Mata Bram terasa pedas, tidak biasanya ia merem-melek-merem-melek seperti tadi malam. Pagi saat ia membuka mata, Letia sudah tidak ada di rumah meninggalkan Jackie yang resah di kamar bersama Bram.
Setelah mandi Bram ke dapur, tidak ada sarapan yang tersaji di meja. Ia melirik ke rak sepatu dan mendapati sepatu lari Letia tidak ada di rak, sehingga ia menyimpulkan Letia sedang olahraga pagi seperti biasa. Ia menyobek sticky note yang menempel di kulkas, kemudian setelah mencoret note tersebut. Ia menempelkannya kembali ke pintu kulkas dengan magnet.Pesannya berbunyi:
"Aku akan pulang lebih cepat, kamu tidak perlu memasak. Aku akan membungkus sesuatu untukmu."
With Love, Bram
Sebelum ia berangkat, ia mengisi air minum dan makanan Jackie yang kosong. Hari ini ia mengadakan pertemuan dengan klien barunya di kafe. Mira, seperti biasanya, berisik dan menyebalkan. Ponselnya berdering terus-menerus sampai akhirnya dia memutuskan untuk melirik. Ternyata Om Roy. Lantas Bram memasang mengaktifkan handsfree-nya.
"Hai, Om. Gimana cutinya?" sapa Bram bersemangat.
"Halo, Bram. Cuti sudah selesai, Bram. Berkat doamu juga Ibu Mertuaku sudah jauh lebih baik." sahutnya ramah.
"Syukurlah. Terus Om di mana ini?" tanya Bram.
"Aku sudahh menunggumu di cafe bersama Mira dan Vicky." sahutnya sumringah.
"Oh, Om sudah masuk kerja. Oke, baiklah, tolong wakili saya kalau saya datang terlambat." seru Bram di telepon.
"Beres. Hati-hati, Bram!" sahut Om Roy.
Bram membelokkan mobilnya dan melesat di jalan secepat kilat.Lokasi pertemuan dengan kliennya tidak sejauh jika ia berangkat ke kantor. Ia sengaja meminta Mira untuk menjadwalkan pertemuan di tempat yang tidak jauh dari rumahnya karena ia ingin meluangkan waktu untuk Letia.
Jika dibiarkan terlalu lama, hubungannya dengan Letia akan semakin aneh. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih empat puluh menit, Bram berhenti di kafe yang asri dan tenang. Mobil Om Roy dan Mira sudah terparkir rapi dengan beberapa mobil lain yang mungkin milik kliennya. Bram berlari masuk dan langsung memesan kopi hitam tanpa gula, sampai akhirnya ia menemukan Mira melambai ke arahnya bersama seorang wanita paruh baya yang asing baginya."Selamat pagi...." sapa Bram sambil menjabat tangan wanita itu dan rekan kerjanya satu per satu, "Mohon maaf, saya agak terlambat." lanjutnya.
"Oh, tidak apa-apa. Kebetulan Pak Roy dan Mbak Mira sudah menjelaskan dengan gamblang. Saya hanya perlu detail anggaran dari Bapak saja." sahutnya kalem.
"Oh, benar. Dengan Ibu Rosa, ya?" sahut Bram sembari membuka laptopnya.
Di saat yang bersamaan, Mira mulai merapatkan kursinya ke arah Bram. Bram mencoba untuk mengacuhkannya, tapi Mira tetap ngotot seperti biasa. Bram mencoba fokus dan menerangkan mengenai gambaran anggaran dekorasi untuk bisnis guest house Bu Rosa yang rencananya akan didirikan di Bandung. Bahkan Bu Rosa menjanjikan voucher VIP untuk Bram begitu mengetahui kalau Bram sudah memiliki istri. Tentu dengan senang hati Bram menerimanya. Pasti Letia akan senang jalan-jalan ke Bandung bersama Jackie.
Tanpa Bram sadari, Bu Rosa tiba-tiba terdiam dan tercengang. Dalam penglihatan Bu Rosa, ada seorang wanita yang duduk di sebelah Mira. Rambutnya berantakan, mukanya kotor, matanya kosong dan mulutnya terbuka lebar. Bu Rosa berdehem dan meraih gelas minumannya."Apakah Ibu baik-baik saja?" tanya Bram tiba-tiba sambil memperhatikan kliennya itu.
"Oh, iya, saya sehat." sahutnya singkat dengan tangan bergetar, "Saya rasa sudah cukup mengenai anggaran." lanjutnya sambil melirik sebelah Mira.
Bram dan Om Roy ikut melirik ke samping Mira yang masih asyik menulis catatan pertemuan itu. Kemudian mereka menoleh ke arah Bu Rosa dengan penuh tanda tanya.
"Apakah ada masalah, Bu?" tanya Om Roy yang heran melihat gelagat aneh Ibu Rosa.
"Oh, tidak. Nak Bram, apakah Ibu boleh bertanya? Tapi Ibu minta maaf jika sebelumnya Ibu bertanya seperti ini...." tanya Bu Rosa tiba-tiba dengan raut muka gelisah.
"Apakah akhir-akhir ini kamu sering mengalami hal yang aneh?" tanyanya hati-hati.
"Hal aneh seperti apa, Bu?" tanya Bram bingung.
"Ya seperti ... mungkin mendengar suara aneh atau melihat hal-hal ganjil, atau...." Kalimatnya mengambang di udara.
"Maksud Ibu diganggu makhluk halus?" lanjut Om Roy.
"Ah, ya, bagi yang percaya bisa dikatakan demikian." sahutnya cepat-cepat.
"Setahu saya tidak, Bu. Kenapa Ibu bertanya seperti itu?" tanya Bram.
"Ah, tidak apa-apa, hanya iseng saja. Jika Nak Bram punya hewan peliharaan, cobalah lebih memperhatikan perilakunya." sahut Bu Rosa dan sekali lagi melirik ke arah Mira dan langsung tersedak karena ia melihat sosok yang sama sudah berada di atas meja persis di depan muka Mira yang tengah asyik menulis tanpa Mira sadari sedikit pun.
Om Roy buru-buru mengambil tisu. Asisten Bu Rosa menerima kode dari tangan Bu Rosa dan langsung mengemasi barang-barang Bu Rosa. Setelah batuknya mereda, Bu Rosa meminta maaf atas ketidaknyamanan yang telah ia timbulkan kemudian berpamitan diantar oleh Mira sementara Bram dan Om Roy melajutkan pembahasan proyek milik Bu Rosa.
"Diganggu makhluk halus sih nggak. Diganggu makhluk berkulit halus, baru bener...." canda Om Roy sambil berbisik di telinga Bram.
Belum sempat Bram terkekeh tiba-tiba ponsel miliknya terjatuh dari meja dengan cara yang aneh. Saat Bram hendak meraih ponselnya di lantai, mendadak layar ponselnya menyala seperti ada yang sedang mengoperasikan. Kursor di layar ponselnya menuju galeri foto dan membuka folder yang Bram buat tahun lalu khusus untuk menyimpan foto-foto Letia. Mendadak folder itu terbuka secara tak beraturan, Bram terperanjat dan tersentak, sehingga kepalanya membentur atap meja.
"Aduh!" serunya.
"Kenapa, Bram?" tanya Om Roy.
"Oh, tidak apa-apa, Om..., cuma kaget saja." sahut Bram gundah.
"Kamu kenapa, sih? Tadi Bu Rosa, sekarang kamu...." tukasnya sambil menyeruput kopinya sampai habis.
"Nggak ada apa-apa, sih, Om.... Cuma kaget aja. Dari semalam memang banyak kejadian aneh." jawabnya lemas.
"Mungkin kamu butuh isirahat, Bram. Lebih baik sekarang kamu pulang, biar aku dan Vicky yang mengerjakan sisanya. Tentu kami butuh bantuan Mira jika kamu tidak keberatan." katanya sambil menepuk bahu Bram.
Kebiasaan Om Roy ini selalu memberikan kelegaan bagi Bram seperti ayahnya dulu.
"Iya, Om.... Aku pulang dulu ya, Om. Mau sekalian beli makanan buat Letia." tukas Bram dan ia langsung berpamitan.
KAMU SEDANG MEMBACA
LETIA
HorrorAku mencoba memberitahu Bram bahwa tubuhku telah terbujur kaku di tengah hutan. Namun dia tidak paham, hanya Jack saja memahamiku sembari ia meringkuk ketakutan di sudut ruang keluarga. Maafkan aku, Bram....