Chapter 2

508 37 17
                                    

Disclaimer © Gintama by Hideaki Sorachi

🌸🌺🌼

Aku menghabiskan setiap soreku di tepi pantai sejak kami memutuskan untuk bermarkas di dekat sini. Angin yang dingin, suara ombak, gesekan dedaunan dan matahari tenggelam adalah hal yang kudapatkan sekaligus. Sebuah ketenangan versi alam yang membuat siapapun akan menikmatinya, karena menjauhkan diri dari kebisingan adalah sesuatu yang harus dilakukan sesekali.

Terutama menjauh dari kebisingan yang dibuat oleh Sakamoto Tatsuma. Bukan berarti dia suka mengadakan konser musik dadakan dari panci dan ember bekas, tapi karena suaranya lah yang membuat telingaku kadang sakit saat berada di dekatnya. Mungkin tidak ada satupun orang yang bisa mengalahkan suara kerasnya bak seperti memakai toa milik kepolisian Mimawarigumi.

Suara ombak yang menabrak batu memang tidak kalah besarnya dari suara Tatsuma sih, tapi suara ombak itu seperti melodi yang menenangkan. Bahkan aku yakin dalam waktu sepuluh detikpun aku akan tertidur dengan cepat, soalnya aku tidak akan berkata tiga detik cukup untuk tertidur, itu sangat hiperbola.

Ah, tanpa sadar aku menghabiskan seratusempatpuluhdelapan kata hanya dengan bicara terlalu melankolis. Yang ingin kukatakan adalah, menikmati keindahan alam bukanlah hobiku. Aku hanya ingin menjauh dari si berisik Sakamoto Tatsuma, yang katanya pengen bakar jagung, tapi berisiknya kayak pengen bakar rumah.

Angin laut semakin dingin saja bersamaan dengan terbenamnya matahari, aku lupa memakai syal tua yang kami dapat dari tempat sampah. Untungnya sudah dicuci dan masih bisa dipakai, jadi uang yang kita punya bisa sedikit diirit untuk keperluan musim dingin dan yang lainnya. Semoga saja tidak ada yang terjadi selama musim dingin begini, aku tidak mau pergi ke medan perang dengan tubuh menggigil soalnya.

Kududukkan diriku di atas pasir dan bersandar pada batu saat matahari telah tenggelam dengan sempurna, kupejamkan mataku karena merasa sedikit mengantuk di dalam buaian angin laut yang dingin. Tapi mencoba tidur pun percuma, suhu yang dingin seperti ini susah untuk tidur meski merasa mengantuk.

Suara ombak, angin dan gesekan daun telah membuatku tuli, seperti membawaku ke keheningan aneh dan mengajakku untuk tertidur. Hingga tanpa sadar ada seseorang yang mendekatiku, yang membuatku tersadar adalah napas hangatnya yang menerpa wajahku dan aroma tubuhnya yang khas, wangi teh yang sungguh harum.

Aku tidak begitu kaget melihat wajah Zura begitu dekat saat aku membuka mata, dia menatapku dengan datar dan seperti ingin menjauhkan dirinya dariku.

"Jangan berhenti, Zura."

Yang kuinginkan sekarang adalah ciuman dari teman masa kecilku, tapi kenapa dia terdiam seperti itu. Salah satu alasan kenapa aku bertahan dengan suhu sedingin ini karena menunggunya, apakah dia tidak mengerti?

"Aku Katsu---" Jadi sebelum dia menyelesaikan kata-katanya, aku segera memotongnya dengan sebuah ciuman. Zura memaksa untuk melepaskan ciuman kami, dan dia berhasil melakukannya. "Dengarkan seseorang yang sedang bicara sampai selesai."

"Maaf." Aku memberikan senyuman tipis rasa bersalah pada Zura, aku memang salah. Zura juga ingin diperhatikan, seharusnya aku tidak egois dengan hanya diberikan tanpa pernah memberikan.

Zura terdiam, aku mengambil kesempatan untuk mendekatkan diriku dengannya. Kumiringkan kepalaku dan mempertemukan bibir kami, kubawa dirinya duduk di pangkuanku, semakin mempersempit jarak kami demi memberikan kehangatan. Kali ini Zura tidak melawan, tapi dia sedikit bergetar di pelukanku.

Saat kurasa Zura sudah kehabisan napas, aku melepaskan ciuman kami dan membuatnya bersandar di bahuku. Kuhirup aroma yang khas dari tubuh Zura, terus mengecup lehernya yang hangat. Ini terlalu menggoda, aku bahkan tidak bisa menghentikan diriku kalau saja Zura tidak menjauhkan tubuh kami sembari memanggilku.

Some Like It HotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang