Part 4

2.9K 127 4
                                    

“Anda ada waktu siang ini? Untuk... Makan siang... Bersama saya?”

Pertanyaan itu jelas membuat Fiona sedikit tersentak. Makan siang? Untuk apa? Untuk membahas sepatu Fiona yang tertinggal kemarin? Atau makan siang untuk apa? Bukankah mereka belum saling mengenal? Terlalu dini sepertinya untuk makan siang bersama.

“Saya hanya ingin mengenal anda lebih dekat.”
Laki-laki itu belum lepas menatap Fiona. Ada sesuatu di balik tatapannya. Tapi apa? Entahlah. Mungkin hanya perasaan Fiona saja.

Kafe dalam keadaan siang hari tidak begitu ramai. Pasangan-pasangan sok romantis belum datang menempati pojok-pojok kafe seperti biasanya. Bagus lah, Fiona merasa hari ini matanya tidak akan rusak karena harus memerah melihat pasangan yang saling berpegangan tangan atau saling suap makanan. Jujur, itu menggelikan.

“Anda bekerja di daerah sini?” tanya Fiona, tangannya bergerak pelan memutar-mutar sedotan jus. Mengingat kemarin Fiona secara tidak sengaja bisa bertemu dengan Jason di sini, dalam rangka memungut sepatunya dan sekarang Jason datang ke butiknya lalu mengajak Fiona makan di tempat ini lagi.

“Mmmm.”
Jason mengangguk, lalu membenarkan letak kacamatanya sejenak. “Bisa gak kita gak usah pakai bahasa formal. Aku? Kamu? Bisa?” tanya Jason dengan suara sedikit ragu.

Fiona terkesan sedikit kaget. Walaupun saat ini sebenarnya ia ingin tersenyum puas. Itu artinya Jason ingin lebih dekat dengannya kan? Mulai menggunakan sapaan aku-kamu. Apakah ini waktunya? Ini waktunya Fiona mendapatkan seorang pria idaman. Ya, sepertinya begitu, waktu dimana saatnya ia menghancurkan hati si psikopat itu. Hhhh... Si psikopat? Untuk apa Fiona memikirkan laki-laki aneh itu dalam waktu seperti ini.

“Fiona?”

“Ohhh.. Ya?” Fiona menjawab dengan wajah sedikit terkejut. “Boleh, tentu aja boleh. Aku gak keberatan.”

Senyum Jason mengembang. Senyum dalam raut wajah yang sedikit keheranan, “Kamu benar-benar gak ingat aku? Sama sekali kamu gak pernah merasa bertemu aku sebelumnya?”
Pertanyaan yang sudah Jason berikan untuk ke sekian kalinya pada Fiona.

“Ingat, aku ingat. Kemarin kita ketemu kan?” jawab Fiona dengan wajah heran.

Jason terkekeh, “lupakan,” ucapnya dengan nada santai.

***

“Lalala~”
Fiona bersenandung ketika baru saja pulang makan siang dari kafe bersama Jason. Tubuhnya ia putar-putar girang ketika memasuki butik. Menghiraukan tatapan heran Nida dan Vina yang tengah menata payet pada sebuah gaun.

Fiona duduk manis di kursi kerjanya. Meraih ponsel yang tergeletak di samping laptopnya dengan anggun. Hanya berselang beberapa detik nada sambung, suara pekikan girang dari seberang sana sudah terdengar.

'Fiona? Ini benar Fiona? Kamu menghubungi aku? Ini pertama kalinya kamu telepon aku. Tanggal berapa ini? Ya ampun, sepertinya aku harus melingkari kalender untuk mencatat kejadian penting ini.'

“Sttt! Sttt! Sttt!”
Fiona mencoba menghentikan ceracauan kebahagian yang luar biasa itu, “Saudara David yang terhormat. Mohon maaf, untuk saat ini saya harus memberitahukan kepada anda. Mulai sekarang jauhi saya! Karena mulai saat ini saya akan membuat anda patah hati jika anda terus berada di samping saya dan menguntit saya. Maka dari itu, jika anda tidak ingin merasakan patah hati yang berlebihan. Tolong jauhi saya,” ucap Fiona dengan nada angkuh.

'Hm? Maksudnya?'

“Ckckck. Sepertinya anda belum mengerti dengan apa yang saya ucapkan. Saya pernah berbicara pada anda, tunggu waktu anda untuk patah hati. Dan saya pikir saat ini waktunya. Jauhi saya! Mulai dari detik ini! Ada laki-laki yang lebih masuk akal menyukai saya dibandingkan dengan anda, mengerti!”

Tut... Tut... Tut... Sambungan telepon terputus. Fiona kembali meletakan ponselnya di atas meja.

“Gak ada kata-kata yang lebih kejam dari itu?” tanya Nida dengan suara berbisik pada teman kerja di hadapannya.

“Lebih kejam? Banyak,” jawab Vina dengan wajah meringis. Mengingat kejadian ke belakang, apa saja yang telah Fiona lakukan dengan sesuka hati pada David.

***

Sepertinya seharian ini Fiona tidak berhenti bersenandung. Rona wajahnya yang kadang terlihat bersemu merah menjadi bahan komentar bagi kedua asistennya.

“Kenapa?” tanya Fiona ketika menatap wajah kedua asistennya yang tengah menatapnya heran.

Keduanya hanya menggeleng. Lalu kembali membereskan meja kerja untuk bergegas pulang.

“Mungkin ini yang namanya jatuh cinta. Berapa lama saya gak merasakan degupan-degupan penuh cinta seperti ini,” ucap Fiona, terkadang orang yang merasa dirinya sedang jatuh cinta akan mengeluarkan kosa kata noraknya, “dan saya sedang menikmati setiap pukulan degup jantung saya yang berirama indah ini,” lanjut Fiona seraya memegangi dadanya.

Nida dan Vina tersenyum, tersenyum meringis. Kata-kata Fiona terdengar sangat menggelikan.

“Oh ya, pakaian saya rapi kan?”
Fiona memutar tubuhnya, mengisyaratkan Nida dan Vina untuk memperhatikan penampilannya. Kedua gadis itu mengangguk.
“Ok.” Fiona meraih tas dan ponselnya.

“Fiona?”

“Ya. aku pikir kamu gak jadi untuk nganter ak-”
Fiona menghentikan kalimat antusianya. Raut wajah Fiona berubah ketika mendapati sosok laki-laki yang kini ada di hadapannya. Laki-laki itu lagi. “Batu!” gumam Fiona seraya menghampiri laki-laki yang kini berada di ambang pintu keluar butiknya.

“Ssshhhh... Aku! Eh saya! Ssshhh... Gue! Gue udah bilang sama lo! Jauhin gue! Ngerti?”
Bentakan itu terdengar mengerikan. Membuat Nida dan Vina segera menghambur keluar butik.

“Lo gak ngerti apa yang udah gue bilang sama lo?” tanya Fiona dengan suara lembut. Fiona mendekatkan jarak wajahnya dengan David, laki-laki yang kini berdiri mematung di hadapannya. Menatap bola mata hitam laki-laki itu dengan jelas. Menatap wajah laki-laki itu dengan lekat.

David kecewa? Fiona bertanya dalam hati. Benarkah? Fiona sedikit meregangkan jarak wajahnya. Raut wajah David terlihat sangat berbeda dari biasanya.

Hhhh... Lupakan! Untuk apa mengasihani laki-laki gila ini? Fiona membungkuk. Melepaskan sepatu pada kaki kanannya. “Pergi gak!” Fiona mengambil ancang-ancang untuk melayangkan sebelah sepatunya pada wajah David. Namun laki-laki itu hanya terdiam.

“Ck! Ngerti gak sih! Pergi!”
Fiona menggertak David dengan gerakannya. Namun David masih bergeming. Masih menatap Fiona dengan senyum tenangnya.

Prak... Fiona membanting sepatunya dengan kencang pada lantai. Menatap kesal laki-laki di hadapannya.

“Fiona!”
Suara itu terdengar dari arah pelataran butik.

“Jason?” pekik Fiona. Fiona melambai-lambaikan tangannya dengan wajah sumringah. Tanpa sama sekali mengiraukan David yang berdiri di hadapannya, Fiona berlari mendekati laki-laki yang kini tengah berdiri di samping mobilnya.

David masih mematung. Mencoba melepaskan nafas sesaknya sejenak. Membenarkan raut wajahnya yang ia rasa kini sedikit kusut. Sejenak David membungkuk, lalu memutar balik tubuhnya. Kini ia dapat melihat Fiona yang tengah berada di hadapan seorang laki-laki dengan wajah bahagianya. Wajah berseri-seri yang sama sekali tidak pernah David dapatkan dari Fiona.

David mencoba mendekat, menghampiri Fiona dengan perlahan.

“Selamat malam,” sapa Jason tersenyum sopan. David hanya balas tersenyum tanpa berucap satu patah kata pun.

“Saudara David!”
Dengan menahan jengkel Fiona berucap. Menatap laki-laki yang kini sudah berdiri di sampingnya.

“Saya udah bilang kalau-” kata-kata Fiona terhenti ketika David tiba-tiba berjongkok di sampingnya, mencoba memasangkan sepatu pada kaki sebelah kanan Fiona. Sepatu yang Fiona gunakan untuk ancang-ancang memukul David tadi, sepatu yang lupa Fiona kenakan ketika mendapati kedatangan Jason karena perasaannya yang terlalu senang, sepatu yang ia bantingkan lalu ia tinggalkan.

David bangkit dari posisinya. Setelah selesai mengenakan sepatu Fiona. David hanya mengangguk sopan pada Jason, tersenyum, lalu pergi tanpa meninggalkan sepenggal katapun.

Leher Fiona berputar mengikuti gerak David yang kini melangkah menjauh. “Psikopat!” gumam Fiona dengan suara sedikit bergetar. Seperti ada benda kecil yang mengganggu kerongkongan Fiona ketika menerima perlakuan David tadi, ada kekesalan ketika menatap pundak lemas David yang kini bergerak menjauh.

***

“Jason,” gumam David. Nama itu... David memejamkan matanya, mencoba mengingat nama...

“Ah! Ya!”
Sepertinya David mengingat sesuatu.

Bruk...
David membantingkan tubuhnya di atas tempat tidur. Menatap langit-langit kamarnya. Tatapannya menerawang, lalu sesekali terpejam. Hal yang David takutkan selama ini benar-benar terjadi.

“Laki-laki itu. Dia datang?”
Sepertinya laki-laki akan menghancurkan benteng pengorbanan yang selama ini David bangun untuk mengejar Fiona itu sudah tiba waktunya untuk datang.

~flashback~
Seorang anak laki-laki berseragam SMA tengah berdiri di sebuah halte bus. Dengan sepasang earphone menempel di telinganya. Permen karet yang di letup-letupkan pada mulutnya. Dan tatapannya yang tidak lepas dari ponsel yang ia genggam.

Dua jam...
Tidak biasanya bus yang ia tunggu datang selambat ini. Berkali-kali laki-laki itu menatap jam tangannya.

“Busnya kemana sih? Sopir bus pada mati semua apa?” gerutunya dengan asal.

Tiba-tiba orang-orang yang tengah menunggu di sekitar halte bergerak antusias. Mendapati bus yang kini bergerak dari arah kanan menghampiri halte. Namun sebelum bus sampai tepat di depan halte.

Brak...
Dari arah berlawanan sebuah mobil menabrak kencang bus yang tengah bergerak pelan. Jeritan dan pekikan kaget semua orang terdengar serempak. Menyaksikan bagian depan mobil mini bus itu ringsek menabrak bus yang tengah mereka tunggu.

Pemuda berseragam itu refleks melepas earphone dan bergerak mendekati tempat kejadian. Dengan gerakan menyelip-nyelipkan tubuhnya, ia dapat mendapatkan posisi paling depan untuk melihat korban pengemudi di dalam mobil yang sudah tidak berbentuk itu.

“Ada korban di dalam!” teriaknya dengan wajah panik.

“Mundur! Kita tunggu polisi datang!” perintah salah seorang laki-laki. Mengibas-ngibaskan lengannya, memerintahkan orang-orang yang berkerumun itu untuk segera menjauh dari tempat kejadian.

Berbeda dengan yang lain, pemuda berseragam itu bergerak mendekat. Mendekati sisi pengemudi yang tengah mencoba bertahan. “Anda masih bisa mendengar saya?” tanya pemuda itu ketika menatap wajah pria di dalam mobil dengan wajah yang sudah berlumuran darah.

“Mundur!” perintah orang tadi lagi ketika melihat pemuda itu dengan lancang malah mendekati korban. “Kita tunggu polosi!”

“Tunggu polisi! Lo nunggu dia mati!” bentak pemuda itu dengan wajah murka. Tidak perduli orang yang ia bentak adalah laki-laki paruh baya yang memiliki usia berkali lipat dari usianya.

Anak laki-laki itu bergerak kasar. Membuka pintu mobil pengemudi dengan kasar. Pintu yang sudah tidak bisa dibuka sebagaimana mestinya itu ia terjang kencang dengan kaki kanannya. Hingga daun pintu mobil terlepas. Pemuda itu menarik lengan korban dengan susah payah, sebagian kaki korban terhimpit bagian depan mobil yang hancur.

“Arrhhhh.”
Pemuda itu berhasil mengeluarkan pria malang dari dalam mobil. Tidak perduli baju seragam putihnya berubah merah, nametag seragamnya terlepas dari dada kirinya. *nametag yang prepet, bisa dilepas pasang tau gak?-_-* Nametag bertuliskan 'David D. Ramadhan' itu terlepas dari tempatnya sama sekali tidak ia hiraukan.

Nama anak laki-laki itu David? Mungkin, tidak mungkin jika ia menggunakan nametag milik temannya kan? Sudah jelas David D. Ramadhan itu adalah namanya.

Dengan susah payah ia membopong korban untuk keluar dari dalam himpitan sebelum akhirnya,

Duar... Ledakan kencang itu terjadi. Mobil mini bus yang menabrak bus besar itu meledak dan menghasilkan kebakaran hebat di tengah jalan raya.

“Anda siapanya?” tanya seorang perawat pada anak pemuda itu. Pemuda berseragam SMA dengan tindakan sok pahlawan, David.

David terdiam. Menatap ponsel yang ia genggam. Ponsel pria yang ia selamatkan tadi. Sebelum korban memasuki ruang UGD, dokter menyerahkan ponsel itu pada dirinya.

“Sebentar,” ucap David melangkah menjauhi perawat yang berdiri di hadapannya.

Walau David merasa dirinya lancang, membuka-buka menu panggilan pada ponsel yang ia genggam. Tapi harus bagaimana lagi? Ia hanya ingin melihat nomor siapa yang terakhir kali dihubungi oleh orang ini.

“Fiona?”
Walau sedikit ragu. Ia yakin, mungkin ini adalah anak dari pria itu.

“Halo? Fiona? Betul ini dengan Fiona?”

“Y... Ya. Ini saya?” jawab gadis itu dengan suara terdengar sedikit gagap.

“Ini ponsel ayah anda? Ayah anda sekarang berada di rumah sakit. Ayah anda mengalami kecelakaan lalu lintas ketika sedang mengandarai mobilnya tadi.”

Hening...

“Hallo?”
“Halo? Fiona?”

“Ck!” David berdecak. Sama sekali tidak ada sahutan dari seberang sana. Sambungan telepon malah terputus.

“Gimana sih!” dengusnya kesal, “bapak lo sekarat, woy!”
Tangannya bergerak ke arah menu SMS. Ada beberapa pesan yang belum terbuka. Bisa jadi ini menjadi petunjuk untuknya menghubungi pihak lain.

'Ayah dimana? Aku udah siap.'
'Yah. Masa Jason belum dateng? Dia janji mau dateng nonton aku kan kemarin? Tapi sekarang dia belum ada nemuin aku. Di telepon nomornya ga aktif.'
'Ayah masih dimana?'
'Ayah kesini kan? Aku di ruang rias. Aku tunggu ayah di belakang panggung.'
'Yah? Aku telepon kenapa gak diangkat. Acaranya sebentar lagi.'
'Ayah dimana? Jangan bikin aku khawatir kayak gini, Yah. Lomba udah mau mulai.'

Kening David berkerut setelah membaca rentetan SMS dari pengirim yang sama. Lomba? Lomba apa? Panggung? Tangannya mulai lancang. Membuka folder foto. Ternyata ada ratusan foto ada di dalamnya. Foto seorang gadis cantik dengan baju ballerina yang indah mendominasi fotodi dalam albumnya.

“Cantik...” gumam David menatap foto gadis ballerina yang terpampang pada ponsel yang digenggamnya. “Ini yang namanya Fiona? Suatu saat. Kalau gue ketemu lo. Gue jadiin lo pacar gue deh,” ucapnya lagi seraya terkekeh.

“Jenazah korban sudah kami pindahkan.”
Suara itu terdengar mengagetkan David.

Jenazah? Jadi...
“Malangnya nasib lo, di saat acara penting kayak gini. Ayah lo malah... Hhhh...”

“I believe I can fly
I believe I can touch the sky
I think about it every night and day
Spread my wings and fly away...”

Tiba-tiba nada dering panggilan dari ponsel yang David genggam terdengar.

'Fiona's calling'

Kening David berkerut. “Hallo?”

'Hallo? Ini dengan orang tua Fiona? Anak anda cidera di tengah panggung ketika dia sedang pentas pak.'

David tidak menjawab. Malah tertegun seperti orang bodoh.

'Hallo?'
'Hallo?'
Suara di sana kembali terdengar namun David tidak kunjung menjawab.

~flashbakoff~

David bangun dari posisinya. Menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 1 malam. Besok ia harus bekerja. Tapi bagaimana ini? Ia sama sekali belum mengantuk.

'I believe I can fly
I believe I can touch the sky
I think about it every night and day
Spread my wings and fly away...'

Suara deringan itu terdengar dari balik lemari pakaiannya. Nada dering itu... David bergerak menghampiri pintu lemari. Membukanya dengan gerakan lamban.

1 message
'Ayah... Hari ini Fiona ketemu sama orang ganteeeng. Namanya Jason. Dia baik. Andai ayah ada saat ini di sini, sama Fiona. Fiona bakalan kenalin dia sama ayah. Fiona kangen ayah.'

“Dia belum tidur?”
David tersenyum. Membaca SMS yang baru saja masuk ke dalam ponsel usang yang belum ia kembalikan selama 6 tahun lamanya.

David masih menyimpan ponsel itu. Ia takut... Jika ia mengembalikannya. Maka ia tidak bisa lagi membaca curhatan Fiona setiap harinya, tidak bisa lagi mengetahui hal apa yang terjadi pada gadis itu setiap harinya. Hal apa yang ia alami. Perasaan yang sedang gadis itu alami. David takut kehilangan itu semua. Karena itu, David berani mengatakan bahwa seratus persen ia tahu tentang Fiona. Hal terkecilpun ia tahu.

Dengan bodohnya Fiona akan mengirimkan pesan singkat setiap hari pada nomor ayahnya, tentang apa yang ia rasakan, yang ia alami. Bahkan tentang cacian untuk makhluk yang bernama David.

Namun terlebih bodoh, Fiona tidak pernah mencoba menghubungi nomor itu dengan cara menelepon. Gadis itu menganggap ponsel ayahnya mungkin sudah hilang. Padahal...

Hhhh... Jika saja dulu David bertemu Fiona sebelum Cassie. Jika saja David tidak terburu untuk putus asa menemukan gadis bernama Fiona... Andai saja David tidak bertemu dengan Fiona ketika statusnya telah menjadi calon pengantin gadis lain, mungkin David tidak akan melakukan hal gila dengan membatalkan pernikahannya, dan mungkin saja Fiona tidak akan membencinya seperti ini. Menganggap David laki-laki bajingan yang meninggalkan calon pengantin wanitanya. Walaupun itu David lakukan demi Fiona, tetap saja Fiona menganggapnya laki-laki brengsek karena telah meninggalkan calon pengantin demi gadis lain.

David melangkahkan kakinya menuju sebuah kain kanvas yang terpasang pada tiang lukis(?) Sketsa gambar yang masih blur. Lukisan yang belum terselesaikan.

“Andai dulu aku gak putus asa buat cari kamu. Andai... Hhhh...” ucap David dengan tatapan kosongnya.

Fiona termenung menatap ponselnya. Sampai pukul 1 malam seperti ini ia belum mengantuk. Masih bertahan menatap layar ponselnya.

Biasanya setelah ia mengirimkan pesan singkat pada ayahnya. Si psikopat itu akan mengirimkan pesan singkat juga padanya. Jam berapapun itu. David akan mengirimkan pesan. Maka dari itu Fiona selalu berpikir bahwa David mungkin saja menyadap saluran ponselnya. Sehingga ia dapat mengetahui aktivitas Fiona. Terdengar bodoh memang. Tapi itu mungkin saja terjadi kan? Berkali-kali Fiona mengganti nomor ponsel, David selalu tahu. Sampai akhirnya Fiona bosan dan pasrah untuk tidak mengganti nomor ponselnya lagi.

Tanpa sadar Fiona menatap ponselnya. Menunggu ponselnya berdering memunculkan tulisan '1 message'. Mana? Biasanya David akan mengucapkan,

'Mimpi indah. Hubungi aku kapanpun kamu butuh aku. Kapanpun .'

Tapi sepertinya untuk malam ini tidak. Laki-laki itu benar-benar menjauhi Fiona. Benarkah?

“Bagus,” pekik Fiona dengan suara girang, lalu menarik selimutnya sampai menutupi seluruh bagian tubuhnya.

***

Blugh...
Fiona menutup pintu mobil yang baru saja ia tumpangi. “Makasih ya,” ucap Fiona seraya tersenyum manis.

“Sama-sama,” jawab Jason seraya membalas senyum Fiona.

Dengan girang Fiona melangkahkan kakinya ke dalam butik. Jason mengantarnya pagi ini. Pasokan semangat Fiona pagi ini sepertinya sangat full.

Tunggu! Tatapan Fiona sedikit heran, menatap ke arah dalam. Sepertinya ada banyak orang di dalam... Ketika Fiona membuka pintu,

“Fiona. Kenalin. Ini calon suami 'aku',” ucap Salsha sembari lengannya bergelayut manja.

'Aku? Tumben? Bukannya gue?'

Fiona mendelik menatap Steffy yang ternyata juga ada di butiknya.

“Fiona,” ucap Fiona seraya mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan orang asing yang tengah Salsha gelayuti.

“Aku sengaja ngajak Steffy juga. Biar sekaligus ngenalin sama kalian berdua,” ujar Salsha.

“Mmmm...” Fiona hanya bergumam dengan perasaan aneh. Tatapannya terarah heran pada Steffy yang sepertinya juga merasakan hal yang sama dengan Fiona.

***

Sejenak tadi pagi mereka duduk di sofa tamu yang berada di dalam ruangan Fiona. Menikmati secangkir teh hangat. Namun sepertinya Fiona dan Steffy tidak merasakan hangat. Tapi gerah. Sehingga ingin mengibas-ngibaskan tangannya beberapa kali ketika Salsha meracau, menjelaskan panjang lebar mengenai calon suaminya. Status, pekerjaan, hobi, aset kekayaan, dan hal lain yang tidak penting. Sama sekali tidak penting bagi Steffy dan Fiona.

Laki-laki bernama Aliando *demam Aliando sekarang ya-_-*. Seorang duda muda(?) *ckckck*, pengusaha, hobi main golf *gapenting*, aset kekayaan yang tidak akan habis dimakan 17 turunan *wow*, dan lain sebagainya.

Duda? Fiona menggeleng heran ketika mengetahui status laki-laki itu.

“Bisa jadi dia pengusaha yang istrinya banyak. Terus Salsha itu istri ke-4 misalnya. Terus nanti si Salsha di teror sama istri tuanya. Kayak di infotainment-infotainment itu loh,” ujar Steffy membicarakan sepasang kekasih yang kini menjadi klien baju pengantin Fiona.

Setelah pulang dari tempat kerjanya, Steffy sengaja mengunjungi LB untuk menemui Fiona. Membicarakan betapa tidak percayanya ia ketika mengetahui Salsha menerima lamaran seorang duda. Walaupun tampan. Tapi duda. Ck! Masih ada Bastian si lajang yang kini tengah mengalami nasib malangnya.

“Gila!” kata Fiona seraya terkekeh.

“Bisa jadi kan?” Steffy berbicara seolah ia yakin seperti itu keadaan yang sebenarnya.

“Yayaya. Bisa jadi.”

“Gue balik duluan ya. Lo yakin ga akan balik bareng gue?” tanya Steffy lagi, entah untuk ke berapa kalinya.

“Enggak. Pulang aja duluan. Gue mau cari inspirasi buat gaun Salsha.” Tatapan Fiona menerawang. Kursi putarnya ia gerakan ke kiri-ke kanan.

“Besok kan bisa.”

“Harus malem Steff. Siang gue gak bisa mikir.”

“Serah lah.”
Steffy meraih tas jinjingnya, lalu menggantungkan jaketnya pada pundak.

Masih saja gadis itu bertingkah cuek. Apa lagi sepulang kerja. Dandanannya terlihat. Ewh... Fiona bergidik melihat sahabatnya yang satu itu.

Satu jam... Hanya ada Fiona di dalam butik. Suasana hening menyelimuti Fiona seorang diri. Berkali-kali Fiona merobek kertas sketsanya karena merasa tidak cocok dengan desain yang ia inginkan.

Di tengah keheningan. Tiba-tiba,

Crek... Fiona dikejutkan oleh sosok laki-laki yang kini masuk ke dalam butiknya.

“Izinin aku untuk nganter kamu pulang, sebelum kamu bikin hati aku benar-benar hancur. Sekali ini aja.”

Fiona mendengus. Laki-laki itu masih hidup? Seharian ini tidak ada menghubungi Fiona sama sekali, dan sekarang muncul di hadapan Fiona seenaknya mengajak untuk pulang bersama.

Ballerina's BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang