"Kamu kenapa Ris?" Rere melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Riska.
"Ris!" ucap Rere lagi sambil menepuk bahu Riska, keras. Sedari pulang dari perpustakaan tadi Riska seperti patung, melamun. Ditambah dengan keringat mengalir di dahinya.
"Aaaa!" Riska memekik kaget karena tepukan Rere.
Secara otomatis tangan Rere membekap mulut Riska. Rere yang sudah mengenal Riska dari kecil bingung, sahabatnya ini tak pernah berteriak kaget seperti ini.
Apa Riska kesurupan?
Rere menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya.
"Kamu nggak papa, kan, Ris?" ucap Rere lagi.
"Ta—tadi," ucap Riska terbata-bata.
"Tadi apa?" tanya Rere.
Riska menghela napas. Tak mungkin ia menceritakan peristiwa memalukan tadi, apalagi ini menyangkut nama baik sekolah juga.
"Emm.. buku ulangan kemarin udah dikembaliin belum?"
Rere melongo tak percaya, bertanya-tanya sendiri apakah memang benar sahabatnya ini habis kesurupan.
"Belum," Rere mengamati Riska dalam, seperti polisi saat akan menyidang seorang maling. Ia memincing-mincingkan matanya mengamati Riska dari atas sampai bawah.
"Apa?" tanya Riska.
"Fix aku musthi bacain kamu Ayat Kursi."
***
"Maaf ya aku nggak bisa bareng,"
"Iya-iya Re kamu udah bilang itu puluhan kali."
Hari ini Rere tak bisa menemani Riska pulang sekolah, katanya ada acara mendadak yang membahas tentang lomba pentas seni antar sekolah. Riska yang belum mengambil sepedanya di bengkel otomatis harus jalan kaki. Rumah Riska sebenarnya tidak terlalu jauh hanya dua kilo dari sekolah. Jalanan masih basah karena hujan deras pagi tadi. Walau sudah diaspal tapi masih juga ada lumpur, mungkin karena banyaknya truk yang sering berlalu lalang menjadi masalahnya. Bannya yang berlumpur serta barang angkutan yang dibawanya menjadi penyebab mulai rusaknya sedikit demi sedikit jalan beraspal yang menghubungkan desa ke desa itu. Untung saja Riska membawa plastik untuk melindungi sepatunya lalu dimasukkan ke dalam tas. Tak peduli apa yang akan orang katakan karena jikalau ada Rere, Rere pasti melakukannya juga.
Tuk!
"Aduh!" Riska memekik kecil, memegang kepalanya yang ia yakini terlempar sesuatu—kerikil?
Riska mengambil kerikil itu dari jalan, pasti orang usil.
Riska melihat kanan-kiri, tak ada orang. Walau jalan beraspal tapi tidak banyak orang yang menggunakan jalan ini karena memakan waktu yang lama karena harus melewati gang sempit di desa-desa, apalagi bagi mereka yang bertempat tinggal di kota mereka tentu saja lebih memilih jalan baru yang selesai dibangun satu bulan lalu.
Jika tidak ada orang siapa yang melempar? kemudian ia mendongak, kaget. Keringat kembali mengalir di pelipisnya.
Bagaimana mungkin laki-laki ini bisa ada disini?
seorang cowok yang beberapa jam lalu Riska temui bersama seorang cewek di UKS. Cowok yang bersandar diatas batang pohon mangga itu memandang tajam Riska.
Riska menengok kanan kiri, setelah yakin aman ia berlari sekencang-kencangnya menjauhi laki-laki tadi.
Demi apapun aku tak mau berurusan denga laki-laki itu, batin Riska.
Riska terus berlari sambil berdoa agar laki-laki itu tak mengejarnya. Setelah yakin sudah jauh Riska berhenti bersembunyi dibalik pohon mangga besar. Nafasnya ngos-ngosan, keringatnya bercucuran. Setelah sedikit membaik ia menengok ke belakang dari balik pohon mangga.
Hahhh... tak ada orang..
Riska bernapas lega. Kemudian ia berjalan tenang kembali. Semoga tak ada masalah besok, sungguh ia tak mau berurusan dengan laki-laki itu.
"Aaaa!" Riska berteriak kencang.
Kerah kemejanya ditarik kasar oleh seseorang dibelakangnya. Sekarang ia seperti kucing yang ditarik lehernya oleh sang majikan.
"Mau kemana ha?"
Deg
KAMU SEDANG MEMBACA
My Life
Teen FictionCerita ini murni buatan sendiri. Apabila ada kesamaan nama, tempat dan alamat mohon pemaklumannya. EYD berantakkan √ Banyak kata-kata bercelemotan √ Langsung ke prolog aja ^_^