Bougenville

8.3K 915 41
                                    

Bagian 2:

Jepit sini, jepit sana. Beres.

Aku berdiri di depan cermin sembari mengamati hasil jepit-menjepit rambut yang memakan waktu lima belas menit. Kemudian aku terdiam mengamati penampilanku, dress berwarna pastel dan flat shoes peach sudah cantik. Terus rambutku juga sudah ditata apik, kucium badanku sendiri... Sudah wangi, nggak norak lagi. Yah, namanya juga minta parfum Mama. Parfum aku sih sekelas parfum import KW yang dijual lima puluh ribuan, kalo parfum Mama impor beneran.

Aku sudah siap sejak satu jam lalu karena aku tidak ingin Rio menungguku di ruang tamu dan berbincang hangat sama Papa. Secara psikologis, Papa bakal bandingin Rio dengan cowok-cowok yang bakal aku kenalin ke keluarga. Nanti... Kalau sudah ketemu.

Aku berlari turun dari lantai dua ketika mendengar pintu pagar dibuka. Yah, satu jepit mulai longgar dan helaian rambutku jatuh ke depan. Ah, sekalian saja aku lepas.

"Hai!" aku menyapanya di ambang pintu dengan napas terengah-engah.

Rio mengerutkan dahinya ketika menatapku. "lo habis sprint?"

"Nggak mau buat lo menunggu." jawabku dengan napas sesak dan senyum dipaksakan.

Yah, itu dia. Bagiku Rio ini tetaplah Rio yang dulu, usil dan tidak ada bagus-bagusnya. Kenyataan bahwa dia cerdas dan bla bla bla seperti kata Reza sudah membuat aku tercengang, dan aku tidak akan membuat Rio layak masuk dalam daftar calon suami idaman. Salah satunya nungguin cewek dandan. Voila, aku sudah selesai.

"Hm, mana Papa Mama lo?"

Aku melongok ke dalam, "Mama, ada Rio!"

"Rio?" seru Mama dari dalam sembari berjalan ke ruang tamu, "Oh, kamu. Kirain Rio siapa." kata Mama yang seolah sudah akrab sama Rio.

"Papa mana, Ma?" aku melongok lagi ke dalam.

"Sore, Om." kata Rio sopan tapi tetap terdengar berwibawa. Rio ini kharismatik deh orangnya, aku baru sadar.

Aku memutar leherku ke arah pintu depan dan melihat Papa dengan celana terkena titik-titik air. Papa baru saja selesai siram tanaman sore.

"Gimana, sehat?" tanya Papa sembari berjabat tangan.

"Sehat, Om. Tadi sudah bisa basket juga."

"Berarti cedera lututnya sudah sembuh total, ya. Syukur deh."

Hah? Cedera lutut? Kok Papa tahu dan aku satu-satunya yang nggak tahu apa-apa di sini.

"Pa, kita mau pergi dulu-"

"Duduk dulu deh, Kinara." kemudian Papa menoleh pada Rio, "nggak buru-buru, kan, Nak?"

"Nggak kok, Om. Cuma mau makan saja."

"Eh, gimana persiapan lamarannya, Nak?"

Tuh, kan. Mama saja tahu kalau Rio mau lamaran. Sebenarnya apa saja sih yang sudah kulewatkan selama berpacaran dengan Vincent? Aku jadi makin benci deh sama Vincent, udah monopoli waktu aku, gara-gara dia pula aku jadi ketinggalan berita di rumah.

"Baru mau beli-beli aja sih, Tante."

"Mama kok tahu kalau Rio mau lamaran?" akhirnya aku melibatkan diri dalam forum.

"Ya, tahu. Kan, masih sering chatting sama Mamanya Rio." kemudian Mama menelengkan wajahnya pada Rio, "semoga lancar, ya."

"Makasih, Tante. Tadi Kinara juga doakan yang sama."

"Eh, lo kok sudah mau lamaran. Tu, Bang Reza apa kabar?" tanyaku.

"Loh, kamu nggak tahu, Kin? Reza kan mau nikah akhir bulan depan."

Diary Of Letter BTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang