadis itu pulang ke apartemennya dalam keadaan baik-baik saja.

Ballerina's BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang