On The Train

5.5K 839 16
                                    

Sudah lima hari aku berada di rumah, kemarin sewaktu aku tiba, Bapak dan Ibuk tidak marah padaku. Bahkan mereka bersyukur karena aku mau kembali pulang. Aku memang ngga punya malu, sudah dua puluh delapan tahun masih numpang sama orang tua. Aku bisa kok sewa tempat tinggal, tapi ngga dibolehin karena aku perempuan dan sendirian.

"Tari-" Ibuk menghampiriku di dalam kamar, tadi aku dengar Ibuk bicara panjang lebar di telepon dan aku tidak ingin tahu beliau bicara dengan siapa jadi aku abaikan.

"Ada apa, Buk?"

"Kamu pasti senang, anaknya Pakdhe Bintoro tiba-tiba nolak perjodohan ini, dia yang awalnya nurut-nurut aja jadi bersikukuh ngga mau dijodohin."

"Loh, kenapa, Buk?" aku agak terkejut, agak kecewa, tapi lega juga. "Padahal aku udah mau coba lho."

"Mungkin ga enak sama kita. Gara-gara ide Pakdhe Bintoro, kamu jadi minggat."

"Loh, mereka tahu?" waduh, aku pasti sudah menyinggung keluarga Pakdhe Bintoro nih, jangan-jangan hubungan Bapak sama Pakdhe jadi jelek karena aku. "Kok mereka bisa tahu, Buk?"

"Ya, Ibuk yang beritahu mereka. Mau gimana lagi, daripada Ibuk kehilangan kamu, mending ya nggak usah sekalian."

Aku memeluk Ibuk dan merasa sangat bersalah, "Maafin Tari, Buk." aku benar-benar menyesal, bukan hanya Pakdhe dan Budhe aja yang tersinggung, anak mereka juga pasti sedih banget. Terus percaya dirinya turun drastis karena ditolak sebelum maju. Semoga aja dia nggak minder ya.

"Ibuk bilang sama mereka donk, Tari mau nemuin mereka. Tari nyesel sudah kabur."

"Nggak usahlah, Tari. Nanti dikira kitanya yang plin-plan." kata Ibuk sambil berdiri hendak keluar dari kamarku.

"Kalau begitu Tari kepingin telepon anak Pakdhe Bintoro donk, Buk. Seenggaknya Tari mau minta maaf."

Ibuk kembali duduk di sampingku, beliau menangkup wajahku dan tersenyum lega, "Anak Ibuk kok sudah dewasa gini, ya? Nggak salah didikan eyang kamu. Kamu ikut eyang aja gih biar pikirannya bener."

"Nggak ah, Buk. Eyang kadang ngomongin jeleknya Tari ke sepupu yang lain." bibirku mengerucut udah kayak Ana Pinem.

"Ya, sudah. Kamu cari sendiri nomor telepon rumah Pakdhe Bintoro di buku telepon. Ibuk mau masak dulu."

Setelah basa-basi canggung dengan Budhe akhirnya aku diberi nomor ponsel putranya yang beliau panggil Mas ragil. Aku bingung juga sih, nama dia Ragil atau emang dia anak bungsu, ya sudahlah kuputuskan nama anak pakdhe Bintoro adalah Ragil.

Usut punya usut si Ragil sedang tidak di rumah untuk beberapa hari, katanya sih kerja tapi siapa yang tahu kalau minggat juga. Siapa tahu.

Aku memilih untuk menghubunginya via ponsel saja soalnya lebih gampang udah gitu ga bebanin tagihan telepon Bapak. Ketika teleponku terhubung aku merasa jantungku pengen lompat jauh keluar dari tempatnya.

"Halo?" tidak ada jawaban, "ini bener Mas Ragil?"

Hening sejenak, "Siapa?"

Aku menghela napas, kebudegannya bikin degup jantungku lumayan teratur, "Ini Mas Ragil, putranya Pakdhe Bintoro?"

"Oh, iya." singkat dan efisien. Tapi kemudian aku dengar suara bising mesin melatari percakapan kami. Pantes dia budeg.

"Saya putrinya Pak Adhyaksa-"

"Oh, Tari-" ia menyebut namaku, luar biasa, "ada perlu apa?" nadanya biasa saja.

"Saya mau minta maaf-" kemudian aku diam karena mendengar ia bicara dengan orang lain ditambah riuh deru mesin.

Diary Of Letter BTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang