11

29 7 3
                                    

Riska POV


Aku tak mengenal banyak laki-laki, dalam satu kelas saja aku tidak terlalu akrab kepada para cowok, kecanggungan masih terasa walau kami sudah hampir dua tahun bersama dalam satu atap kelas. Bahkan jika bukan hal penting seperti tugas kelompok aku tak pernah bicara dengan mereka.

"Gimana ya Ris, mungkin ciwi-ciwi di sekolah ngerasa aneh karena kamu cuma deket sama satu cowok bernama Rendi, eh sekali deket dapet yang famous hahaha," kata Rere sambil mencomot pisang goreng buatanku.

"Orang-orang main ngejudge aja sih, padahal kamu sama kak Rendi cuma temenan," ucap Rere lagi.

"Menurutku gitu sih Ris, kamu cuma deket sama satu cowok dan pasti mereka pikir cowok itu istimewa." Rere merebahkan tubuhnya.

Aku menutup novel yang selesai kubaca. Kurebahkan tubuhku pada amben ruang tamu tepat disamping Rere. Mungkin Ayu satu dari sekian perempuan yang tidak menyukai kedekatanku dengan kak Rendi. Padahal aku dan kak Rendi hanya berteman. Jika dibilang dekat tidak terlalu dekat juga seperti persahabatku dengan Rere. Kedekatnku dengan kak Rendi hanya sebatas teman satu kampung yang setiap harinya bisa saja selalu bertemu karena harus melewati jalan yang sama, atau jika saat ada kegiatan di kampung kami pasti akan bertemu. Sekedar menyapa mungkin bagiku sudah biasa, toh, kami sudah hidup dan besar dikampung yang sama selama tujuhbelas tahun ini.

"Ayo, ke pasar," aku bangkit dari tidurku berjalan ke arah dua tundun pisang yang kusenderkan di dinding. Untuk apa memikirkan pendapat orang yang hanya akan membuat stres saja, lebih baik aku menjual pisang yang bisa menghasilkan uang.

Pagi ini aku memang sengaja memanggil Rere untuk membantuku menjual pisang. Biasanya aku mengajak Niana, tapi adikku itu sedang demam manamungkin aku tega memaksanya walau dia terus saja merengek mengatakan tidak apa-apa.

"Bentar, satu lagi," Rere kembali mencomot pisang goreng didepannya .

"Aku dibelakang, ambil sepeda." Kataku berlalu keluar rumah mengambil sepedaku.

Kulihat depan rumahku yang terhampar sawah luas. Bukan sawahku, sawah milik penduduk-penduduk kampung. Hari minggu ini banyak petani-petani bercaping sedang memanen padi dibantu anak-anak mereka, atau suara berisik traktor yang melaksanakan tugasnya untuk membajak sawah, beberapa anak juga sedang asyik bermain dengan kambing mereka di pinggir sawah yang ditumbuhi banyak rumput. Aku jadi teringat dulu saat simbah kakung masih ada, saat simbah mengajakku menggembala kambing-kambingnya. Dulu simbah mempunyai enam kambing yang sekarang kandangnya kugunakan sebagai tempat sepeda dan gudang. Bahkan beberapa hektar dari hamparan sawah itu pernah menjadi milik simbah.

Dulu...

Kukatakan kembali bahwa roda kehidupan pasti berputar. Sekarang untuk membeli seekor ayam saja sulit apalagi untuk seekor kambing yang mahal harganya.

Karena simbah putri yang menderita penyakit ginjal, beberapa kambing simbah kakung dijual untuk biaya cuci darah. Sesaat setelah ginjal simbah putri menderita penyakit diabetes, orang disini menyebutnya sakit gula. Bapak yang hanya tukang becak saat itu tidak bisa berbuat banyak. Beliau pontang-panting membawa simbah putri berobat kesana-kemari. Usia tua menjadi salah satu penyebab lemahnya fisik simbah putri sehingga beliau tak bisa diselamatkan. Itu bukan apa-apa, karena sebulan setelah simbah putri meninggal anak-anak simbah yang tinggal di kampung lain tiba-tiba datang untuk mengambil hak warisannya. Alhasil sawah dan sisa kambing yang simbah miliki ludes sudah untuk tujuh anaknya. Sesaat setelah itu simbah kakung menderita penyakit jantung yang menyebabkan beliau menyusul simbah putri.

Kuambil sepedaku dan menuntunnya menuju halaman rumah.

"Re, ayo!"

"Ini langsung ditali atau dimasukkin karung dulu?" Rere berteriak dari dalam rumah.

My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang