Prilly menggunakan jatah makan siangnya untuk jam istirahat pertama. Beberapa menit yang lalu saat ia mengantri piring makanan ia tiba-tiba mengenang sesuatu tentang situasi yang sama. Awal mula bagaimana ia bisa terlibat dengan Ali. Tapi beruntungnya, Prilly tidak melihat eksistensi laki-laki itu sejak jam pelajaran pertama.
Prilly menghela napas dan menyisir pandang ke seluruh meja yang berada di kantin. Semuanya penuh. Mereka membentuk kubu-kubu kecil dan tak jarang ada beberapa meja tanpa kursi karena kursi yang seharusnya ada di meja itu diambil agar bisa duduk dengan teman-teman mereka dalam satu meja.
Prilly menemukan sebuah meja untuk empat orang yang bangkunya telah lenyap dua. Prilly tidak ambil pusing dan langsung melangkahkan kakinya ke sana, lagian ia tidak punya teman istirahat selama ia bersekolah di sekolah ini, jadi ini bukan masalah. Perempuan itu hanya ingin mengisi perutnya dengan damai.
"Lo tau nggak, Rian anak kelas sebelas yang suka ngajakin Ali berantem itu?"
"Tau, kenapa?"
"Katanya hari ini di rumah sakit,"
"Sakit apa?"
"Bukan sakit, digebukin. Katanya dikeroyok gitu, gue nggak ngerti deh."
"Kok bisa? Sama siapa?"
"Sama anak-anaknya Ali, lah. Siapa lagi? Rian kan cuma punya masalah sama mereka."
"Nggak aneh, sih. Lagian dari pertama kali MOS anaknya songong, sih. Cari gara-gara aja udah tau Ali gitu orangnya."
Prilly berusaha untuk tidak mendengar, meskipun sebenarnya percuma karena suara dua orang perempuan yang duduk di sebelahnya terlalu keras untuk dibilang bisik-bisik. Dasar perempuan.
"Emang orang-orang tau kalo yang bikin Rian babak belur itu Ali?"
"Belom, sih. Makanya ini lagi dicari siapa pelakunya, soalnya Rian sampe sekarang belum bisa ngomong."
"Sampe nggak bisa ngomong? Asli?"
"Iya. Parah, kan?"
"Kok lo tau yang ngeroyok Rian itu Ali, sih?"
"Nebak aja, lagian siapa lagi? Pasti dia, kan? Oh terus, katanya nih, orang tuanya Rian lapor polisi gitu. Sekarang kasusnya lagi di urus sama sekolah. Ali bisa-bisa dipenjara kalau sampe kena kasus kekerasan."
"Ah, serius?"
Gerakan sendok Prilly berhenti, ia menolehkan kepala sejenak untuk memastikan apakah ia mengenal dua perempuan tukang gosip ini. Ternyata tidak, jadi Prilly segera memalingkan wajahnya. Ia penasaran, apakah Rian adalah laki-laki yang kemarin dikeroyok di gudang?
"Tapi gue pikir percuma, sih ya."
"Kenapa?"
"Tau, lah. Bokapnya Ali, kan main duit. Makanya Ali sekarang nge-bossy banget."
"Alah, gitu-gitu juga lo suka, kan?!"
"Ya lo pikir, cewek mana yang nggak ketar-ketir liat cowok yang tiap pagi bikin perempuan melting saking seksinya?"
Perbincangan dua perempuan itu juga berhenti bersamaan dengan sepiring nasi yang di letakkan tepat di depan Prilly. Perempuan itu mengangkat wajahnya dan menatap Ali yang kini sudah berdiri di depan mejanya. Prilly diam, ia hanya mengamati wajah Ali yang memiliki luka lebam di sekitar tulang pipi.
Tanpa meminta persetujuan, Ali memiringkan kepalanya dengan sebelah alis terangkat, ia tersenyum sebelum akhirnya menarik kursi untuk duduk. "Selamat makan—"
"Nggak ada tempat duduk lain apa?" sela Prilly cepat.
Ali tersenyum miring, ia menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri seolah kembali memeriksa penjuru kantin yang sudah penuh. "See? Apa lo nemu kursi kosong lain di sini?"
![](https://img.wattpad.com/cover/137060738-288-k736190.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Tsundere
FanfictionSemua orang tahu Ali. Prilly juga tahu Ali. Hanya sekedar tahu, tapi tidak saling mengenal. Namun Ali tidak pernah tahu, bahwa Prilly adalah salah satu perempuan yang berada di sekolah yang sama dengannya. Mereka tidak berencana terlibat satu sama l...