On The Train

6.3K 767 55
                                    

Malam minggu ini aku merasa agak berbeda. Mungkin angin kali ya. Nggak tahu kenapa bawaannya pengen nengok ke luar rumah terus. Padahal kan jomblo, ga ada yang bakal jemput juga buat jalan. Ini membuktikan bahwa kesepianku sudah tingkat akut dan hampir tak tertolong.

Bagi yang punya pasangan pasti berharap malam minggu jangan berakhir. Tapi buatku, ayo cepat hari Senin, butik aku sudah mulai kosong, barangnya nggak datang.

Aku melongok ke luar sekali lagi sambil bertanya - tanya, bener nih? Akhirnya kututup pintu lalu kupadamkan lampu ruang tamu dan masuk ke kamar.

Baru selesai mencuci muka dan mengaplikasikan sleep mask, aku mendengar suara mobil diparkir di depan rumah. Orang parkir sembarangan nih.

Setelah mengganti baju dengan setelan piyama bermotif bunga - bunga dan naik ke atas kasur, suara pintu diketuk diikuti salam mengejutkanku.

Hantu nih! Hantu ketuk pintu, pas dibuka nggak ada siapa - siapa. Tapi hantu bisa bilang "assalamualaikum?"

Aku menyalakan lampu ruang tamu dan membuka pintu. Aku terkejut dengan pasangan paruh baya yang tersenyum padaku.

"Malam, cari siapa ya?" tanyaku dengan sopan.

"Bapaknya ada?"

"Oh, ada. Mari duduk dulu, saya panggilkan Bapak di belakang."

Bapak aja ada yang nyamperin. Setelah memanggil Bapak, aku diminta Ibuk buang sampah di depan. Yah, udah bersih gini disuruh pegang sampah.

Kulihat mobil yang terparkir di depan masih menyala. Oh, tamunya Bapak bawa sopir ya. Disuruh masuk apa gimana? Kasihan di dalam mobil aja. Tawarin minum deh.

Dengan tong sampah kosong di tangan kiri aku menghampiri mobil kemudian kuketuk kaca mobil bagian kemudi.

"Mas, mau minum, nggak?"

Ketika kacanya bergerak turun, seorang pria terlihat sibuk sendiri di dalam sana.

"Tunggu!" katanya, kemudian ia menatap mataku lekat - lekat, "kalau saya bilang 'tunggu' itu artinya tunggu."

"Bagas, ngapain di sini?"

Dia sibuk mengambil sesuatu dari jok belakang, setelah itu ia matikan mesin dan turun dari mobil. Dalam gelap malam karena lampu jalan di depan rumah aku kurang daya, ia menjejalkan sesuatu ke tanganku.

Kusadari itu sebuah buket bunga campuran mawar dan sebagainya.

"Buat saya?"

"Bukan, kamu pegangin dulu."

Yah, padahal hati terlanjur udah berbunga - bunga.

Dia mengambil sesuatu lagi dari dashboard. Yang ternyata kotak cincin kecil.

"Gimana ngomongnya ya?" ia bergumam sementara aku menanti, tidak mau ge-er lagi.

Akhirnya ia membuka kotak itu di depanku. "Ini buat kamu, bunganya juga buat kamu."

Aku lambat mencerna semua ini, "oh... makasih?"

Melihat reaksiku yang aku sendiri pun tidak mengerti kenapa bisa se-lemot itu, ia pun bertanya.

"Saya tanya dulu sebelumnya, andai suatu pagi kamu bangun tidur terus lihat saya di samping kamu, kira - kira kamu lari nggak?"

"Tergantung."

"Tergantung apa?"

"Ya tergantung, posisi kamu apa."

"Kalau saya pacar kamu?"

"Pasti kaget," jawabku dengan wajah mulai panas.

"Kalau saya suami kamu?"

"Ya saya balik tidur lagi," aku nyengir lebar.

"Oke kalau begitu, saya tidak tahu bagaimana cara yang benar untuk melamar kamu. Menurut tutorial youtube, ini cincin saya pasang ke jari kamu-" dan dia pasang cincin ke jari manis aku setelah menyuruhku menjatuhkan tong sampah itu. Lalu ia ambil bunga dari genggamanku, "bunga ini buat kamu," ia mengembalikan bunga ke tanganku dan kurasakan suaranya agak parau.

Oh, bisa gugup juga?

"Malam ini kita tunangan," ia mengumumkan, "dua minggu lagi saya balik kita nikah KUA."

Aku mengerjap, terlalu kaget sampai tidak bisa bergerak, "apa?"

"Malam ini saya naik pesawat, ada kerjaan di Atambua sampai dua minggu ke depan, sampai saat itu tiba tolong jaga hati kamu buat saya."

"Tunggu, tapi saya belum bilang setuju." Enak aja, ngelamar orang macam transaksi jual beli ikan di pasar.

Kepala Bagas tersentak mundur, "Kamu nggak setuju?"

"..." setuju deh, tapi butuh waktu. Aduh! Cewek emang suka gini ya?

"Andai kamu diberi waktu hitungan satu sampai tiga, kamu bakal jawab apa?" dia mulai menghitung, "satu, dua, tiga?"

"Setuju." Aku menjawab dengan panik dan agak terburu - buru, hanya jawaban yang melintas di benakku.

"Oke, kalau begitu saya sudah tahu jawaban kamu. Sekarang kita masuk, saya kenalin ke orang tua saya."

"Loh?" aku baru saja bergerak memimpin jalan ketika merasakan lenganku ditarik kembali ke belakang. Bagas menempatkanku di antara mobil dan tubuhnya sehingga terhalang dari rumah.

"Ada yang ketinggalan," katanya sesaat sebelum menutup jarak di antara kami dan mencium bibirku.

Kepalaku pusing seketika. Ini sih serangan bertubi - tubi namanya.

Setelah itu ia menyeka bibirku dengan ibu jari dan berbisik, "kamu nggak apa - apa?"

Aku shock!

Aku mengangguk tanpa kata, agak linglung tapi malu juga. Aku berjalan pelan mendahuluinya sambil mencecap rasa Bagas di bibirku. Bisa gitu ya?

Aku berhenti di depan pintu ketika Ibuk tersenyum penuh arti ke arahku, "jadi gimana?"

Pipiku masih merah, bibir dan lidahku sulit digerakan, tatapanku juga tidak fokus ketika Bagas menjawab di sisiku.

"Tari setuju, kemarin cuma sedang bingung aja, tapi barusan sudah saya yakinkan dan dia yakin banget."

Aku menoleh ke arahnya dengan alis terangkat tinggi, 'aku yakin banget' katanya?

Tatapan Ibuk terlihat lega lalu beliau mengelus pundakku, "kalau begitu sudah bisa dimulai ya? Ala kadarnya saja."

Apa yang dimulai? Tunggu. Aku nggak boleh ganti baju sama dandan tipis - tipis dulu nih?

Eh, fashion stylist tunangan pakai piyama dan bare face aja? Sementara Bagas dan keluarganya tampak formal dengan setelan batik tak kurang satu apapun.

Tolong jangan ada yang abadikan momen ini.

-Tamat-

Diary Of Letter BTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang