9

33 25 17
                                    

Riska POV


"Cepet susun ini!" Bu Jum menunjuk nasi kucing yang sudah dibungkus dengan daun pisang.

"Iya." aku mengelap tanganku yang basah setelah mencuci piring lalu berjalan ke arah meja kosong yang baru terisi beberapa gorengan.

Sudah empat hari ini aku bekerja di angkringan bu Jum. Sudah empat hari ini juga aku selalu pulang larut. Mungkin lama-lama aku akan terbiasa. Lagipula dibalik judesnya bu Jum beliau sangatlah jauh dari kata pelit, beliau selalu memberiku sayuran atau lauk sisa jika tidak ada pembeli yang membeli makanan di angkringan. Jika kebanyakan angkringan akan menggaji seminggu sekali, bu jum menggajiku setiap hari, tentunya dengan gaji yang telah disesuaikan. Entah ini nasib baik sedang berpihak padaku atau bagaimana. Bu Jum sendiri pernah berkata,

"Kalau duitnya numpuk-numpuk terus entar saya khilaf malah buat belanja, kamu nggak saya gaji deh."

Selagi masih halal aku tak malu bekerja disini. Aku tak malu apa yang akan teman-temanku katakan jika melihatku bekerja disini, karena selain untuk makan, mulut juga digunakan untuk membicarakan orang lain bukan? Mereka yang hanya bisa meminta tanpa berusaha sendiri tidak akan pernah tau bagaimana rasa susahnya kehidupan.

Aku tak tahu bagaimana kehidupan orang-orang kaya disana, mereka yang menghamburkan uang orang tua untuk hal-hal bobrok yang tak ada manfaatnya sama sekali, mereka yang tak memanfaatkan fasilitas dari orang tua mereka, seperti motor atau mobil mewah yang malah digunakan untuk balapan liar, mereka yang menghamburkan uang untuk mabuk-mabukan seakan uang-uang itu hanya tinggal memetik dari pohon. Apa aku terdengar iri? tidak, aku tak iri sama sekali. Aku tau jika Tuhan sudah menggariskan takdir yang tepat untukku. Aku juga tau jika roda kehidupan pasti akan terus berputar.

Tetapi di luar sana selain banyak orang yang suka menghamburkan uang banyak juga orang yang suka membagikan uang untuk sesuatu yang lebih berguna dan bermanfaat. Salah satunya, mereka yang membantu para anak-anak yatim piatu. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri ada orang yang memberi santunan di panti asuhan dekat desaku bahkan dari mereka ada yang mengangkat salah satu anak panti menjadi anak angkat mereka, atau seorang lansia yang tertatih-tatih jalannya memberikan infaq di masjid dengan uang tak seberapa dan masih banyak lainnya. Betapa mulianya orang-orang baik itu...

Saku celanaku bergetar. Kuambil HP dari sakuku, ada pesan masuk baru dari Rere.

Rere

Besok mampir ke rumahku dulu ya Ris, aku titip surat ijin.

Aku mempunyai handphone yang alhamdulillah masih bisa digunakan untuk googling. Walau bukan android dan masih dalam bentuk ketikan tapi terdapat aplikasi seperti facebook dan whatsapp yang tersedia langsung disana. Handphone ini adalah handphone bekas mbak Yusri yang diberikannya saat aku masih kelas tiga SMP dan masih awet sampai saat ini. Untuk sosial media sendiri aku memang hanya memiliki dua aplikasi itu. Jika tidak penting aku tidak terlalu sering membuka keduannya karena itu hanya akan menambah pengeluaran saja.

Sekarang ini banyak anak muda yang entah itu inisiatif mereka sendiri atau bagaimana mengunggah hal-hal yang menurutku kekanakkan di media sosial. Antara lucu, aneh dan sedikit menyebalkan mungkin. Aku jadi teringat dengan curahan hati Rere saat jam kosong waktu itu.

Flashback

"Lihat nih Ris gaya banget, status potonya lagi pake mukena captionnya jangan lupa kewajiban ya, idih sholat setahun dua kali aja sok-sok an ngingetin orang." Rere mulai berceloteh.

"Hm," aku menyahutnya dengan gumaman.

"Nih-nih! Ini juga potonya pake jilbab tapi poni keliatan, model marsha and the bear kali ya," Rere memaju-majukan layar HP nya ke depan wajahku.

"Idih chat panggilannya mami papi discreen jadiin status, papi jangan lupa makan papi lagi apa? Iya mami papi lagi main kelereng mami lagi apa? Mami lagi main bekel hahaha." Rere melakukan monolog sendiri dengan suara aneh dibuat-buatnya itu.

"Ini juga dinner berdua pegangan tangan.. idih duit masih punya orang tua kok alay gini ya,"
Rere terus-terusan me-scroll layar hp nya.

"Daripada sibuk ngatain orang, dosa mending kamu salin catetan dipapan itu Re." Ucapku kemudian.

"Ye.. kan sama-sama dosa, bedanya dosa mereka dilihat orang-orang sedangkan dosa aku cuma kamu yang ngeliat—eh Tuhan juga ding hehehe."

My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang