Privat - Special Raya

3.5K 536 47
                                    

"Minal Aidin Wal Faidzin!" ujar salah seorang wanita, seharusnya dia ipar seseorang yang hadir di acara keluarga kali ini, "maaf lahir batin ya, Ji. Mana babynya?"

"Ah, saya Dana. Yang istrinya baru melahirkan-" ia menuding pada kembarannya yang duduk di sisi Tasya, "Aji."

"Aduh! Maaf, keliru." wanita itu tertawa canggung, terlanjur salah, ia pun berbasa - basi pada Nandana, "mana calonnya? Kembarannya udah punya baby lho."

Dana sudah tak mampu mengulas senyum. Ia sudah lelah. Setengah hari berada di rumah ayahnya saat Idul Fitri yang bertepatan dengan perayaan kelahiran keponakannya buat Dana tertekan oleh pertanyaan: mana calonnya? Kapan nikah? Nggak pengen seperti Aji? Bahkan ucapan selamat salah alamat pun buat Dana muak.

Ia mengambil sekaleng soda, berjalan diam - diam melewati kebahagiaan yang terpancar di wajah pasangan Aji dan Tasya. Dengan suasana hati yang bertolak belakang membuat ia dan kembarannya sama sekali tidak mirip.

Duduk sendiri di balkon lantai atas, Dana teringat pada undangan pernikahan berwarna perak yang berada di atas meja kantornya dan tak sekalipun ia sentuh--apalagi dibaca.

"Bersembunyi dari basa - basi ya, Nan?"

Dana memejamkan mata mendengar suara ayahnya. Ia sangat ingin pergi ketika pria tua itu justru duduk menjajarinya. Sekarang ia harus bertahan mendengarkan ceramah beberapa menit ke depan.

"Sabar aja, Nan. Risiko pria lajang. Mereka semua berlomba - lomba ingin carikan pasangan untuk kamu, terlebih setelah perjodohan Aji berhasil."

"Dana nggak suka diperlakukan seperti ayam, Pa."

"Mereka hanya peduli." balas ayahnya dengan bijak. "Ngomong - ngomong mantan mahasiswi Papa yang payah itu mau nikah dua minggu lagi." ia melirik pada wajah Dana yang terlihat tidak peduli, "Papa lihat undangannya waktu main ke rumah Aji."

"..."

Melihat putranya yang seakan mati rasa, dosen Haris pun menghela napas pasrah.

"Ayun itu... memang tidak setara dengan kamu. Kalian tidak cocok. Levelnya berbeda. Calon suami Ayun pasti seorang laki - laki yang sama konyolnya dengan mahasiswi papa itu."

"..." nggak. Dara nggak konyol.

"Kamu masih ingat kan, 'orang pintar jadinya bakal dengan orang pintar, orang kaya dengan orang kaya.' Dan kamu-" ia melirik pada putranya, "akan menemukan wanita ambisius lain. Ayun sama sekali tidak punya ambisi. Di kampus saja cita - citanya cuma pengen lulus, bukan pengen pinter. Kalau nanti punya anak pasti-"

Dana menyela bukan dengan kata - kata melainkan dengan tindakan. Ia berdiri. "Pa," ia meraih dan mencium punggung tangan ayahnya, "maafin Dana lahir batin karena sudah banyak salah. Sepertinya Dana pulang duluan."

Dosen Haris hanya diam ketika putranya berjalan masuk ke dalam rumah, di belakang ia mendengar salah seorang kerabat memberinya ucapan selamat salah alamat atas kelahiran anak Aji.

"Makasih!" balas Dana tak sabar, "nanti kalau saya punya baby beneran, jangan lupa ucapin selamat ke Aji ya, biar impas."

"Oh, ini Nanda?"

Dana memacu mobilnya, tidak pelan, tidak juga kencang. Kedai sedang ramai - ramainya, ia tahu seharusnya ia memantau tapi Dana justru merasa tidak tahu harus pergi ke mana.

Dara memandang ke sekeliling halaman rumahnya yang rindang dipenuhi pepohonan. Hari ini terlalu banyak tamu, terlalu banyak basa - basi dan senyum, juga terlalu banyak ucapan prematur atas rencana pernikahannya. Sekarang ia lelah.

Ia teringat lebaran tahun lalu, setelah beramah - tamah seharian ia berkemas karena keesokan harinya harus kembali untuk bekerja di kedai. Tahun ini ia hanya menanti dirinya diresmikan oleh calon suami sebentar lagi.

Diary Of Letter BTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang