1

56 36 44
                                    

Jika kebanyakan orang menilai emas, berlian ataupun permata sebagai barang kepunyaan yang berharga berbeda dengan Riska. Baginya sepeda adalah satu-satunya barang berharga yang dia punya di rumah. Dengan sepeda ia bisa bersekolah, dengan sepeda ia bisa mengantar adiknya sekolah, dengan sepeda ia bisa membelikan obat ibunya dan yang terpenting dengan sepeda ia bisa bekerja. Walaupun hanya sepeda butut Riska tetap bahagia karena sepeda itu hasil jerih payah bapaknya.

Buktinya sekarang dengan sepeda itu ia bisa sampai disekolah dengan selamat. Bisa dihitung dengan jari berapa siswa yang masih menggunakan sepeda, mungkin kata orang dibilang ndeso karena sekarang orang pasti berpikir sekolah dengan sepeda motor lebih keren daripada menggunakan sepeda ontel.

Sekolah masih sepi, seperti biasanya. Riska selalu berangkat sebelum siswa lain berangkat, selalu tepat pukul enam, ia gadis yang disiplin. Dengan keadaan sekolah yang masih sepi ia dapat menghirup udara taman depan sekolah sebanyak-banyaknya tanpa ada pengganggu atau orang-orang usil yang biasa mengerjainya.

"Riska!" Teriak gadis berambut ikal, Rere namanya.

"Apa?" Riska yang selesai memarkirkan sepedanya berjalan mendekati teman satu bangkunya itu.

"Bareng," kata Rere. Mereka kemudian berjalan beriringan.

Rere adalah satu-satunya teman atau bisa disebut satu-satunya sahabat Riska, Rere mempunyai sifat ramah dan murah senyum berbeda dengan Riska yang pendiam. Rere juga bukan berasal dari keluarga berada tapi juga bukan berasal dari kalangan bawah seperti Riska, bapaknya adalah pedagang sayur keliling sementara ibunya seorang penjahit sederhana.

"Tau nggak aku kepilih jadi ketua eskul tari!" kata Rere dengan semangat.

Kemarin adalah pemilihan eskul seni, lebih tepatnya tari tradisional. Sudah setahun belakangan eskul itu sudah tidak diminati, mungkin karena tari modern lebih banyak disukai anak jaman sekarang sehingga mereka lupa untuk melestarikan budaya daerahnya sendiri. Seharusnya juga kemarin Riska memberi selamat pada Rere sehingga Riska tidak merasa menjadi sahabat yang buruk saat ini.

"Benarkah? Bagus," Riska tersenyum tulus.

"Kemarin kamu nggak berangkat sih, kalau kamu berangkat aku pasti udah nraktir kamu cilok pak Joy," kata Rere dengan wajah kesal yang dibuat-buat.

"Yaudah nanti aja nraktirnya mumpung aku ada disini," Riska berjalan beriringan dengan Rere.

"Kok mumpung sih?" Rere menghentikan langkahnya lalu memegang kedua bahu Riska agar menghadap ke arahnya.

"Bolos?" Ucap Rere dengan pandangan yang sulit diartikan, antara sedih, kecewa dan terkejut. Riska hanya menunduk. Rere satu-satunya teman Riska di SMA Citra Mulia ini, Rere satu-satunya teman yang tulus tanpa memandang status, Rere satu-satunya sahabat Riska, satu-satunya orang yang mengerti Riska luar dalam lika-liku kehidupan Riska. Bapak Riska, Pak Sardi bersahabat dengan bapak Rere, Pak Joko dari kecil hingga memiliki anak remaja seperti sekarang. Riska sendiri sudah menganggap Rere seperti saudaranya begitupun sebaliknya.

"Uang Re, aku butuh uang untuk pengobatan ibuku," Riska masih memandang ke arah bawah.

"Maaf aku menjadi sahabat yang tak berguna,"

"Bu-bukan kamu Re, ini semua tentang aku dan hidupku, bukan tentangmu." Riska memandang Rere dengan pandangan bersalah.

"Hanya dua kali okay?" Rere memegang kedua bahu Riska menyuruh Riska untuk menyanggupi permintaannya. Disisi lain Riska berat menyanggupi permintaan sahabatnya itu, ia tak akan berjanji jika tak bisa menepati. Riska kembali menunduk memandang sepatu usangnya.
Sementara Rere menghela napas panjang, tau jika Riska tidak akan menyanggupi permintaannya.

Merekapun berjalan ke kelas dengan suasana hati yang berbeda.

***

"Selesaikan lima soal ini siapa yang duluan selesai boleh keluar."

Setelah menerangkan Bu Musda atau yang akrab dipanggil Bu Mus memberi lima soal logaritma, yang setiap soalnya beranak. Bagi anak kelas sebelas yang mempunyai kapasitas otak standar soal-soal logaritma adalah soal yang sulit, tapi berbeda dengan perempuan yang duduk paling depan dekat meja guru. Ya, dia Riska. Riska dengan telaten mengerjakan setiap soal. Ia beruntung dikaruniai otak cerdas sehingga ia cepat tanggap.

"Ris bagi jawabannya dong," melas Egy yang duduk tepat dibelakang Riska.

Brakk!

"Tenang!" suara gebrakan meja disusul suara menggelegar Bu Mus membuat suasana kelas hening seketika.

Bu Mus, guru bertubuh gempal itu dikenal sebagai guru tergalak kedua setelah Pak Dion. Suara besarnya itu pasti membuat siapapun merinding saat mendengarnya.

Rere melirik Riska yang dari tatapan matanya seolah berkata 'Udah selesai?'

Riska mengangguk. Baru limabelas menit lalu dan Riska sudah selesai. Rere sendiri kagum sekaligus bersyukur. Kagum dengan kemampuan otak Riska dan bersyukur karena Riska yang bukan dari orang berada, yang tidak mendapat nutrisi yang mencukupi bisa sepandai ini.

Bu Mus yang tadinya mengamati seluruh siswa-siswinya yang mengerjakan tatapannya langsung jatuh ke arah Riska, salah satu murid kesayangannya.

"Sudah selesai, Riska?" Tanyannya.

Riska mengangguk "Sudah bu", lalu berdiri untuk memberikan kertasnya pada Bu Mus. Bu Mus memeriksa satu persatu jawaban Riska, beberapa saat kemudian beliau tersenyum.

"Kamu boleh istirahat sekarang"

Riska berjalan ke arah pintu untuk keluar, disisi lain di barisan paling belakang terdapat gerombolan perempuan yang mengamatinya dengan sinis.

My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang