10

29 20 26
                                    

Riska POV


Kursi disebelahku kosong, Rere tidak berangkat hari ini karena ada saudara dari ibunya yang meninggal di Palembang.

"Guys lagi nggak ada tamengnya tuh," ucap suara dibelakangku, aku tau itu suara Ayu. Dia bergerombol bersama teman-temannya menghampiriku.

"Hai, Riska," Ayu menyapa dengan suara yang dibuat-buat, sementara aku memasang wajah was-was.

"Nggak usah tegang gitu mukanya ntar makin jelek,"

Aku bergeming di tempat, tak mau membalas ucapan Ayu yang malah akan memperkeruh suasana.

"Lo patung ya!" Ayu menarik daguku kasar.

"Yu jangan disini dilihat banyak orang," ucap salah satu pengikut Ayu—Nurma sambil memegang bahu Ayu.

Ayu menepis tangan Nurma kasar.

"Inget urusan kita belum selesai," Ayu dan teman-temannya berlalu pergi.

Aku menghela napas panjang. Lagi-lagi Ayu, sebenarnya apa yang dia mau dariku. Setiap saat tatapan sinis selalu diberikannya padaku. Sejak dari kelas sepuluh malah.

"Ris PR matematika dong," Egy menyodorkan tangannya padaku seperti tukang palak. Wajah tanpa bebannya itu memandangku. Apa dia tak tahu suasana hatiku sedang kacau karena Ayu tadi, atau malah pura-pura tidak tahu?

"Ini," aku mengambil buku dari lokerku lalu menyerahkan padanya.

Egy tak kunjung mengambil buku yang kuulurkan, dia menatapku lama. Aku balas menatapnya, sekarang aku baru tau mengapa Egy diberi julukan 'si cina' karena mata Egy yang sangat minim—sipit maksudku. Wajah bersihnya juga menjadi alasan mengapa ia diberi julukan itu. Andai dia tak bersifat semaunya sendiri mungkin saja akan ada banyak orang yang menyukainya.

"Gy?"

Dia berdehem pelan, mengambil bukuku lalu kembali kemejanya.

***

Besok adalah jadwal piketku, sesuai ketetapan yang diberlakukan wali kelasku—pak Dedi bahwa setiap pulang sekolah kelas harus dibersihkan dengan jadwal piket hari besok. Maksudku jika piket hari rabu maka selasa setelah pulang sekolahnya kita harus piket, begitu.

Jadi disinilah aku meyapu kelas bersama dua cewek lainnya.  Mengapa hanya cewek? Karena para cowok tidak mempunyai kesadaran diri. Mereka tak pernah membantu bahkan untuk menaikkan meja saja banyak sekali alasannya. Menyapu dan mengepel kelas bukan level bagi kaum pria disini. Pernah suatu saat salah seorang siswi disini berkata,

"Hargai cewek yang piket dong jangan buang kulit kacang sembarangan,"

"Mau gue hargai berapa? Dua ribu tiga ribu?"

Dengan entengnya mereka menjawab seperti itu. Yang mereka tau hanyalah uang, mereka pikir dengan uang apapun bisa dilakukan apa.

"Lo sekop sampahnya Ris, gue sama Gita mau pulang." Lula berjalan melewatiku disusul Gita.

Sekarang tinggalah aku sendiri disini. Kulihat sekolah sudah sepi hanya pak  Sabar seorang yang sedang memotong tanaman agar terlihat rapi.

Setelah selesai dengan urusan piket aku berjalan ke kamar mandi untuk mencuci tangan karena keran disetiap kelas dimatikan setelah pulang sekolah.

Tiba-tiba..

"Jangan belagu lo!" Lenganku ditarik kasar oleh Ayu dia menyeretku kehalaman kecil belakang kamar mandi.

"Maksud kamu apa Yu?" Ayu menghempaskanku sehingga aku terjatuh dengan posisi terduduk di tanah.

"Munafik!" Dia berteriak dengan kedua tangannya yang mengepal. Aku berdiri dari jatuhku lalu mundur sedikit demi sedikit ke belakang hingga punggungku menyentuh dinding, sementara orang yang ada didepanku terus maju memojokku.

"Nggak usah sok polos! Lo kira gue nggak tau apa hubungan lo sama kak Rendi!" Ayu melotot, tangannya terangkat membentuk kepalan.

"Kamu salah paham Yu," suaraku bergetar, antara takut dan was-was jikalau Ayu berniat melukaiku.

"Gue benci lo!" Aku menutup mataku, bersiap menerima tamparan atau bahkan pukulan dari Ayu.

Satu detik

Dua detik

Tiga detik

Empat detik

Lima detik

Aku membuka mataku

"Cewek cabe sukanya main tonjok aja." Laki-laki itu memegang salah satu lengan Ayu, lebih tepatnya mencengkeram kuat-kuat sampai Ayu berteriak sambil berusaha melepaskan cekalan tangannya.

"Le—lepas Mahesa! argh!" Dia menyentak tangan ayu kasar.

Ayu gemetaran kemudian secepat kilat berlari ketakutan menjauh dari laki-laki itu.

Aku ingin menyapa, mengucapkan terimakasih. Dia berbalik. Mahesa. Aku mengamatinya dalam diam. Sekarang kami sama-sama bergeming ditempat. Lagi-lagi mata tajam itu menatapku.

Orang didepanku ini, dia orang yang sudah menolongku untuk kedua kalinya.

Flashback

"Bwaaa!"

Aku mengerem sepedaku mendadak. Entah darimana kedatangan cowok asing didepanku ini, apa mereka sengaja bersembunyi disemak-semak untuk mengerjaiku?

"Cewek kok keluyuran malem," kata cowok didepanku yang memakai banyak tindik di telinganya dan jangan lupakan tangannya yang bertato penuh itu. Sepedaku ditarik kasar untuk menepi.

"Mau jual diri ya?" ejek si pemakai bandana bergambar tengkorak sambil memegang erat keranjang sepedaku.

Mereka berdua menatapku dengan tatapan menjijikkan. Sementara gerombolan yang ada di rumah kosong itu menertawakanku.

"Wahh apa ini?" cowok bertindik itu mengambil obat dikeranjangku segera kuambil obat ibuku itu dari genggamannya.

"Minggir!" usirku sambil menggoyang-goyangkan sepedaku.

"Apa? nggak kedengeran," cowok bertindik itu memajukan badannya sejajar denganku.

Aku ketakutan, air mataku mengalir begitu saja. Aku melihat kesekeliling untuk meminta bantuan tapi yang ada hanya segerombolan cowok di rumah kosong itu. Mobil-mobil yang berseliweran tak akan membantuku, mereka mengemudikan kendaraan mereka dengan cepatnya seakan tak ada halangan.

"Mau teriak?" ucap si pemakai bandana dengan tatapan geli.

Terdengar tawa keras dari seberang, gerombolan cowok itu menertawakanku lagi. Kutatap mereka yang menertawakanku, entah keberanian dari mana karena biasanya aku hanya menunduk jika bertemu orang asing.

Pandanganku menangkap sosok yang berdiri dari duduknya, dia menginjak rokoknya lalu berjalan kearahku dengan wajah kaku khasnya itu. Apa aku begitu percaya diri? tak salah lagi dia memang berjalan kearahku.

"Minggir man." Katanya menepuk bahu cowok-cowok yang mengerjaiku tadi, si bandana menggeret salah satu lengan si pemakai tindik untuk menjauh. Mereka seperti sudah seperti mengenal dari lama. Setelah kedua cowok pengganggu itu pergi aku ingin segera mengayuh sepedaku menjauh pergi tapi dia menahan sepedaku. Dia menatapku tajam, alis tebalnya itu bertautan, badanku mendadak kaku, aku menelan ludah, gugup. Bau rokok menguar disekitarku. Dia bergeming ditempatnya tanpa ada niatan untuk pergi.

Tak lama kemudian dia melepaskan cekalan di sepedaku, aku segera tersadar lalu mengayuh sepedaku cepat menjauh sejauh-jauhnya.

"Apa?" Tanyanya

"Makasih" ucapku, pelan. Aku menunduk memandang sepatuku, tak mau melihatnya karena setiap kali aku memandangnya mata itu seolah mengintimidasiku.

Aku melirik sepatu didepanku yang diam ditempatnya tak ada niat untuk pergi.

"Gue nggak tau kenapa gue terus-terusan berurusan sama lo." Katanya, kemudian berlalu pergi.

My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang