Bougenville

8K 838 36
                                    

Bagian 3:

Tidak seperti liburan semester lalu yang super membingungkan, semester genap tahun ini aku tidak pulang ke rumah lagi. Walau aku terkadang merindukan taman Bougenville yang ajaib itu, entah kejutan apa lagi yang akan aku dapatkan setelah kejadian Rahardi bersaudara jika pergi ke sana.

Nggak, aku belum siap dapat kejutan. Mending juga menenangkan diri di sini. Di sini juga ada Bougenville walau dalam pot sih, tapi nggak apa-apa, lumayan buat obat rindu.

Aku duduk di sebuah kafe sambil menikmati coklat panas dan sejenis kue ga jelas rasa rempah. Aku memandangi orang-orang yang berlalu lalang ada yang berjalan kaki ada yang menggunakan sepeda. Rasanya adem banget gak ada asap kendaraan.

Ini Delft, aku nekat datang ke sini tanpa pamit. Aku berjudi dengan dewi fortuna apakah nasib baik akan memihakku kali ini. Mungkin nggak juga, dewi fortuna seolah minggat dari hidupku sejak kejadian sama Rio.

Aduh kalau diingat-ingat malam itu...

Sampai detik ini aku masih bisa merasakan rengkuhan Rio. Kala ia menciumku, berada di dalamku. Setiap malam aku masih merasakan semuanya dengan jelas seperti nyata.

Ya, Tuhan, Rio...kita kok bisa sebodoh itu ya? Teledor banget.

"Kinara... Sudah siap? Kita nggak boleh telat lho, ini kan acaranya Rio." teriak Mama dari luar kamar.

"Aduh, Mama, Kinara ga enak badan. Ga ikut aja, gimana?"

"Harus ikut, Nak. Rio lamaran cuma sekali ini lho. Tante Sessa juga kepingin kamu hadir, kangen katanya."

Ampun deh... Gimana aku harus bentuk ini muka? Rio bakal melamar ceweknya sementara aku di sana dengan pikiran kacau masih membayangkan kejadian waktu itu. Bisa buyar acara orang kalau aku sampai lepas kendali.

"Mama-" kataku manja sambil berdiri di ambang pintu kamar Mama, "aku demam nih, please, aku di rumah aja, ya."

"Ke dokter dulu deh kalau gitu."

"Mama kejam banget sih, demam kan cuma alasan biar ga ikut."

"Tapi Mama ga terima alasan apapun saat ini, kotak pesannya penuh."

Akhirnya aku menggunakan setelan kebaya simpel yang mirip dengan punya Mama sedangkan Papa menggunakan hem batik lengan panjang.

Kata Mama, walau lamarannya berlangsung di meeting room sebuah restoran tapi mereka tetap menggunakan pakaian resmi. Aku selalu merasa cantik dalam balutan kebaya ini, warnanya cocok dengan kulitku, dan ukurannya nggak buat aku terlihat kurus. Kata Mama aku agak seksi.

Tapi percuma, toh malam ini bukan milikku. Malam ini milik Rio dan ceweknya. Aku? Penonton yang setia. Andai saja Mama tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara aku dan Rio kemarin, pasti beliau mati-matian ngunci aku di kamar. Pokoknya aku nggak boleh sedih.

Tapi faktanya Mama nggak tahu, dan dia maksa aku setengah mampus buat menyaksikan cowok yang buat perasaanku porak poranda seperti tsunami Aceh melamar ceweknya yang cantik dan super beruntung, kecuali soal Rio selingkuh sama aku kemarin.

Saat baru saja tiba di depan restoran, aku bertemu Bang Reza dengan seorang cewek yang menurutku tidak terlalu cantik, setidaknya masih cantikan ceweknya Rio. Mereka berdua memang berjaga di depan restoran untuk mengarahkan tamu yang datang ke meeting room.

"Kinara, seneng banget bisa lihat kamu hari ini." katanya.

"Iya, Bang. Demi Rio sih." aku berusaha melawak tapi gagal. Aku menoleh pada si cewek yang sedang terpesona pada Reza.

Diary Of Letter BTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang