“Bukan Caryn,” ucap Fiona, menatap Salsha yang duduk di sampingnya. Sementara Steffy duduk di hadapan mereka, sibuk mengotak-atik kamera yang menggantung pada tengkuknya. Di tengah kesibukan masing-masing, untuk hari ini mereka menyempatkan makan siang bersama.
Crek...
Steffy iseng memotret Fiona dan Salsha yang berada di hadapannya.
“Steff!” pekik Fiona dan Salsha bersamaan.
“Ngetes doang. Kamera gue baru selesai di servis.”
Steffy kembali tertunduk, menekan-nekan tombol di samping layar kameranya.
“Terus siapa dong?” tanya Salsha kembali menatap Fiona seraya memainkan garpu yang sudah menusuk potongan buah melon di atas piringnya.
“Gak tahu.”
Fiona kembali meringsut. Kembali mengingat bahwa kemarin pagi juga orang itu mengirimkan baju ballet di depan pintu apartemennya.
“Bastian?”
Tiba-tiba Steffy ikut nimbrung.
“What?”
Salsha memekik, tidak mengerti maksud Steffy.
“Bastian. Dia pernah dikabarin stress ringan kan gara-gara lo tinggalin? Sampau gak masuk kuliah selama 3 minggu,” ucap Steffy mencoba mengingatkan Salsha.
“Oh ya? Gue gak tahu.”
Salsha seolah ingin menutup telinganya ketika mendengar kabar mantan kekasihnya yang malang itu.
“Lo gak tahu? Gue tahu itu semua dari lo deh perasaan.”
Steffy berkata santai.
“Apa hubungannya sama Bastian?”
Wajah Fiona terlihat masih tidak mengerti.
“Ok. Gini.”
Steffy menarik nafasnya, lalu membuangnya perlahan. “Bastian, dia itu orang yang paling gak terima sama keputusan Salsha untuk segera menikah sama pacarnya sekarang kan?”
Steffy menatap mata kedua sahabatnya yang menatapnya dengan serius.
“Ya terus?” tanya Fiona.
“Karena Fiona yang bikin gaun pengantin untuk pernikahan Salsha, bisa jadi dia neror Fiona supaya berhenti bikin gaun itu,” jelas Steffy lagi.
“Gak masuk akal!” tukas Salsha, tidak terima ketika Steffy menuduh Bastian tanpa dasar yang kuat. Asal tuduh! Fitnah!
“Kenapa gak masuk akal? Itu bisa aja terjadi kan?” ucap Steffy lagi tetap keukeuh.
“Enggak Steff. Gak mungkin.”
Sepertinya untuk saat ini Fiona berpihak pada Salsha. Jika Bastian yang melakukan hal itu, ceritanya terlalu seperti sinetron drama .
“Gue tahu banget dia Steff!”
Salsha kembali menukas prasangka buruk Steffy.
“Cieee... Yang masih sayang.”
Fiona malah bergurau menggerak-gerakan telunjuknya di depan wajah Salsha.
Salsha menepis lengan Fiona. “Gak mungkin Bastian!” tegas Salsha lagi.
“Gak ada salahnya kalau kita coba. Besok kita temuin dia ok? Gue yang nganter lo besok,” tandas Steffy tanpa nego lagi.
Fiona terdiam, tidak menyetujui atau menolak rencana paksaan Steffy. Fiona hanya menatap wajah Salsha yang terlihat kesal atas sikap Steffy yang terkesan seenaknya.
***
Seharian ini Fiona berkutat sendiri di depan meja kerjanya. Menyelesaikan sketsa-sketsa yang kemarin tidak terselesaikan. Acara teror-meneror itu membuat Fiona membengkalaikan pekerjaannya saat ini.
Vina dan Nida sudah pulang terlebih dahulu. Fiona membiarkan keduanya pulang. Karena pekerjaan hari ini sepertinya sangat melelahkan, dan Fiona kerap tidak berada di butik.
Entah sampai pukul berapa Fiona akan diam di sini. Bisa jadi ia akan menginap di LB lagi jika pekerjaannya tidak terselesaikan. Bergadang lagi. Nasihat dr. Dicky sama sekali tidak ia hiraukan. Berkali-kali dr. Dicky menelepon Fiona untuk melakukan chek-up, tapi Fiona seolah tidak mendengar ocehannya.
Fiona kembali berkutat dengan kertas-kertasnya. Rambutnya ia ikat cepol agar tidak tergerai ke depan menghalangi pandangannya.
Srtt... Srtt...
Gerakan pensil Fiona sangat terdengar nyaring pada waktu selarut ini. Berkali-kali Fiona membuat guratan garis sketsa, dan jika tidak sesuai maka ia akan meremasnya lalu melemparkan asal.
Sungguh, akhir-akhir ini Fiona merasakan kepalanya sulit untuk diajak kerja sama. Terlalu banyak hal yang ia pikirkan sehingga ia melupakan hal penting lain.
Untuk menghilangkan suntuk Fiona menarik laci meja kerjanya. Terlihat kertas sketsanya yang baru setengah jadi. Gambar baju ballet yang dr. Dicky sarankan. Fiona menyimpan di hadapannya kini. Hanya menatap kertas itu dengan tatapan kosong. Sepertinya sangat sulit untuk Fiona menempelkan pensilnya pada kertas itu.
Trek... Trek... Trek...
Suara itu lagi.
Trek... Trek... Trek...
Terdengar lagi. Seharian ini, setelah kejadian semalam ketika acara nontonnya bersama David gagal, David sama sekali tidak ada menghubunginya. Fiona baru tersadar akan hal itu.
Saat ini Fiona malah mencoba membuka-buka isi pesan masuknya. Siapa tahu Fiona melupakan pesan singkat dari David yang masuk ke dalam ponselnya. Tapi setelah Fiona memeriksanya, tidak ada. Tidak ada satupun pesan singkat dari David.
Trek... Trek... Trek...
Fiona tersentak. Suara itu terdengar lagi. Terpaksa ia harus beranjak dari kursinya, membuka pintu kaca itu dengan malas.
“Hai.”
Sapaan itu terdengar. Laki-laki di hadapan Fiona tersenyum lebar.
Fiona balas tersenyum. Menatap laki-laki yang kini berdiri di hadapannya. Bukan David ternyata. Bukan si Psikopat itu ternyata. Pundak Fiona merunduk, cercaan yang sudah ia siapkan untuk disemburkan tiba-tiba harus tertahan.
“Aku boleh masuk?” tanya laki-laki itu.
“Oh ya. Tentu.”
Fiona membuka lebar pintu. Membiarkan Jason, laki-laki itu masuk ke dalam butiknya. Malam ini ia akan ditemani oleh Jason? Bukan David? Sebelum menutup pintu, Fiona mengedarkan pandangannya. Tidak adakah David di sekitar butiknya? David tidak lagi perduli pada Fiona yang bergadang tengah malam sendirian? Hhhh... Tidak. Kali ini ada Jason.
Sementara David tengah duduk pada jok pengemudi di dalam mobilnya, menatap nanar pemandangan di depan sana. Mobilnya yang terparkir berjejer bersama mobilnya yang lain membuat Fiona tidak menyadari keberadaan David yang hanya berjarak 20 meter dari butiknya.
David sengaja tidak keluar dari dalam mobil, menunggui Fiona yang tengah bergadang di dalam sana. Menjaga Fiona dari kejauhan.
Saat ini? Sepertinya sudah tidak ada gunanya lagi. Ada laki-laki lain yang kini menemani dan menjaga Fiona dalam jarak yang dekat. David menelungkupkan wajahnya pada stir mobil.
'Ya. Dan sekarang, aku tawarin sama kamu... Apa gak nyerah aja?'
'Yayaya... Silahkan. Aku cuma nawarin. Sebelum hati kamu benar-benar hancur.'
Haruskah David benar-benar menyerah? David menggeleng pelan. Memutar kunci mobilnya. Kembali menstarter mobilnya. Lalu melajukan dengan pelan.
Fiona sesekali menatap layar ponsel. Layar ponsel yang sedari tadi tidak kunjung menyala, bergetar, atau berdering. Lalu kembali berkutat pada kertasnya. Melirik ponselnya lagi. Kembali pada kertasnya lagi. Berkali-kali Fiona melakukan hal aneh itu
Jason yang duduk di hadapannya hanya menatap wajah Fiona. Menatap siluet wajah Fiona lekat-lekat. 'Nyaris tidak ada yang berubah, tetap cantik.' Gumamnya dalam hati.
“Ini baju ballerina?”
Jason meraih kertas sketsa yang tidak pernah usai untuk Fiona selesaikan.
“Mmmm...”
Fiona hanya bergumam, sekilas menatap Jason lalu kembali berkutat dengan pekerjaannya.
“Kenapa kamu gak lanjut jadi seorang ballerina?” tanya Jason.
Pertanyaan Jason membuat Fiona tersentak, tangan kanannya berhenti bergerak. Dari mana Jason tahu tentang hal itu? Fiona menatap wajah Jason, bingung.
Jason membuang tatapannya asal menghindari tatapan Fiona, “kamu pernah cerita sama... aku. Ya. Pernah,” jawab Jason gelagapan.
“Oh ya?”
Fiona lupa. Benarkah Fiona pernah menceritakan dirinya yang sempat menjadi seorang ballerina, dulu? Hhhh... Penyakit pelupanya kembali. Fiona menepuk-nepuk keningnya pelan.
Tiba-tiba Jason meraih tangan Fiona. “Aku seneng banget kalau suatu saat bisa lihat kamu nari lagi,” ucap Jason, genggaman tangannya begitu lembut, hangat.
Fiona tidak berkomentar apapun. Hanya menatap Jason dengan wajah bodohnya. Menari lagi? Hhh... TIDAK!
***
“Ngaku lo!!!”
Untuk ke sekian kalinya Steffy membentak Bastian.
“Ngaku apa sih?”
Bastian yang kini tersudutkan di pojok kamarnya, hanya mampu meringis ketika Steffy berkali-kali memukulinya dengan bantal.
“Lagu itu! Baju itu! Lo yang kirim ke rumah Fiona kan! Ngaku!”
Lagi-lagi Steffy bertingkah brutal. Memukuli Bastian dengan gerakan cepat.
“Steffy!” pekik Bastian.
“Lo sengaja teror Fiona supaya dia gagal bikin gaun buat Salsha kan?”
Ketika mengatakan hal itu, Steffy berubah menjadi sosok yang 2 kali lipat lebih menyeramkan.
“Steffy! Udah Steff!” Fiona yang sedari tadi menyaksikan adegan tragis itu kini bergerak mendekati Steffy. Menarik-narik lengan Steffy yang terus menghantam laki-laki malang itu.
“Lo beneran gak mau ngaku Bas?” tanya Steffy dengan nafas terengah-engah.
“Sumpah gue gak ngerti maksud lo!”
Bastian yang kini duduk di pojokan kamarnya menatap Steffy dan Fiona silih berganti. Kedua gadis itu berdiri di hadapannya, menatap sosok Bastian yang kini kurus, kumal, ada bulu-bulu pendek di sekitar dagunya. Tidak terurus. Malangnya Bastian.
Fiona sangat mengenali sosok Bastian. Walau tadi ketika pertama kali datang ke kamar Bastian, Fiona harus membuka catatan bodohnya untuk mengenali wajah Bastian lagi. Tapi saat ini Fiona ingat, sangat ingat wajah Bastian yang dulu keren, stylish, modis. Tidak seperti sosoknya yang saat ini Fiona lihat.
Fiona menjatuhkan tubuhnya, ikut duduk di samping Bastian. “Maafin kita Bas,” ucap Fiona. Pria malang ini sepertinya benar-benar tidak tahu apa-apa. Berkali-kali Steffy mendesaknya, tetapi tetap Bastian tidak mengerti. Dan, Fiona mampu melihat bahwa laki-laki itu berkata jujur, tidak tahu apa-apa.
Steffy ikut meringsut. Duduk di hadapan Bastian, “gue keterlaluan ya Bas?” tanya Steffy.
Bastian tidak menjawab. Hanya menatap kosong segala sesuatu yang ada di hadapannya. “Gue masih sayang sama Salsha,” ucap Bastian pelan, hanya terdengar seperti gumaman.
“Kenapa dia tega banget sama gue? Apa salah gue sama dia? Apa gue pernah nyakitin dia sampai dia ngelakuin hal ini sama gue?” tanya Bastian dengan suara lirih.
Steffy dan Fiona hanya mampu menatap Bastian dengan tatapan iba. Sama sekali tidak menjawab rentetan pertanyaan Bastian. “Gue harus ngapain supaya dia nerima gue lagi?” Mata Bastian kini mulai terlihat berkaca-kaca.
“Gak ada. Lo gak harus ngelakuin apa-apa.”
Fiona memegangi kedua tangan Bastian. “Yang harus lo lakuin. Cuma hidup normal kayak dulu. Lo gak harus kayak gini karena Salsha ninggalin lo.”
Bastian sekilas menatap Fiona. Lalu kembali menunduk. Laki-laki itu terlihat sangat lemah saat ini. Hanya karena seorang gadis yang saat ini tidak mau lagi bersamanya.
***
Fiona berjalan lunglai di koridor apartemennya. Tidak berhenti mengumpat tukang servis lift yang sampai saat ini belum menyelesaikan pekerjaannya. Membuat ia harus melangkahkan kakinya melalui ratusan anak tangga untuk mencapai kamarnya yang berada di lantai 3. Jika saja kamar Fiona melebihi lantai 3, maka Fiona tidak akan pulang ke apartemennya, mungkin lebih memilih untuk menginap di tempat Steffy atau Salsha.
Fiona pulang lebih awal. Sekarang baru saja menunjukan pukul 5 sore. Fiona memutuskan untuk pulang. Merasa sangat lelah karena baru saja mengantarkan gaun pengantin ke sebuah acara resepsi pernikahan yang berjarak lumayan jauh, belum lagi macet yang luar biasa. Maka dari itu, Fiona memutuskan diri dan kedua asistennya untuk menutup LB lebih awal dan bersegera pulang.
Bruk... Fiona menghantamkan punggungnya pada pintu. Tubuhnya berangsur meringsut turun dan terduduk. “Tukang servis sialan!” makinya lagi, dendamnya pada tukang servis itu belum berakhir ternyata.
Nafasnya masih terputus-putus. Sesekali mengelap keringat dan mengibas-ngibaskan telapak tangan pada wajahnya. Sungguh ini sangat mennjengkelkan.
Dukh... Tangan kiri Fiona menyentuh sesuatu yang berada di sampingnya. Sebuah kotak lagi?
Dalam kelelahannya Fiona memaksakan diri untuk berdiri. Tatapan Fiona mengedar. Kotak ini untuknya lagi? Kali ini kotak itu berwarna pink dihiasi pita putih. Fiona mulai sulit menelan ludahnya kini. Apakah kotak itu berasal dari orang yang sama? Apa lagi benda yang dikirimkan oleh orang itu sekarang?
Fiona mendekati kotak tersebut. Dan...
Brak... Menendang kotak itu dengan kencang sehingga tutup atas kotak terbuka, mengeluarkan isi di dalamnya.
Sepasang sepatu ballet berwarna glossy pink. Sepatu itu... Sepatu sejenis yang sempat ia kenakan dulu. Sepatu berpita putih pada bagian atasnya. Sepatu yang...
Mata Fiona kembali berair. Nafasnya lebih sesak melebihi ketika ia menaiki ratusan anak tangga tadi. Tap... Tap... Tap... Fiona mengambil langkah mundur menjauhi kotak yang kini berserakan di hadapannya. Tangan kanannya mencengkram tali tasnya erat.
Dengan langkah berat akhirnya Fiona memutuskan untuk berlari menjauh. Kembali menuruni anak tangga yang baru saja ia lalui untuk bergerak naik. Nafasnya kembali terdengar tidak beraturan. Fiona melompati anak tangga dengan cepat. Seolah pengirim kotak itu kini berada di belakang untuk mengejar langkahnya. Berkali-kali Fiona melirik ke belakang.
Trap... Tanpa sadar langkahnya telah sampai di teras lobi. Dengan kaki bergetar Fiona mendekati sofa lobi. Menjatuhkan tubuhnya dengan lemas di atas sofa. Banyak orang di sekitar lobi memperhatikan dirinya, namun Fiona sama sekali tidak perduli. Tangan kanannya tanpa sadar bergerak mengaduk isi tas. Meraih ponselnya.
“Hallo? David...” ucapnya dengan suara bergetar. Fiona melelehkan air matanya ketika mendengar sahutan dari seberang sana yang terdengar sangat khawatir.
Lima menit...
Sepuluh menit...
Lima belas menit...
Hingga 20 menit kemudian...
Fiona menunggu laki-laki yang kini sedang di dalam perjalanan untuk menemuinya. Dalam keadaan sangat lelah seperti ini Fiona merasakan dirinya seakan tidak sadarkan diri berkali-kali menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
“Fiona?”
Suara itu terdengar dari arah pintu utama lobi. Laki-laki itu berlari menghampiri Fiona.
“David.”
Fiona bangkit dari posisinya. Tanpa sadar kaki lemasnya bergerak mendekati ke arah David berasal dan menabrakan tubuhnya dengan kencang. Fiona melingkarkan erat lengannya pada pinggang David. Seolah dirinya menemukan tempat berlindung yang sedari tadi ia tunggu.
“David...” lirih Fiona lagi. Tangisnya pecah pada dada David. Setelah beberapa menit lamanya ia menunggu dengan keadaan yang tidak beraturan, kali ini Fiona tersadar bahwa dirinya harus menangis.
“Aku disini,” bisik David di samping telinga Fiona. Tangan kanannya mengelus tengkuk dan pundakFiona. Mencoba menenangkan gadis yang saat ini sangat terlihat ketakutan.
“Sepatu itu-” desis Fiona. Cengkraman erat Fiona tiba-tiba terlepas. Tubuhnya tergolek lemah dalam dekapan David.
***
“Nghhh...”
Fiona mendesah, terbangun dari tidurnya. Tubuhnya kini berada di atas tempat tidur bersprai abu-abu, diselimuti dengan kain tebal berwarna senada.
Dimana Fiona saat ini? Tempat siapa ini? Yang ia ingat tadi... Ehmmm... Tadi... Hhhh... Fiona lupa kejadian sebelum ini. Bodoh!
Fiona membangunkan tubuhnya. Ternyata ia masih mengenakan pakaian yang sedari pagi ia kenakan. Telapak kakinya iya julurkan untuk menyentuh lantai. Membiarkan kakinya menopang tubuhnya untuk melangkah. Tangan kanannya memegangi kening yang seakan hampir jatuh, berat.
Sepertinya saat ini Fiona sedang berada di dalam sebuah apartemen. Tapi siapa? Siapa orang yang membawa Fiona kesini? Oh Tuhan... Boleh kah saat ini Fiona menjedukan kepalanya agar ia mengingat kejadian sebelumnya?
Fiona melangkahkan kakinya keluar kamar. Terdengar suara ketikan jari yang tengah bergerak di atas keyboard. Fiona mengikuti arah suara itu perlahan.
“David?” pekik Fiona ketika mendapati sosok David yang tengah duduk bersila di atas karpet, menghadap sebuah laptop yang ia simpan di atas meja. David sedang berada di ruang tv saat ini, tv-nya ia biarkan menyala-nyala sendiri tanpa ia tatap karena kini ia tengah sibuk menatap layar laptopnya, ditemani berkas-berkas tidak jelas berserakan di mana-mana.
“Udah bangun?” tanya David, sekilas melirik ke arah Fiona. Lalu kembali menatap monitor laptopnya.
Mengapa laki-laki itu tidak duduk di atas sofa? Malah duduk di bawah seperti itu? Fiona melangkah mendekati David.
“Duduknya di atas.”
David menepuk-nepuk sofa yang berada di belakangnya.
'Duduk di sofa? Sama berkas-berkas yang berhamburan itu?'
Fiona memilih untuk menjatuhkan tubuhnya di samping David, duduk bersila berdampingan dengan laki-laki itu. Walaupun sebenarnya sedikit risih dengan rok pendeknya.
“Nih.”
David menyerahkan bantal sofa pada Fiona. Mengerti keadaan Fiona yang tengah kasak-kusuk menarik-narik roknya.
David terkekeh, mengacak lembut rambut Fiona.
“Kamu bawa kerjaan kamu ke rumah?” tanya Fiona, menatap David yang sepertinya belum menyelesaikan pekerjaannya.
“Mmm...”
David menggumam, pertanda mengiyakan pertanyaan Fiona.
Fiona melirik jam dinding yang menggantung di ruangan itu, pukul 9 malam.
“Aku... Kenapa aku disini?”
Pertanyaan Fiona membuat David menghentikan gerakan jarinya. Menyempatkan diri untuk menatap Fiona.
“Kenapa?”
Fiona risih menerima tatapan David yang terlihat keheranan.
“Kamu lupa?” tanya David dengan wajah meringis.
“Enggak. Cuma... Ya lupa, dikit.”
Fiona mengerucutkan bibirnya. Dirinya bertanya pada David tadi kan? Ya jelas Fiona lupa. Sempat-sempatnya David bertanya 'kamu lupa?'.
“Ckckck... Masa kamu lupa.”
David kembali menatap monitor laptopnya. Menggerak-gerakan lagi jarinya di atas keyboard.
“Kenapa? Tadi aku kenapa?” Fiona menarik pangkal lengan David agar laki-laki itu menghentikan sejenak pekerjan itu untuk menjawab pertanyaannya.
“Hhhh...” David mendesah. Lalu tubuhnya ia putar 90 derajat untuk menghadap Fiona. “Tadi, jam 5 sore. Waktu aku baru pulang kerja, kamu telepon aku. Kamu bilang kamu kangen-”
“Bohong!” bentak Fiona dengan wajah tidak percaya.
“Ck! Dengerin dulu.”
David menghentikan gerakan lengan Fiona yang akan menghantam bahunya. “Setelah kamu nelepon, aku datang nemuin kamu, ke apartemen kamu. Ketika aku datang, kamu tiba-tiba meluk aku. Sambil bilang 'David aku kangen, izinin aku malam ini untuk tidur sama kamu'.”
Bugh... Bantal sofa yang berada di pangkuan Fiona melayang menghantam wajah David begitu saja. “Walaupun aku dalam keadaan mabuk bahkan gak sadarkan diri. Aku gak mungkin semurahan itu!”
Fiona menatap David dengan wajah menyeramkan, tapi tidak membuat David merasa takut sepertinya, karena saat ini David malah tertawa puas.
“Iya, iya.” David menghentikan tawanya. “Tadi, jam 5 sore kamu telepon aku. Sambil nangis. Aku gak tahu apa yang terjadi sama kamu sebelumnya. Tapi ketika aku datang, tangisan kamu malah tambah kenceng. Dan kamu pingsan. Ternyata setelah aku cek ke atas, di depan pintu apartemen kamu ada yang naruh kotak berisi sepatu ballet yang-”
“Ya!” sela Fiona seraya memejamkan matanya. “Aku ingat sekarang,” ujar Fiona dengan wajah yang kembali cemas. Jari-jari tangannya kembali berkaitan.
David tersenyum, tangannya bergerak melepaskan jari-jari Fiona yang kini saling membelit. “Kamu akan baik-baik aja di sini. Ada aku,” ucapnya seraya menatap mata Fiona. Mata yang selama beberapa waktu ke belakang ini membuatnya tergila-gila.
Hhhh... Sudahlah, wanita di hadapannya ini masih belum sadar atas kegilaannya. David kembali memutar tubuhnya, kembali menghadap monitor yang menyajikan deretan data-data memuakan.
“David.”
“Hm.”
Lagi-lagi David hanya menjawab dengan gumaman tanpa menoleh.
“David.”
Fiona menarik wajah David untuk menatapnya lagi.
“Ini,” ujar Fiona seraya menunjuk-nunjuk pipinya sendiri.
David yang tengah menatap Fiona kini menggerakan wajahnya, sedikit mencondongkan tubuhnya. Dan...
Bibir David sudah menempel pada pipi kanan Fiona. Hanya sejenak, setelah itu David meregangkan jarak wajahnya.
Fiona merasakan wajahnya sendiri memerah ketika melihat wajah David yang saat ini juga memerah.
“M... Maksud aku... Bukan itu. Ada bekas bolpoin, di pipi kamu,” jelas Fiona dengan suara tergagap.
“Oh? Oh ya?”
Wajah merah David kini berubah keunguan, malu. Kedua telapak tangannya menggosok-gosok pipinya sendiri. Mencoba menghilangkan noda bolpoin, tapi sepertinya lebih tepat jika dikatakan berusaha menghilangkan rasa malunya yang luar biasa.
'Bego banget! Pede banget gue! Kegeeran woy! Masa iya Fiona nyuruh lo nyium dia! Oon!'
David terus-terusan mengumpat dirinya sendiri selama menggosok-gosok kedua pipinya.
“Aku harus bilang makasih sama kamu? Karena kamu udah nolongin aku?” tanya Fiona dengan wajah gugup, mencoba mengalihkan fokus yang terjadi di antara mereka berdua.
“Gak usah. Aku tulus untuk-”
“Makasih. Makasih banyak,” ucap Fiona, kali ini ucapan Fiona membuat David tertegun. Ini pertama kalinya, kata 'terimakasih' keluar dari mulut Fiona untuk David.
“Hm?”
David menunjukkan tampang bodohnya. “Oh ya. Kalau kamu mau ganti baju. Bajunya ada di atas meja samping tempat tidur. Baju aku sih. Tapi... Daripada kamu gak ganti baju,” ucap David, tatapannya sama sekali tidak terarah pada Fiona, lurus menatap monitor di hadapannya.
“Mmm...”
Fiona segera bangkit dari posisinya, kembali melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam kamar. Wajahnya meringis. Bodoh. Kenapa dirinya tidak marah ketika David melakukan hal itu tadi?
Hening...
David sudah berusaha untuk kembali tenang. Dan Fiona? Entah... Sedari tadi gadis itu berada di dalam kamar, mungkin setelah mengganti pakaiannya, ia kembali tidur.
“Kamu pinter ngelukis ya ternyata?”
Suara teriakan itu terdengar dari arah kamar.
Lukis? David menautkan kedua alisnya. Ah! Lukisan itu! Dengan terburu David beranjak dari tempat duduknya, berlari ke arah kamar.
“Jangan dilihat!”
David berteriak ketika langkahnya telah sampai di ambang pintu kamar. Menatap Fiona yang sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian David yang terlihat kedodoran tengah berdiri di hadapan sebuah kain kanvs.
“Kenapa?” tanya Fiona.
Dengan wajah panik David menghalangi lukisan yang belum rampung itu dengan tubuhnya, membuat Fiona sedikit bergerak mundur.
Itu adalah lukisan yang David tiru dari salah satu pose foto yang terdapat di dalam memori ponsel ayah Fiona. Jelas saja David terlihat sangat panik. Takut Fiona mengingat pose itu dan... Ahhh hancur semuanya!
“Kok lukisannya cuma badannya doang? Kepalanya belum jadi?” tanya Fiona sesekali menjenjangkan lehernya untuk menatap kain kanvas yang terhalang oleh tubuh David.
“Aku kesulitan gambar wajahnya. Wajah dia terlalu cantik untuk aku gambar. Aku takut lukisan aku gak sesempurna wajahnya.”
David tersenyum hambar. Lalu tangannya bergerak menutupi kain kanvas itu dengan kain putih yang memang ia gunakan untuk menutup lukisan itu sebelum Fiona membukanya.
“Ohhh... Jadi selama ini kamu lagi suka sama cewek? Cewek itu? Jadi? Kamu cuma pura-pura ngejar cinta aku? Pura-pura cinta mati sama aku? Ngejar-ngejar aku kayak orang gila? Cuma akting?” Fiona bergerak maju mendekati David. Tatapannya menyipit seraya tersenyum miring.
“Ha?”
David memekik dengan wajah kaget. Tidak terpikir ucapannya tadi akan membuat Fiona beranggapan seperti itu.
Fiona manggut-manggut. “Ok. Aku ngerti.”
“Kamu gak pernah ngerti!” tukas David.
Tangan kanan David tiba-tiba menarik kencang pinggang Fiona, membuat tubuh Fiona tertarik mendekat, dan...
Bruk... David menghantamkan tubuh Fiona pada tubuhnya. Tangan kanan David kini melingkar erat pada pinggang Fiona, mengunci gerakan gadis itu. Sementara tangan kirinya menarik tengkuk Fiona agar mendekat, dan...
Bibir David sudah menyentuh bibir Fiona, membiarkan bibirnya bergerak lembut dengan sendirinya di atas bibir gadis yang selama ini ia gilai. Wajahnya condong ke arah kanan dan kiri berirama.
Seiring gerakan itu, tarikan tangan David pada tengkuk Fiona mulai mengendur. Jika Fiona akan menghindar saat ini, itu sangat memungkinkan. Namun ternyata Fiona masih bergeming. Terdiam. Memberikan kesan bahwa dirinya juga menyukai hal ini. Membuat David berani memberi waktu pada Fiona untuk membalas tingkah nakalnya.
Tanpa sadar mata keduanya terpejam, menikmati segala perasaan yang kini teraduk menjadi satu. Perasaan tegang, melayang, kelitikan kecil dalam dada masing-masing, desiran darah yang menjalar cepat, suhu tubuh yang berangsur turun, telapak tangan yang mulai berkeringat, degupan jantung yang nyaris seperti pukulan. Semua berkolaborasi menjadi indah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ballerina's Bride
Teen FictionCerita karya Citra's Slide , mungkin masa lalu telah mengubah gadis ini menjadi pelupa , bahkan ia bisa lupa dengan wajah wajah sahabatnya tetapi mungkin ia telah menyia-nyiakan cinta yang tulus dari seorang pria berwajah malaikat yang selalu ada un...