Author POV
"Gak, gak mungkin aku suka sama dia, dia gebetan sahabat lo, Hana. " ucap Hana frustasi."Pertunanganku terhitung tiga minggu lagi, aku harus segera jujur sama Naya, aku gak mau nyakitin dia." tekad Hana.
Besoknya di sekolah Hana sudah memutuskan untuk memberitahu Naya. Hana sedang menunggu Naya di kelas.
Bukan Hana yang datang melainkan Rian. Rian sudah menduga Hana akan kabur dari jemputannya pagi ini.
"Sial, mau menghindar malah kak Rian kesini. Dia gak tau apa aku lagi berusaha mewaraskan diri." ucap Hana dalam hati.
Ya, walaupun sebenarnya Hana sadar dia dari dulu sudah gila dan absurd.
"Kenapa lo kabur? Gue lihat lo kemarin." kata Rian memulai mengintrogasi.
Rian sempat merenung di rumahnya. Dia juga sempat menghubungi Hana lewat chat tetapi pesannya hanya dibaca saja. Tidak mungkin Hana marah padanya kan? Seharusnya dia yang marah. Lebih tidak mungkin lagikan kalau Hana cemburu?
"Kak, semua ini rumit. Bisa gak kalau kita batal bertunangan. Aku yakin kakak peka kalau sahabat aku menyukai kakak." ucap Hana tegas.
Jangan heran mengapa Hana bisa tegas. Dia tidak ingin menyakiti sahabatnya. Sahabatnya sudah sering terluka. Dia sering lihat Naya menangis seorang diri di kamar mandi. Dengan alasan itu, dia bertekad berusaha membatalkannya. Walaupun kemungkinan berhasil kecil.
"Gue gak nyangka lo akhirnya ngungkapin alasan lo. Walaupun udah gue tebak." ucap Rian tenang walaupun sedikit terkejut.
Rian mengetahui perihal Naya. Naya memang menyukainya. Tetapi Hana hanya sebatas mengetahui Naya menyukainya. Nyatanya persahabatan mereka tidak sedekat yang Hana pikirkan.
"Sekarang kakak tahu kan, Hana mohon kak, batalkan segera pertunangannya. Hana gak ma-" ucapan Hana terpotong akibat dobrakan pintu.
Tebak siapa yang membuka pintu?
Ya, orang yang mereka perdebatkan. Naya."Apa... Siapa yang bertunangan?" tanya Naya sambil melangkah menuju bangku di samping Hana.
Naya bingung mengapa ada kak Rian disini. Apa yang kak Rian dan Hana bicarakan? Kenapa mereka terlihat dekat? Banyak pertanyaan yang ada di dalam otak Naya sekarang.
"Hehehe, hai Naya kemaren aku gak lihat kamu. Aku rindu sama kamu, Nay." ucap Hana sambil memeluk Naya.
Kemana semua tekad yang sudah dikumpulkan Hana tadi? Padahal ini waktu yang tepat. Hana ingin menangis sekarang.
Rian bergegas meninggalkan TKP. Dia ingin memastikan sesuatu.
"Jujur sama aku, Han. Gak mungkin kak Rian pinjam pel lagi kan? Kita sahabat kan?" tegas Naya.
"Aku belum siap cerita, Nay. Nanti kalau sudah pasti aku ceritain. Gapapa kan?" mohon Hana sambil memperlihatkan matanya yang berkaca-kaca.
"Itu lebih baik daripada kamu berbohong. Udah, lupain. Kamu udah belajar buat ujian nanti kan? Aku gak mau ya nilai kamu telur bulat lagi." kata Naya mengalihkan pembicaraan.
"Apa?! Ujian? Jangan bilang Ujian Kimia hari ini?" tanya Hana sambil meneteskan air mata.
Astaga, karena terlalu galau memikirkan kejadian kemarin dia lupa belajar untuk ujian. Ujian Kimia yang lalu Hana memang mendapatkan nilai telur bulat. Bukan, bukan karena dia tidak belajar. Tetapi karena dia belajar sampai larut, dia terlambat ke sekolah. Dia tidak diizinkan masuk ke ruangan kelas bersama kedua temannya yang juga telat.
Selamat! Dia mendapatkan nilainya telur bulat waktu itu dan akan mendapatkan untuk kedua kalinya sepertinya.
"Astaga, Han. Mending kamu pelajari apa yang bisa kamu pelajari. Masih ada waktu tiga puluh menit lagi. Ayo, cepat buka bukumu." tegas Naya sambil membuka tas Hana.
Hana segera membuka tasnya dan menuruti perkataan Naya. Dia tidak boleh mendapatkan nilai dibawah KKM atau mamanya akan menyalahkan idol Korea yang ia sukai.
"Cepat atau lambat kebenaran akan terungkap. Semua keputusan berada di tangan kita. Kita akan menuai apa yang kita tabur."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Crazy Destiny
Teen Fiction"Bagaimana mungkin gebetan sahabatku menjadi calon suamiku?!!" ~ Gerhana Anastasya "Aku tak tau, apakah ini kebetulan atau sebuah takdir. Jika ini takdir, berarti ini sungguh gila ..... atau mungkin menyenangkan?" ~ Rian Adimas *********************...