Fiona melangkahkan kakinya dengan ringan. Tiga hari berlalu dari kejadian malam itu, malam dimana Fiona mengatakan semuanya pada David. Dan sepertinya Fiona merasakan keadaan hatinya saat ini membaik. Kepala yang berminggu-minggu lalu terkesan kosong beronga, kali ini sudah terisi lagi dengan ide-ide untuk rancangan gaunnya. Fiona dapat bekerja dengan fokus selama 3 hari ini tanpa kritik dari kedua pekerjanya. Yayaya... Semoga ke depannya selalu berjalan seperti ini.
Hap... Cengkraman pada pergelangan tangannya membuat Fiona tersentak.
“David!”
Tanpa sadar, pekikan itu keluar dari mulut Fiona, tangan kanannya sudah mengambil ancang-ancang untuk menghantam bahu laki-laki yang ada di hadapannya saat ini.
“David?”
Laki-laki itu mengerutkan keningnya.
“Ha? Jason... Ya! Maksudnya Jason!”
Fiona tersenyum hambar. Bisa-bisanya ia masih menggumamkan nama laki-laki itu. Laki-laki yang selama 3 hari ini lenyap bagai ditelan ikan paus. Kemana dia sebenarnya? Dia benar-benar menepati janji rupanya. Lupakan! Ternyata Fiona masih saja memikirkan si psikopat itu.
“Aku tadi dengernya 'David'.”
Jason menatap Fiona dengan tatapan menyelidik membuat senyum Fiona terlihat lebih hambar. “Dia ada datang untuk nemuin kamu?”
“Hmm? Enggak, dia sama sekali gak ada kabar. Lupain. Aku berharap, dia lagi nyari cewek baru sekarang.”
Fiona segera memberhentikan fokus pembicaraan, walaupun sebenarnya... Ya, begitulah.
“Semoga,” jawab Jason, lengan kanannya merangkul santai pundak Fiona. Berjalan menuju area parkir mobilnya.
“Ada tempat yang mau kamu kunjungi malam ini?” tanya Jason seraya membukakan pintu mobil untuk Fiona.
Fiona menggeleng. “Aku capek.”
“Ok. Aku langsung antar kamu pulang.”
Senyum Jason mengembang, walaupun sebenarnya ia mengharapkan lebih dari jawaban Fiona. Fiona mengajaknya untuk makan malam dulu mungkin? Sehingga ada waktu untuk Jason menanyakan jawaban atas pernyataan cintanya. Fiona belum menjawabnya? Sepertinya begitu. Sampai saat ini Jason belum mendapatkan jawaban.
Selama perjalanan, Jason tidak berhenti mengoceh, menceritakan kejadian selama di kantornya tadi. Menceritakan mahasiswa magang yang pekerjaannya berantakan layaknya anak SMK yang harus selalu dipapah dalam setiap melakukan tugasnya. “... Itu semua bikin aku stress!”
Jason mengacak-acak wajahnya sendiri.
Fiona hanya terkekeh mendengarkan cerita Jason yang memang tidak asing, selama kuliah Fiona juga pernah ditugaskan menjadi anak magang. Ya, bagi setiap mahasiswa pasti pernah merasakan kejadian itu. “Jangan bully mereka, Jason,” ucap Fiona masih disertai tawa kecilnya.
“Tergantung. Kalau mereka masih manja kayak gitu. Ya... Mau gimana lagi.”
Fiona hanya manggut-manggut mendengar ucapan Jason yang terlihat sangat kesal.
“Fiona? Tentang-”
Entah kenapa firasat Fiona menyiratkan bahwa Jason akan bertanya mengenai hal itu lagi. Lagi? Ya, berkali-kali ia selalu menanyakan hal itu. “Untuk ke acara resepsi pernikahan Salsha besok, kamu jadi ikut kan?”
“Mmm... Ya.”
Jason mengangguk. “Aku mau-”
“Aku pakai baju warna apa ya?”
Lagi-lagi Fiona berusaha mengalihkan fokus pembicaraan Jason. Berharap Jason tidak menanyakan hal itu untuk saat ini. Fiona menyukai Jason. Ya, jelas. Pria tampan dengan kharisma yang begitu memikat, gadis mana yang tidak menyukai itu? Tapi... Ada sesuatu yang membuat Fiona masih menahan jawabannya. Seperti ada sesuatu yang mengganggu benaknya ketika Fiona akan menjawab dengan pernyataan 'ya'.
Bukankah maksud Fiona menyarankan David menjauh agar dirinya lebih leluasa untuk menjawab pernyataan Jason?
“Pakai warna apapun kamu tetep cantik,” jawab Jason seraya tersenyum simpul. Hhh... Sepertinya untuk saat ini Jason harus menyerah dulu untuk menanyakan hal itu.
***
Gaun Salsha sudah Fiona kirimkan pada hari kemarin, sehingga hari ini Fiona hanya perlu datang sebagai tamu undangan pada acara resepsi pernikahan Salsha. Memasuki ruangan berhias serba putih itu dengan pria yang menggandeng tangannya di samping kanan.
Fiona berjalan beriringan dengan Jason, menuju dimana Salsha dan suaminya saat ini duduk manis sebagai sepasang suami istri.
“Aaaa...”
Salsha berteriak histeris ketika melihat Fiona yang hendak menghampirinya, bersama Jason tentunya.
“Lo cantik banget. Selamat ya.”
Fiona memeluk Salsha dan melakukan aksi cium pipi kanan-kiri selayaknya dilakukan sahabat wanita kebanyakan.
“Lo juga cantik.”
Salsha menatap Fiona yang saat ini menggunakan gaun berwarna tosca dengan aksen brukat yang ia kombinasikan dengan sifon di bagian dadanya. Salsha tahu Fiona merancang gaun itu sendiri. “Nanti gue pesen gaun yang gini ya,” bisik Salsha di samping telinga Fiona.
“Ck!”
Fiona berdecak, ketika acara resepsi seperti ini masih sempat-sempatnya Salsha memperhatikan gaun yang Fiona kenakan.
Fiona dan Jason kini sudah kembali berbaur dengan tamu lain. Sesekali Fiona menjengjangkan lehernya, mencari sosok Steffy. Sedari tadi gadis itu belum memunculkan wajahnya di hadapan Fiona. Apakah dia belum datang? Jangan bilang kalau dia akan datang terlambat dengan berpakaian kasual seperti biasa, kaos pendek dipadu dengan celana jeans. Awas saja!
“Aku ambilin minum dulu ya,” ucap Jason disambut anggukan pelan dari Fiona.
“Fiona!”
Tidak lama kemudian suara itu terdengar.
“Steffy?”
Mata Fiona membulat ketika mendapati sosok Steffy yang... Sshhh... Benar saja! Temannya yang satu ini memang benar-benar keterlaluan.
“Gue gak sempet dandan,” ujarnya dengan cuek, Fiona serasa ingin memelintir lehernya kini. Bagaimana bisa ia menghadiri acara pernikahan sahabatnya dengan berpakaian sesantai itu?
Fiona menarik lengan Steffy untuk segera keluar dari ruangan. Menuju toilet dimana hanya ada mereka berdua saat ini.
“Konyol juga ya lo kadang-kadang!”
Fiona menunjuk-nunjuk wajah Steffy. Lalu meraih ponselnya untuk menelepon Nida. Meminta Nida untuk membawakan salah satu gaun yang ada di butiknya untuk di antarkan ke tempat dimana Fiona berada sekarang.
Klik... Fiona menutup sambungan teleponnya. “Kita tunggu di sini. Sampai gaunnya dateng,” ujar Fiona seraya menatap wajahnya pada kaca toilet yang terbentang sebesar dinding di hadapannya.
“Lo kesini sama Jason?” tanya Steffy, gadis itu kini duduk di tepi westafle seraya mengayun-ayunkan kakinya.
“Mmm...”
Fiona hanya menjawabnya dengan gumaman. Seketika pertanyaan Steffy menyadarkan dirinya atas keberadaan Jason di dalam gedung sana. Fiona kembali meraih ponselnya, mengotak-atik sejenak ponselnya. Mungkin memberitahu keberadaannya pada Jason.
“Gue tadi ketemu David,” tutur Steffy santai.
“Apa? Dimana?”
Wajah Fiona saat ini terlihat memaksa Steffy menjawab pertanyaannya. “Dimana Steff?” ulang Fiona.
“Di depan pintu masuk gedung. Gue mau masuk, dia keluar. Emang lo gak ketemu dia tadi di dalem?”
Fiona menggeleng. Mengapa saat ini Fiona merasakan degupan jantungnya begitu cepat. Bagaimana bisa ia tidak bertemu David Atau hanya sekedar melihat wajah pria itu, padahal mereka berada di dalam satu tempat, bahkan satu ruangan yang sama.
“Lo udah nerima Jason?”
Kini Steffy balik bertanya.
Fiona menggeleng tanpa mengeluarkan suaranya.
“Ck! Gue pikir lo udah jadian sama Jason. Ngapain lo nyuruh David pergi kalau ternyata hubungan lo sama Jason gak ada perubahan?”
Pertanyaan Steffy sama dengan pertanyaan Fiona pada dirinya sendiri. Fiona meminta David tidak mendekatinya lagi dengan alasan merasa bersalah ketika ia akan menjawab pernyataan cinta Jason, namun ternyata ketika David sudah pergi Fiona belum juga menjawabnya. Kenapa? Fiona juga tidak mengerti. Ada apa sebenarnya pada dirinya.
“Lo pernah sadar gak sih? Lo sering lupa sama wajah orang-orang yang lo kenal. Bahkan lo sering lupa sama gue, Salsha juga. Tapi lo gak pernah lupa sama David.”
Steffy mengangkat kedua alisnya, mengisyaratkan Fiona untuk mengiyakan pernyataannya.
“Lo pernah gak, sekali aja buka buku catatan bodoh lo itu untuk ingat wajah David?” lanjut Steffy.
Fiona menggeleng. Ya, Fiona tidak pernah sama sekali untuk membuka catatannya, berusaha mengingat David. Bahkan David sama sekali tidak ia tuliskan sebagai orang yang harus ia ingat dalam daftar bukunya, sama sekali tidak ada catatan mengenai David di dalam bukunya. tapi...
“Lo gak pernah sekalipun lupa sama dia kan? Apa mungkin karena dia selalu ada buat lo, memori lo sampai gak mau hapus dia,” ucap Steffy lagi seraya terkekeh. Ia sadar perkataannya tadi terkesan lebay. Tapi ternyata itu mampu membuat Fiona tertegun saat ini.
***
“Haaahhhh...”
Jason menjatuhkan tubuhnya pada jok mobil. Sedangkan Fiona sudah duduk di sampingnya terlebih dahulu.
“Langsung pulang?” tanya Jason, kebiasaan Jason selalu bertanya seperti itu.
Fiona hendak membuka mulutnya, namun dengan cepat Jason kembali mengeluarkan suaranya, “aku mau ajak kamu ke suatu tempat dulu.”
Fiona tersenyum. Untuk apa ia bertanya 'langsung pulang?' Jika akhirnya akan mengajak Fiona ke suatu tempat.
“Tapi mata kamu harus ditutup dulu.”
Jason meraih sebuah kain berbentuk persegi, lalu ia gulung menjadi sebentang gulungan kain yang ia gunakan untuk menutup mata Fiona.
Selama perjalanan Fiona tidak berhenti mengoceh. Bertanya, kita mau kemana? Masih lama? Harus ya matanya ditutup? Kita mau ngapain sih?
Rentetan pertanyaan itu sama sekali tidak mendapat jawaban. Jason selalu menjawab, “lihat aja nanti.”
Selang 30 menit perjalanan, Fiona kini sudah dipapah untuk keluar dari dalam mobil. Jason memegangi kedua lengan Fiona, membimbing Fiona berjalan dengan pelan.
“Aku hampir ketiduran selama perjalanan tadi. Kamu nutup mata aku terlalu lama,” gerutu Fiona seraya berjalan dengan mata yang masih tertutup.
Jason hanya terkekeh mendengar ocehan Fiona. “Duduk di sini,” ucap Jason.
Fiona duduk pada sebuah kursi yang berada di hadapan sebuah meja bundar. “Siap?” tanya Jason, mengambil ancang-ancang untuk membuka penutup mata Fiona.
Fiona mengangguk. Jason kelamaan! Fiona ingin sekali segera menarik penutup matanya untuk mengetahui keberadaannya saat ini.
“Taraaa!!!”
Jason melepaskan penutup mata Fiona yang tadi terikat.
Samar-samar Fiona membuka matanya. Beberapa kali tatapannya mengerjap agar penglihatannya saat ini jelas. Namun tiba-tiba suara decitan terdengar kencang, karena kini Fiona bangkit dari kursinya dan bergerak mundur.
“Kamu seneng?”
Jason memegangi kedua lengan Fiona, “Saat ini aku berharap bisa lihat kamu menari lagi.”
“Kamu gila!” ujar Fiona dengan suara sedikit menghentak. Fiona menatap area panggung pentas yang kini di atasnya tersedia dua buah bangku saling berhadapan yang dipisahkan oleh meja bundar. Terlihat beberapa lilin kecil menghiasi pinggiran panggung. Cahaya remang-remang itu membuat suasana semakin terlihat romantis.
Namun wajah Fiona terlihat sangat ketakutan. Seindah apapun ruangan itu mendapat sentuhan dekorasi, tetap saja terlihat sangat mengerikan bagi Fiona. Panggung itu... Saksi ketika Fiona mengakhiri semuanya dengan tragis.
Fiona segera menepis tangan Jason, “Aku mau pulang.”
“Fiona?”
“Aku mau pulang!”
“Kamu sama sekali gak ingat aku?” tanya Jason, kembali menarik lengan Fiona untuk menghentikan langkahnya.
“Aku Jason,” tutur laki-laki itu lagi.
Fiona tahu, dia Jason. Sepikun apapun Fiona saat ini, ia masih mengingat bahwa laki-laki di hadapannya adalah Jason.
“Aku Jason, laki-laki yang kamu cintai. Laki-laki yang mencintai kamu...”
Sejenak keduanya terdiam...
“Laki-laki yang pergi di saat keesokan harinya gadis yang ia cintai akan pentas menari.”
Hening...
Tiba-tiba Fiona menangkupkan telapak tangannya. Jason? Tiba-tiba Fiona merasakan kepalanya refleks memutar memori yang tersimpan. Laki-laki berseragam SMA, laki-laki itu mengecup keningnya, mengaitkan kelingkingnya, mengucapkan janjinya... Laki-laki itu... Jason?
“Jason?” lirih Fiona dengan suara tertahan.
“Maaf... Aku gak tahu harus meminta maaf dengan cara seperti apa. Saat itu aku harus benar-benar pergi untuk ikut kedua orang tua aku, Fiona. Aku gak mau bikin konsentrasi kamu hilang di saat esok hari kamu akan tampil, makanya aku gak memberitahu kamu. Maaf.”
Fiona melepaskan tangisannya yang sedaritadi ia tahan.
'Yah. Masa Jason belum dateng? Dia janji mau dateng nonton aku kan kemarin? Tapi sekarang dia belum ada nemuin aku. Di telepon nomornya ga aktif.'
Pesan singkat itu, Fiona mengingatnya. Ya, Jason... Laki-laki itu...
“Maaf.”
Mata Jason sudah mulai berair, raut wajahnya sudah berubah dipenuhi penyesalan. “Selama ini, aku berusaha nyari kamu. Rumah kamu, ke sekolah, aku cari tahu semua tentang kamu. Tapi aku gak dapat apa-apa. Sampai akhirnya... Aku ketemu kamu di kafe itu... Tapi ternyata kamu sama sekali gak ingat aku. Maaf, aku gak tahu apa yang terjadi sama kamu sampai kamu seperti ini. Maaf.”
Fiona masih terdiam, belum mengucapkan kata apapun.
“Aku berusaha mengingatkan kamu tentang aku. Aku kangen sama kamu. Aku rindu lihat kamu untuk menari lagi,” ucap Jason seraya menatap Fiona. “Aku mohon, setidaknya kamu bisa menari lagi. Hanya untuk aku.”
“Menari lagi? Kamu tahu? Apa yang terjadi sama aku ketika kamu pergi? Di hari pementasan aku, Ayah kecelakaan. Ayah ninggalin aku untuk selamanya di hari itu, di hari kamu juga pergi ninggalin aku! Dan setelah itu aku baru sadar. Itu bukan kecelakaan, ayah sengaja menabrakan mobilnya sendiri. Di saat ekonomi yang mencekik, dia sengaja merekayasa semuanya, dia rela mati demi dana asuransi kematiannya untuk aku! Supaya aku bisa ngelanjutin cita-cita aku untuk menjadi seorang penari. Apa kamu pikir dengan keadaan seperti itu aku masih bisa menari?”
Jason memberanikan diri tetap menatap wajah Fiona. Gadis itu, baru kali ini Jason melihat Fiona dengan wajah seperti itu.
“Kemana kamu saat itu?” Fiona balas menatap Jason.
“Maaf Fiona. Selama ini aku berusaha untuk bisa nemuin kamu. Aku berusaha untuk tepatin janji aku sama kamu, ngabisin waktu aku untuk nyari kamu-”
“Aku udah gak perduli sama janji itu. Aku gak perduli sama semuanya.”
“Fiona!!!”
Jason meneriaki Fiona yang kini tengah melangkahkan kakinya untuk keluar dari tempat itu.
“Fiona!!!”
Jason berhasil menangkap pergelangan tangan Fiona. Namun dengan kencang Fiona menepis.
***
Fiona melangkahkan kakinya keluar dari dalam lift. Tidak seperti biasanya, ruangan berukuran 2x2 itu sangat menyesakkan. Wajah kusut dan mata sembabnya menemani langkah Fiona saat ini.
“Jason...”
Fiona masih tidak percaya jika Jason adalah laki-laki yang berusaha Fiona benci selama ini. Berusaha Fiona hilangkan dari bayangan kehidupannya. Berusaha Fiona lupakan.
'Aku berusaha mengingatkan kamu tentang aku. Aku kangen sama kamu. Aku rindu lihat kamu untuk menari lagi.'
Ketika Fiona tengah memegang knop pintu apartemennya, Fiona mengingat kata-kata itu. 'Aku berusaha mengingatkan kamu tentang aku?'
Apakah yang selama ini mengirimkan lagu dan barang-barang aneh itu adalah Jason?
Tatapan Fiona menengadah. Wajah frustasinya masih belum hilang. Menatap bagian atas pintu. CCTV. Fiona melihat benda itu di sana.
Hhhh... Bodoh! Mengapa Fiona sebodoh ini? Fiona bisa melihat siapa saja yang berdiri bahkan melintas di depan pintu apartemennya dengan CCTV ini kan? Mengapa Fiona baru mengingat itu semua sekarang? Tolol! Fiona tidak berhenti mengumpat. Memaki dirinya sendiri. Seiring itu langkahnya kembali berbalik menuju lift.
'Ruang staf keamanan'. Mungkin di tempat itu Fiona akan menemukan informasi yang ia inginkan.
“... Pertanggal 12 Mei?” tanya seorang pria setengah baya yang tidak lain adalah staf keamanan yang bertugas di apartemennya.
Fiona mengangguk. Lalu kembali melihat klik mouse komputer di hadapannya yang menampilkan beberapa rekaman CCTV yang ia butuhkan.
“Dua belas Mei. Ini?” tanya pria itu lagi.
“Ya.”
Fiona mengangguk cepat. Meraih mouse komputer yang saat ini diserahkan padanya.
Setelah 2 kali Fiona menekan mouse, muncul rekaman video di hadapannya. Terlihat seorang pemuda berbaju serba hitam, dengan topi yang ia gunakan untuk menghalangi wajahnya dari kamera CCTV.
“Jason...” gumam Fiona. Fiona sangat mengenal gerak-gerik itu. Ya, laki-laki yang menyimpan kotak dan rekaman lagu itu adalah Jason. Fiona sangat yakin, penyusup dengan pakaian serba hitam itu adalah Jason.
“Maaf. Untuk saat ini kami akan memperketat penjagaan,” ucap pria di samping Fiona. Melihat wajah Fiona yang saat ini terlihat frustasi ketika menonton rekaman video di hadapannya.
Fiona hanya tersenyum. Lalu mengangguk. Hhhh... Sepertinya Fiona harus segera keluar dari ruangan ini. Informasi yang Fiona butuhkan sudah ia dapatkan. “Maaf kalau saya mengganggu waktu anda untuk bertugas,” ucap Fiona.
Pria itu hanya mengangguk. Lalu kembali terfokus pada layar komputer di hadapannya.
“Oh ya. Maaf. Apa anda mengenal pria ini?” pria itu kembali memanggil Fiona, meminta Fiona untuk menghampirinya lagi, melihat rekaman CCTV yang tidak sengaja ia klik.
Fiona kembali melangkah menghampiri. Menatap layar monitor yang kini menampilkan seorang laki-laki dengan keringat membanjir tengah duduk menjulurkan kakinya, tepat di depan pintu apartemen Fiona.
“Laki-laki ini ngotot meminta kami untuk segera memperbaiki lift yang rusak. Dia bilang, dia tidak akan membiarkan gadis yang dia cintai menaiki dan menuruni ratusan anak tangga setiap harinya. Kekanak-kanakan ya?”
Pria itu terkekeh ketika menceritakan sosok laki-laki yang saat ini Fiona lihat di layar monitor. Laki-laki yang sangat Fiona kenali.
“Siapa tahu anda mengenali laki-laki itu. Karena dia terekam duduk di depan pintu apartemen anda. Tolong sampaikan padanya, kalau lift sudah selesai diservis,” lanjut pria setengah itu lagi, tawa kecilnya belum terhenti.
Fiona merampas mouse komputer dengan cepat, membuat petugas keamanan itu sedikit tersentak. Kembali memutar rekaman dari awal kejadian dan memperbesar volume.
Terlihat pada rekaman video itu, David. Ya, laki-laki itu David, terhuyung-huyung melangkah menghampiri pintu apartemen Fiona. Keningnya ia tabrakan pada pintu. Lalu menyandarkan tubuh lemasnya yang penuh keringat. Kemeja yang ia kenakan terlihat sangat basah mandi keringat. Dengan lemas, tangan kanannya berusaha mengetuk-ngetuk kencang pintu dan berkali-kali menekan bel.
Namun ternyata tidak ada sahutan dari arah dalam. Berkali-kali David melakukan hal itu. Fiona bertanya pada dirinya sendiri. Kemana ia saat itu?
Tubuh David meringsut, duduk menjulurkan kakinya dengan punggung basah menyandar pada pintu. Tangan kanannya merogoh saku celana. Meraih ponsel. Lalu David berbicara,
'Hallo? Fiona? Kamu dimana? Dari tadi aku teleponin kamu.'
'Mmmm...'
'Malah aku yang harusnya minta maaf sama kamu. Aku tadi ada urusan mendadak jadi gak bisa datang kesana. Makanya dari tadi aku telepon kamu. Aku khawatir kamu tadi datang ke sana dan nunggu aku.'
'Enggak. Maaf ya. Lain kali aku pasti janji tepatin janji aku.'
'Kamu lagi sama Jason? Cieee... Biasanya cuma makan siang berdua, kali ini makan malam berdua. Pergerakan Jason cukup cepet ya?'
'Nyerah? Ck! Jangan panggil David kalau nyerah gitu aja. Tinggalin Cassie aja aku bisa. Apa lagi cuma nyingkirin Jason. Kecil buat aku.'
'Ya udah. Aku mau istirahat dulu. Baru nyampe rumah. Have fun ya. Bye.'
Tangis Fiona tiba-tiba pecah. David berbohong. David berbohong kalau ia tidak bisa menepati janjinya, padahal ia mencari Fiona saat itu? Ia berbohong jika ia sedang di rumah, padahal ia sedang di depan apartemen Fiona, memastikan keadaan Fiona baik-baik saja.
“Anda baik-baik saja?” tanya pria yang kini tengah duduk di samping Fiona.
Tanpa menjawab pertanyaan itu, Fiona kini melangkahkan kakinya keluar dari ruangan. Bibirnya tidak berhenti menggumamkan nama David. Seiring langkahnya yang terus ia ayunkan, air matanya semakin membanjir.
Ia telah mencabik hati laki-laki malang itu terus-menerus. Tanpa sadar. Dan itu menjadi kebiasaan yang Fiona anggap biasa. Fiona terbiasa menyakiti hati laki-laki itu sehingga menganggap perlakuannya bukan suatu kesalahan.
Tanpa sadar Fiona kini sudah berada di dalam kamarnya. Menjatuhkan dirinya di samping lemari. Tangan kanannya membuka pintu lemari, meraih jaket berwarna hitam. Jaket yang Fiona dapatkan dari pihak rumahsakit ketika ayahnya pergi untuk selamanya, jaket yang terakhir kali dipakai oleh ayahnya sebelum kejadian itu. Fiona menarik jaket itu dalam dekapannya. Seakan tengah memeluk ayahnya, bercerita betapa bodohnya tingkah Fiona. Fiona menumpahkan semua tangisnya, mengeluarkan semua cacian untuk dirinya sendiri.
Pluk... Sesuatu terjatuh dari lipatan jaket. Sebuah badge, nametag, 'David E. Hajjer’. Nama itu... David? Fiona tiba-tiba memegangi kepalanya saat ini. Kembali kejadian masa lalu terputar secara tiba-tiba.
-------
Seorang suster keluar dari ruangannya. 'Ini jaket ayah anda. Oh ya, ponsel ayah anda saya titipkan pada seorang anak laki-laki berseragam SMA. Anak itu yang menolong ayah anda keluar dari dalam mobil. Saya memang tidak melihat kejadiannya secara langsung, tapi menurut para saksi mata. Jika anak laki-laki itu tidak segera mengeluarkan ayah anda, maka jasad ayah anda akan ikut hangus terbakar.'
'Oh ya?'
'Hhhh... Kemana dia? Apa jangan-jangan dia mencuri ponselnya?'
'Lupakan. Jasanya terlalu besar jika dibandingkan dengan sebuah ponsel.'
-------
Fiona mengerang. Tangisannya saat ini terlihat lebih menyakitkan. Apakah David yang ia kenal adalah anak laki-laki yang menolong ayahnya? Tanpa diingat, Fiona sangat tahu persis jika 'David E. Hajjer' itu adalah nama lengkap David. Laki-laki yang Fiona kenal. Laki-laki yang beberapa kali Fiona hancurkan.
Dengan tangis yang lagi-lagi pecah Fiona berlari keluar dari dalam apartemennya. Berbekal tas beserta ponselnya. Kemana Fiona harus mencari David saat ini? Fiona berkali-kali mencoba menghubungi ponsel David namun sama sekali tidak ada sahutan.
“David.”
Lagi-lagi Fiona tidak berhenti menggumamkan nama itu. Pintu lobi sudah ia lalui. Fiona berlari menuju tepi jalan. Mungkin saat ini Fiona harus mengunjungi apartemen David. Fiona bergerak dengan langkah terburu, bahkan terkesan berlari.
Dengan ponsel yang masih menempel di telinganya, Fiona mencoba menyebrangi jalan tanpa zebra cross. Berlari menuju seberang jalan untuk mendapatkan taxi.
Brak...
***
Fiona mengerjapkan matanya. Berkali-kali mengerjapkan matanya. Dimana ia saat ini? Sebuah koridor... Rumah sakit? Fiona saat ini tengah berjalan di sebuah koridor rumah sakit? Ada keperluan apa ia datang kesini? Bukan kah tadi ia akan mengunjungi apartemen David, untuk bertemu dengan laki-laki itu? Hhhh... Bodoh! Penyakit pikunnya kumat. Fiona mempercepat laju langkahnya. Menapaki lantai koridor dan melewati beberapa kamar pasien.
“David?”
Mata Fiona membulat ketika melihat David memasuki sebuah kamar pasien, membawa sebuah lukisan yang terbungkus rapi. Hhhh... Senyum Fiona mengembang. Akhirnya Fiona bisa menemukan David. Kebetulan sekali, Fiona tidak perlu repot-repot mengunjungi apartemennya.
Tapi siapa yang sakit? Fiona mempercepat langkah kakinya, menuju ruangan yang David masuki tadi.
Fiona melangkahkan kakinya dengan perlahan ketika memasuki kamar pasien, terkesan mengendap-ngendap. Fiona dapat melihat David yang kini tengah duduk di kursi yang terdapat di samping ranjang pasien. Memegangi tangan seorang gadis yang kini tergolek lemah, tertidur di atas ranjang itu.
“Fiona bawel! Aku masih nunggu kamu. Buat bikin hati aku hancur.” ucap David seraya terkekeh, namun mata laki-laki itu berair, nyaris menangis.
Fiona? Tunggu! Apa-apaan ini? Fiona segera menoleh ke arah gadis yang kini tengah tertidur. Berbagai ukuran selang, mask oksigen, perban di kepala, menempel rapi pada tubuh gadis itu. Gadis itu! Itu adalah Fiona!
Mata Fiona membulat ketika mendapati tubuhnya yang tengah tertidur di sana. Fiona menyaksikan tubuh tidak berdayanya itu tertidur di atas ranjang pasien.
“David? Aku disini.” lirih Fiona, namun ternyata David sama sekali tidak menoleh ke arahnya. “David!!!”
Fiona kembali mencoba berteriak.
“Sampai kapan kamu mau tidur kayak gini Fiona? Kamu gak mau lihat lukisan aku? Aku udah selesaiin lukisannya loh.”
David merobek kertas yang menutupi lukisan yang ia bawa. Lukisan yang sempat Fiona lihat di kamar David. Lukisan itu... Seorang gadis ballerina tengah menjinjitkan kakinya dengan tangan terlentang. Wajahnya...
“Wajahnya. Hhhh... Aku gak bisa gambar wajah kamu dengan sempurna. Wajah kamu terlalu cantik. Maaf ya.”
“Lukisan kamu bagus David.”
Fiona menghampiri lukisan tersebut. Menatap lukisan itu. Dipojok bawah lukisan terlihat tulisan, 'My Ballerina's Bride'
Lukisan gadis itu adalah dirinya... Jadi gadis yang David lukis adalah dirinya? Gadis cantik dengan wajah terlalu sempurna yang David ceritakan itu adalah dirinya? Fiona merasakan kerongkongannya saat ini tercekat hebat.
“Kamu tahu aku nyontek gambar itu dari mana? Nih. Banyak foto-foto kamu di sini.”
David mengeluarkan ponsel usang. Ponsel itu...
“David...”
Fiona menatap David dengan tangis yang sudah tidak tertahan, “izinkan aku bangun Tuhan. Izinkan aku untuk memeluknya kali ini, kali ini saja.” Fiona belum berhenti memohon.
“Maaf aku gak kembaliin ponsel ini ke kamu. Aku takut kehilangan kamu, kehilangan cerita tentang kamu. Kamu suka curhat sama ayah kamu. Tapi aku yang baca.”
David kembali tertawa kecil.
Tidak kah David tahu, tawanya itu membuat hati Fiona terlampau sakit saat ini.
“Aku rawat ponsel itu dengan baik kok. Aku sama sekali gak ganti nada deringnya, setiap malem aku charg, setiap minggu aku isiin pulsa. Dan aku habisin pulsanya untuk nelepon nomor aku sendiri. Psikopat.”
David tersenyum.
“Aku kangen sama panggilan itu. Psikopat.”
“Aku juga kangen sama kamu David. Aku mohon lihat aku disini. Aku ada di samping kamu David. Aku mohon dengerin aku David. Aku sayang sama kamu. Aku mohon, denger suara aku David.”
“Oh ya. Aku udah nemuin cewek baru loh. Dia temen SMA aku dulu, namanya Bella. Dia memang gak secantik kamu. Tapi dia sayang sama aku. Aku yakin aku bakalan bahagia sama dia.”
“Enggak! David! Aku mohon kamu dengerin aku! Aku sayang sama kamu!” Fiona berdiri di samping David. Tidak berhenti berteriak.
“Nanti kalau kamu bangun. Aku kenalin kamu sama dia. Kamu pasti seneng. Aku udah bisa move on. Haha. Keren kan? Makanya kamu bangun.”
Fiona menggeleng lemah, “enggak. Kamu harus dengerin aku dulu. Aku sayang sama kamu.”
Fiona meringsut, menjatuhkan tubuhnya di atas lantai. Tangisnya semakin menjadi. Fiona tahu, Fiona membuat banyak kesalahan pada David, mungkin ini balasan yang Tuhan berikan untuknya. Tapi ini terlalu sakit Tuhan, ini terlalu sakit.
Aku mohon Tuhan. Izinkan aku untuk sadar. Izinkan aku untuk memasuki tubuhku. Walau hanya 5 detik. Izinkan aku untuk memeluknya. Izinkan aku untuk mengatakan bahwa aku mencintainya. Aku mohon.
“Nanti kalau aku nikah. Aku pesan gaun pengantin Bella dari kamu ya?” ucapan terakhir dari bibir David sebelum akhirnya suara mengenaskan itu terdengar berdenging.
Tiiiiit...
Layar monitor sudah menampilkan garis datar. Fiona bangkit dari duduknya. Menatap tubuhnya yang kini terkujur kaku di atas ranjang pasien. Menatap David yang kini mengerang, menangisi kepergiannya. David membungkukan tubuhnya. Mengecup kening Fiona, cukup lama. David membiarkan air matanya jatuh membasahi kening Fiona.
David melepaskan kecupannya, “Aku sayang sama kamu Fiona. Selalu sayang. Sebenci apapun kamu sama aku. Aku sayang sama kamu.”
TAMAT :')
Terkadang, ada sesuatu yang tidak bisa kita dapatkan sekeras apapun kita berusaha dan selama apapun kita menunggu~ Ballerina's Bride
KAMU SEDANG MEMBACA
Ballerina's Bride
Teen FictionCerita karya Citra's Slide , mungkin masa lalu telah mengubah gadis ini menjadi pelupa , bahkan ia bisa lupa dengan wajah wajah sahabatnya tetapi mungkin ia telah menyia-nyiakan cinta yang tulus dari seorang pria berwajah malaikat yang selalu ada un...