On The Train

9.4K 833 51
                                    

Memangnya masih jaman ya jodoh-jodohin anak sendiri dengan anak dari sahabat lama?

Katanya, pilihan orang tua adalah yang terbaik. Gimana ceritanya? Aku yang menikah, hubungan aku yang jalanin, terus yang menilai baik nggaknya justru orang lain? Ya... Orang tua kan bisa disebut orang lain juga, di rumah tangga aku kelak mereka tidak berperan banyak, kecuali kalau aku mau rumah tanggaku ancur berantakan baru deh aku ijinkan para orang tua ikut campur.

Aku sedang menikmati gerakan perlahan kereta yang mengayun lembut, pasti aku sudah ngantuk kalau saja hati tidak panas, pikiran tidak mumet. Pemandangan sawah di kiri dan kanan juga jadi mubazir karena yang aku pikirkan adalah bagaimana caranya aku bernegosiasi ulang dengan Bapak dan Ibuk supaya membatalkan perjodohan konyol mereka.

Kalau mau temu kangen ya silahkan saja, tapi kalau temu kangennya lantas memutuskan masa depan orang lain secara sepihak, please, jangan. Diam-diam aku juga punya rencana untuk masa depanku, mungkin si cowok yang ada di sana juga berontak frontal, sapa tahu dia sudah hamilin pacarnya dan sekarang mau menikah? Sapa tahu.

Oh, ya, aku sedang di atas kereta. Aku baru saja dari rumah eyang dalam rangka kembali dari pelarian. Eyang itu selalu bisa menenangkan aku, segala curhatku didengarkan dan aku jarang banget disalahkan. Tapi akhirnya aku tahu kalau eyang itu muka dua, di depan aku nenangin aku di depan Bapak dan Ibuk juga melakukan hal yang sama. Kan, eyang jadi favorit semua umat.

Sudah tiga hari aku kabur dari rumah sejak Ibuk umumin ke aku kalau mau ada pertemuan keluarga dengan sahabatnya. Aku mau dikenalin sama anaknya mereka sekalian tunangan, kan ekspres banget. Nanti dikiranya aku lagi hamil anak orang trus nyari tumbal buat tanggung jawab.

Kenapa ya Bapak dan Ibuk udah ketir-ketir lihat anaknya di usia dua puluh delapan tapi belum juga nikah? Mereka lebih heboh lagi sewaktu ada anak tetangga yang menikah di usia dua puluh limaan, aku dianggap hampir expired.

Aku ini fokus jalankan bisnis butik online dan lagi subur-suburnya. Pacar aja aku putusin karena minta waktu melulu. Sekedar informasi, hubunganku dengan si pacar ini nggak disetujuin orang tua karena kita terpaut sepuluh tahun. Ya, sudahlah ketika semesta tidak mendukung, kita bubar jalan.

Bangku di hadapanku masih kosong saat itu, jadi enak aja nggak awkward sama orang, biasanya kan kudu basa basi enam paragraf baru kita dibiarkan sendiri. Ketika kereta berhenti di stasiun besar, beberapa penumpang ada yang turun dan kulihat cuma sedikit yang naik.

Ah, sedikit ini. Masa iya takdir tega nempatin mereka di depan aku. Paling juga di gerbong lain.

Aku masih memalingkan wajahku ke luar jendela melihat stasiun mulai sepi dan kereta siap berangkat.

"Permisi, 14A?"

Kepalaku menoleh saat mendengar suara itu. Dari sekian banyak bangku kosong, pria itu duduk berhadapan denganku dan aku sedang menduduki tempatnya.

"Oh, iya, Mas. Silahkan, saya 15A, sih." kataku kikuk.
"Nggak apa-apa, saya saja yang dibangku kamu. Kayaknya kamu juga sudah pewe gitu." aku hanya tersenyum ketika ia meletakan ranselnya di atas dan duduk di hadapanku.

Aduh, gimana ya? Mau ngusir juga aku nggak punya hak, mau pindah juga bener kata orang itu, aku sudah nyaman di tempat ini. Ya, sudahlah.

Kami diam, tidak bicara lagi. Ia sibuk dengan ponselnya sedangkan aku berpura-pura menikmati pemandangan luar ketika kereta mulai melaju.

Kami diam. Masih diam. Dan tetap diam.

Kok jadi aku yang merasa canggung gini ya? Mana kaki nih orang panjang banget lagi, lutut dia kadang membentur lututku, rasanya gimana gitu. Iya kalau dia cewek, ibu-ibu, atau kakek renta gitu paling juga gak ngefek sama aku yang jomblo ini. Tapi dia tuh pria matang yang sepertinya baru pulang kerja, ID yang menunjukan lambang perusahaan swasta masih ia kenakan dan aku jadi tahu posisi dia Site Engineer. Pamer apa gimana?

Diary Of Letter BTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang