Letia Part 7 (END)

808 37 15
                                    

Bram bermimpi tentang Letia. Letia mengajak Bram berjalan-jalan ke hutan dengan baju yang sudah hampir seminggu ini ia kenakan. Rambutnya acak-acakan, badannya basah, dan ia mengenakan sepatu lari kesayangannya yang sudah beberapa hari ini tidak pernah terlihat di rak sepatu. Namun, di mimpinya Letia terlihat lebih ceria dan berseri-seri.

"Bram, ayo ke hutan! Ada yang ingin kuperlihatkan padamu." katanya.
"Apa?" tanya Bram sambil mengayunkan gandengannya.
"Aku selalu berusaha memberitahumu akan hal ini, tapi ternyata sungguh sulit...." timpalnya.
"Maksudnya gimana, Sayang?" sahut Bram bingung.
"Mulai hari ini kamu harus merawat Jackie dengan baik, jaga pola kerja dan makan kamu. Maafkan aku, Bram...." tukasnya tak peduli dengan muka Bram yang penuh tanda tanya.
"Kenapa, sih, kamu ini, Sayang?" desak Bram menghentikan langkahnya di tengah perjalanan masuk ke hutan.
"Aku sungguh-sungguh mencintaimu, Bram. Maafkan aku...." isaknya.

Seketika badan Letia mulai mengabur di depan mata Bram. Genggamannya juga semakin melemah. Sekitar mereka mejadi terang dan wujud Letia melebur bersama cahaya yang berpendar kian terang dan menghilang seperti udara.

Bram membuka mata, napasnya tercekat. Didapatinya Jackie menjilat-jilat pipinya dan sudah melompat di atas dadanya. Selain itu, Bram terganggu dengan bel rumahnya yang dipencet berkali-kali. Ia bangun dengan enggan dan menurunkan Jackie di lantai. Jackie mengitari Bram yang mulai berdiri dan kemudian melompat berlari ke arah pintu rumah.
Bram yang masih belum sepenuhnya sadar mencari Letia, namun ia tidak menemukan sosok Letia di kamar. Bram berjalan dan melirik rak sepatu, sepatu Letia sudah tidak ada lagi. Letia sudah lari pagi, pikirnya.
Tanpa perasaan yang mengganjal, ia membuka pintu yang sedari tadi sudah diserbu oleh Jackie dan sedikit terperanjat dengan kehadiran Pak RT dengan dua orang dengan seragam polisi.

"Pagi, Pak Bram." sapa Pak RT.
"Iya, pagi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" sahutnya hati-hati.
"Perkenalkan, Pak, saya Sugiono dari Kepolisian setempat." ungkap pria berkumis sambil menunjukkan lencananya, "Kami sedang melakukan identifikasi terkait laporan warga. Apakah Bapak mengenali benda-benda ini?" lanjutnya sambil menunjuk benda-benda yang dibawa rekannya di belakang.

Bram menyipitkan matanya. Antara bingung dan heran mendapati sepatu lari dan tas obat istrinya dibawa oleh Polisi. Bram meraih tas Letia yang basah dan kotor serta bacin seperti telah berhari-hari terendam hujan dan tak kunjung kering. Begitu juga sepatu larinya yang berwarna merah jingga. Kondisinya tidak kalah kotor dengan tas milik Letia. Baunya pun lebih busuk.

"Ini barang barang-barang milik istri saya, Pak. Apakah terjadi sesuatu dengannya?" tanya Bram dengan kepanikan yang tak bisa dihindari.
Pak RT dan Pak Sugiono saling bertatap-tatapan, begitu juga Bram yang bingung menanti penjelasan mereka.
"Begini, Pak, kapan terakhir bapak melihat Istri Bapak?" tanya Pak Sugiono.
"Sampai tadi malam saya masih bertemu dengan istri saya, Pak. Barusan saya bangun, tapi pagi ini dia sudah tidak ada, biasanya lari pagi di hutan." sahut Bram menerangkan dan mencoba menguasai paniknya.
“Astaghfirullah...." sahut Pak RT mengejutkan Bram.
"Ada apa ini, Pak?" wajah Bram memucat.
"Begini, Pak, menurut laporan warga kemarin siang mereka menemukan mayat yang berada di tengah hutan. Warga mengetahui keberadaan mayat tersebut karena sudah empat hari ini tercium bau bangkai dari dalam hutan." terang Pak Sugiono.
"Maksud Bapak ... itu mayat istri saya?" tukas Bram sedikit emosi karena tidak terima Letia dianggap membusuk di tengah hutan.
"Ini barang-barang yang tergeletak tak jauh dari lokasi mayat dan menempel di badan mayat, Pak. Berdasar hasil autotopsi, mayat sudah meninggal lima hari lalu karena anfal mendadak dan tidak mendapat pertolongan, lanjut Pak Sugiono dengan sabar." Ia menunjukkan satu kantong plastik berisi barang-barang Letia yang lain.

Bram merosot ke lantai. Barang-barang di dalam kantong tersebut adalah baju yang selalu dikenakan Letia beberapa hari terakhir ini. Bahkan ia baru menyadari rambut istrinya yang selalu acak-acakkan, kulitnya yang pucat, badannya yang dingin dan sepatu larinya yang tidak pernah ada di rak. Jackie berkali-kali terlihat gelisah, tapi Bram tidak pernah menggubrisnya.
Bram tidak bisa mendengar lanjutan kalimat Pak RT dan Pak Sugiono dengan jelas. Gonggongan Jackie di teliganya juga terasa jauh. Ia bersimpuh dan membayangkan hari-hari terakhir bersama arwah Letia sebelum ia sadar bahwa Letia telah tiada.  Kakinya tak bertenaga, air mata merembes dari sela-sela bola matanya. Bram merasa hatinya remuk dihantam penyesalan yang tidak akan terhapus sepanjang sisa hidupnya tanpa Letia.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 01, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LETIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang