Prilly meletakkan secangkir kopi hitam di atas meja dengan asap yang masih mengepul. Wanita itu hanya melirik Prilly dan kembali menghisap ujung tembakau lalu menghembuskan asap yang lebih tebal dari hidung dan mulutnya. Prilly tidak banyak bicara, ia kemudian berjalan untuk mengambil sepatunya yang berada pada rak di bawah tangga.
"Uang kamu masih ada, kan?" suara wanita itu membuat Prilly berhenti bergerak, ia menolehkan kepalanya kepada Ratna-ibu kandungnya yang kini sedang duduk sambil merokok dengan dua kakinya yang terangkat ke atas meja.
"Kemarin abis buat beli buku, tinggal sisa buat hari ini doang." jawab Prilly, ia kemudian duduk di lantai untuk memakai sepatu.
Mendengar itu, Ratna langsung mengeluarkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan yang ada di saku celana pendek yang ia kenakan. Wanita itu kemudian melemparnya ke punggung Prilly karena terlalu malas untuk berjalan menghampiri anak tunggalnya itu. "Tuh, buat tiga hari."
Prilly diam sebentar, ia selesai mengikat tali sepatunya. Dua detik kemudian ia baru bergerak untuk mengumpulkan uang-uang yang tercecer di lantai dan memasukkannya ke dalam saku seragam. "Aku berangkat,"
"Hm," jawab Ratna sekenanya. "Jangan lupa tutup pintu gerbang!"
Prilly mengangguk, ia mengeratkan sweater tipis yang melekat di tubuhnya. Udara pukul enam pagi masih terasa dingin, belum lagi tadi malam hujan mengguyur langit Jakarta dengan cukup deras sehingga membuat genangan air di sekitar area gang sempit tempat Prilly bermukim.
Prilly sudah pindah rumah sebanyak lebih dari tiga kali, alasannya bermacam-macam dan Prilly tidak ingin tahu karena itu urusan Ratna. Wanita itu juga bukan tipikal yang suka berbaur dengan tetangga, hingga Prilly tidak banyak mengenal banyak orang di sekitar rumahnya. Mereka hanya tinggal berdua, karena Prilly tidak pernah tahu dimana Ayahnya sekarang berada.
Jarum pendek berada diantara angka enam dan tujuh ketika Prilly turun dari angkot, ia harus berjalan sekitar seratus meter lagi untuk sampai ke gedung sekolahnya yang berada di area komplek perumahan elit. Kebanyakan dari mereka ke sekolah menggunakan kendaraan pribadi atau angkutan online. Tapi masih ada beberapa siswa yang juga berangkat dengan kendaraan umum, meski hanya sedikit.
Scratt!
"Woy! Sinting ya?!" Prilly memekik ketika sebuah mobil civic putih melintas dengan kecepatan tinggi dan berhasil membuat roknya terkena cipratan dari genangan air berlumpur di sisi jalan. Mobil itu berhenti dua meter di depan dan Prilly masih mengamatinya dengan tatapan tajam sampai pemilik mobil itu menurunkan kaca mobilnya.
"Good morning, bitch!" sapa Ali, lalu menyeringai sinis.
Seketika tangan Prilly mengepal hingga buku-buku jarinya memutih, ia emosi tapi Prilly tidak ingin berteriak dan membuang energinya sia-sia. Perempuan itu pada akhirnya hanya diam hingga Ali tertawa puas dan kembali menaikkan kaca mobilnya.
Saat mobil itu perlahan mulai menjauh, Prilly menendang kakinya ke udara lalu berteriak, "AWAS YA LO SETAAANNN!!"
***
Pelajaran pertama hari ini adalah Sosiologi, tapi tidak ada guru yang masuk ke kelas sehingga kelas menjadi tidak kondusif. Beberapa ada yang bergerombol membentuk kubu untuk bergosip, ada juga yang sibuk bermain game online di ponsel masing-masing, dan kursi-kursi kosong yang tersisa ditinggal penghuninya ke kantin atau mungkin tidur di UKS.
Sementara Prilly adalah tipe murid yang asik sendiri. Perempuan itu menyumpal telinga dengan earphone dan menyetel musik dengan volume sedang. Dengan dua lengan terlipat, Prilly tertidur selama dua puluh menit pertama sampai seseorang sengaja menggebrak mejanya dua kali hingga perempuan itu langsung terlonjak kaget dan bangun seketika.
![](https://img.wattpad.com/cover/137060738-288-k736190.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Tsundere
FanfictionSemua orang tahu Ali. Prilly juga tahu Ali. Hanya sekedar tahu, tapi tidak saling mengenal. Namun Ali tidak pernah tahu, bahwa Prilly adalah salah satu perempuan yang berada di sekolah yang sama dengannya. Mereka tidak berencana terlibat satu sama l...