Part 8

2.8K 131 0
                                    

Dengan baju lengan panjang yang harus dilipat berkali-kali, dan celana panjang yang terseret-seret setiap langkah yang diambilnya, kaki Fiona terus terayun menuju kamar mandi.

Brak...

“Aaaaaa!!!”

Fiona menjerit ketika mendapati pintu kamar mandi yang tidak terkunci ternyata tengah berpenghuni. Fiona tidak melihat sesuatu yang ekstream, hanya melihat David yang baru selesai mandi tengah melilitkan handuk pada pinggannya.

“Ketok dulu kan bisa Yang? Main masuk aja,” ucap David dengan santai, keluar dari dalam kamar mandi.

“Kamu kan bisa kunci pintunya,” rutuk Fiona lagi, masih sedikit mengatur detak jantungnya yang masih sedikit jedak-jeduk.

“Aku lupa kalau ada kamu,” jawab David seraya tersenyum.

Fiona berdecak lidah. Dengan cepat melangkahkan kembali kakinya ke kamar mandi. Menutup kencang pintu kamar mandi, dan 'mengunci'. Ya, Fiona tidak boleh lupa mengunci pintu kamar mandi. Tidak akan membiarkan David yang nanti (sok) lupa tiba-tiba membuka pintu kamar mandi. OMG hello! Pikiran Fiona terlampau jauh.

“Aku tunggu di meja makan. Kita sarapan. Setelah itu kita ke apartemen kamu buat ganti baju, terus berangkat kerja sama-sama. Ok?”

David berucap setengah berteriak, agar Fiona yang berada di dalam kamar mandi sana mendengar perintahnya. Namun setelah beberapa menit David menunggu, ternyata tidak ada suara sahutan dari dalam.

David berdecak kesal. Gadis itu, tingkahnya kembali menyebalkan.

***

Tap... Tap... Tap...

Fiona dan David berjalan beriringan menuruni anak tangga. Baru saja David mengantar Fiona untuk berganti pakaian di apartemennya. Setelah mereka menikmati mendaki ratusan anak tangga tadi, saat ini waktunya menuruni anak tangga. Ini cukup membuat kaki mereka lemas ternyata, terlebih Fiona. Beberapa kali gadis itu meminta untuk istirahat sejenak, duduk menjulurkan kakinya dan memijit-mijit pelan pergelangan kaki kanannya.

“Tukang servis oon!” rutuk Fiona, lagi-lagi mengumpat tukang servis lift apartemen yang belum juga selesai memperbaiki liftnya.

“Aku mau gendong kamu... Kamunya malah gak mau,” ucap David, berdiri di hadapan Fiona.

“Gak! Cari kesempatan!” tolak Fiona. Entah untuk keberapa kalinya David menawarkan jasa punggungnya untuk mengangkat Fiona, namun berkali-kali Fiona juga menolaknya.

“Aku tahu. Kaki kamu gak boleh jalan terlalu jauh. Apa lagi naik-turun tangga kayak gini.”

David berjongkok di samping Fiona, hendak memegang pergelangan kaki Fiona namun dengan cepat Fiona menepis.

“Aku cuma mau bantu mijit. Gak akan macem-macem.”

David mencoba menukas pikiran buruk Fiona atas tindakan yang akan ia lakukan. Hhhh... David! bagaimana bisa Fiona tidak selalu berpikiran buruk, setelah kejadian semalam.

Ketika Fiona bangun tidur, sarapan bersama, pergi ke apartemennya, lalu berangkat kerja bersama-sama seperti ini... Dengan David. Tidak kah David mengetahui apa yang sebenarnya Fiona rasakan? Degupan jantungnya terus-menerus tidak berhenti berdentum kencang. Saat ini Fiona berusaha berlaku seperti biasa, selayaknya Fiona terhadap David, bertingkah semenyebalkan mungkin, mencoba menutupi semuanya. Ohhh... Ternyata sulit. Fiona ingin segera berada di ruang kerjanya dan berada jauh dari David, sesegera mungkin.

“Yuk.”

David kembali berdiri di hadapan Fiona, menengadah tangan kanannya untuk Fiona raih dan melanjutkan kembali acara menuruni anak tangga yang tidak kunjung selesai ini. Namun,

Ballerina's BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang