6

38 26 14
                                    

Riska POV


Sakit kepala ibu kembali menyerang. Ibu dengan suara lirihnya berteriak kesakitan. Pasalnya, obat ibu sudah habis dan hanya tersisa satu pil saja padahal butuh dua pil untuk setiap harinya. Aku menunggu Niana pulang karena tak mungkin aku membeli obat tanpa ada yang menjaga ibu. Biasanya bibi Han yang akan menjaga ibu disaat aku membeli obat tapi sekarang bibi Han sedang menengok anaknya yang sedang sakit di kota.

"Ss—sakit," lirih ibu dengan mata terpejam.

"Iya bu, sebentar ya nunggu Niana pulang dulu." Kataku mencoba menenangkan. Niana sendiri tadi pamit padaku katanya ada tugas kelompok yang harus dikumpulkan besok juga.

"Assalamualaikum.." Niana datang lalu membuka pintu kamar dia sedikit kaget karena ibu berteriak kesakitan.

"Waalaikumsallam.." balasku.

"Dek kamu jaga ibu ya, kakak mau beli obat dulu." Kataku kemudian berlalu tergesa mengambil sepeda di belakang rumah.

Aku bisa memakan setengah sampai satu jam untuk sampai di apotek, sebenarnya ada apotek diseberang desaku tapi setiap kali aku kesana obat untuk penyakit ibu tidak pernah ada. Aku selalu melewati jalan besar baru untuk pergi ke apotek tujuanku karena tak mungkin aku melewati jalan kecil yang menghubungkan satu desa ke desa lainnya, itu akan memakan waktu yang lama.

Sebelumnya aku tak pernah membeli obat sepetang ini. Biasanya aku membeli obat setelah pulang sekolah yang mungkin bisa dibilang masih terang karena mentari belum tenggelam. Aku benar-benar ceroboh karena tidak mengecek ketersediaan obat ibu tadi pagi. Setelah sampai pada tempat tujuanku kuparkirkan sepedaku pada tempatnya. Tentang sepeda, ini hari kedua aku memakainya. Aku baru mengambilnya dua minggu kemudian.

"Mbak obat ini," aku menyerahkan bungkus obat yang selalu kubawa saat aku datang ke apotek ini, bisa saja aku menyebutkan merknya tapi aku takut jika salah obat karena bisa sajakan ada obat bermerk sama?

"Ini," apoteker itu menyerahkan obat yang sama persis setiap kali aku membelinya.

"Ini mbak," aku menyerahkan uang sebesar dua ratus lima puluh ribu rupiah untuk satu kotak obatnya.

"Terimakasih." Kata sang apoteker, kubalas dengan anggukan.

Aku keluar dengan menenteng obat ditanganku lalu meletakkanya di keranjang sepeda. Ini sudah gelap, orang-orang yang selesai dari masjid mulai mengisi jalan untuk pulang kerumah masing-masing. Sejujurnya aku sedikit takut untuk pulang walaupun ada orang berlalu lalang selesai sholat maghrib, karena kata Rere saat malam jalan besar itu selalu dipenuhi banyak pemuda untuk nongkrong. Aku tak mungkin pulang melewati jalan desa karena bisa memakan berjam-jam karena lamanya. Aku berdoa sepanjang jalan agar dihindarkan dari bahaya yang bisa kapan saja menyerang.

Ternyata benar, Rere tak berbohong. Dari kejauhan kulihat kumpulan pemuda yang sedang nongkrong di rumah kosong tepi jalan. Aku mempercepat kayuhan sepedaku agar segera melewati mereka. Tapi harapan kadang tak sesuai dengan kenyataan. Tiba-tiba..

"Bwaaa!"

Aku mengerem sepedaku mendadak. Entah darimana kedatangan cowok asing didepanku ini, apa mereka sengaja bersembunyi disemak-semak untuk mengerjaiku?

"Cewek kok keluyuran malem," kata cowok didepanku yang memakai banyak tindik di telinganya dan jangan lupakan tangannya yang bertato penuh itu. Sepedaku ditarik kasar untuk menepi.

"Mau jual diri ya?" ejek si pemakai bandana bergambar tengkorak sambil memegang erat keranjang sepedaku.

Mereka berdua menatapku dengan tatapan menjijikkan. Sementara gerombolan yang ada di rumah kosong itu menertawakanku.

"Wahh apa ini?" cowok bertindik itu mengambil obat dikeranjangku segera kuambil obat ibuku itu dari genggamannya.

"Minggir!" usirku, serak, sambil menggoyang-goyangkan sepedaku.

"Apa? nggak kedengeran," cowok bertindik itu memajukan badannya sejajar denganku.

Aku ketakutan, air mataku mengalir begitu saja. Aku melihat kesekeliling untuk meminta bantuan tapi yang ada hanya segerombolan cowok di rumah kosong itu. Mobil-mobil yang berseliweran mungkin tak akan membantuku, mereka mengemudikan kendaraan mereka dengan cepatnya seakan tak ada halangan.

"Mau teriak?" ucap si pemakai bandana dengan tatapan geli.

Terdengar tawa keras dari seberang, gerombolan cowok itu menertawakanku lagi. Kutatap mereka yang menertawakanku, entah keberanian dari mana karena biasanya aku hanya menunduk jika bertemu orang asing.

Pandanganku menangkap sosok yang berdiri dari duduknya, dia menginjak rokoknya lalu berjalan kearahku dengan wajah kaku khasnya itu. Apa aku begitu percaya diri? tak salah lagi dia memang berjalan kearahku.

"Minggir man." Katanya menepuk bahu cowok-cowok yang mengerjaiku tadi, si bandana menggeret salah satu lengan si pemakai tindik untuk menjauh. Mereka seperti sudah seperti mengenal dari lama. Setelah kedua cowok pengganggu itu pergi aku ingin segera mengayuh sepedaku menjauh pergi tapi dia menahan sepedaku. Dia menatapku tajam, alis tebalnya itu bertautan, badanku mendadak kaku, aku menelan ludah, gugup. Bau rokok menguar disekitarku. Dia bergeming ditempatnya tanpa ada niatan untuk pergi.

Tak lama kemudian dia melepaskan cekalan di sepedaku, aku segera tersadar lalu mengayuh sepedaku cepat, menjauh sejauh-jauhnya.

My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang