Letia Part 2

856 34 1
                                    

Pagi ini Bram berangkat kerja dengan perasaan yang campur aduk. Sudah kesekian kalinya dalam bulan ini ia harus berdebat terlebih dahulu dengan Letia sebelum berangkat ke kantor. Letia sering mengeluh kesepian, tidak mau ditinggal, bosan, jenuh di rumah, merasa tidak berguna, dan lain sebagainya, tiap kali melihat Bram bersiap-siap bekerja. Hingga ujung-ujungnya, terjadi percekcokan ringan. Bram sudah mencoba bersabar dan memberikan pengertian terhadap Letia, tapi terkadang ia mencapai batasnya.

Semenjak Letia berhenti bekerja, Bram menyadari banyak perubahan pada istrinya. Letia jadi semakin sering melamun, lebih pemarah, lebih manja seperti anak kecil, lebih cerewet dan ditambah macam-macam kelakuannya yang kadang membuat Bram gerah. Seharusnya Bram bisa lebih mengendalikan emosinya dan memberikan sedikit ruang bagi Letia untuk beradaptasi lebih lama lagi, namun ia telanjur melontarkan kalimat yang tidak semestinya ia keluarkan di depan Letia hingga wajah Letia merah padam dibuatnya. Sambil menyetir dengan perasaan yang tidak menentu, ia melirik jam di dashboard mobil berulang kali sampai akhirnya ponselnya berdering.

"Ya, Mira?" sahut Bram sembari mengaktifkan handsfree-nya.

"Pagi, Bram. Sudah sampai mana? Bentar lagi sudah mulai evaluasinya, loh, Bram." sapa Mira kalem.

"Bentar, Mir, tadi aku ngantre di pom bensin lama banget." jawab Bram beralasan.

"Makanya, jangan jauh-jauh rumahnya. Kenapa sih nggak menetap di Jakarta aja?" protes Mira.

"Demi kesehatan Letia, Mir. Sepuluh menit lagi aku sampai, tidak akan terlambat." jawab Bram singkat dan langsung memutuskan sambungan telepon.

Bram mempercepat laju mobilnya dan menghalau pikiran-pikiran buruk yang berkecamuk di kepalanya. Mira, sekretarisnya yang cerewet, lebih membuatnya pusing dibandingkan Letia, istrinya sendiri. Entah mengapa terkadang Bram merasa risih dengan perlakuan dan perhatian Mira yang menurutnya terkadang berlebihan. Hal ini pun juga menjadi masalah kecil untuk kehidupan rumah tangganya.

Pernah sewaktu Bram menghadiri gala dinner perusahaannya bersama Letia, Mira menyambut kedatangan mereka dengan baik. Namun, tak lama setelah Mira berlalu pergi untuk menyambut tamu yang lain, Letia berkomentar tentang sekretarisnya itu.

Menurut pengamatannya, Mira adalah wanita yang licik dan gatal. Letia memang peka, tapi Bram berkali-kali menampik kekhawatiran Letia yang menurutnya berlebihan. Bram selalu bilang Letia terlalu berlebihan dan cemburuan, tapi belakangan Bram menyadari bahwa apa yang dikatakan Letia kadang ada benarnya. Bram menyesalinya, tapi sudah terlambat untuk meminta maaf atas kata-kata yang sudah lama berlalu.

Ibunya selalu tertawa dan menasihati Bram bahwa seperti itulah intuisi seorang wanita. Itulah mengapa wanita dianugerahi perasaan yang kadang bagi kebanyakan pria dianggap tidak logis dan baperan.

Bram memarkirkan mobilnya. Kurang dari lima menit lagi rapat evaluasi proyeknya akan dimulai. Ia melirik ke parkiran dan mencari mobil kliennya, kemudian menghela napas lega karena mobil yang dicarinya belum terlihat di parkiran.

Ia membuka pintu dan berjalan cepat masuk ke kantornya. Lift sedikit lengang karena waktu hampir menunjukkan pukul sembilan. Rata-rata karyawan kantornya datang pukul setengah sembilan. Sebenarnya pun tak masalah bagi Bram jika ia tidak hadir, namun selain menjaga kredibilitas dan nama baik Ayahnya yang dulu merupakan memimpin perusahaan ini.

Kepuasan klien juga menjadi alasan utama bagi Bram untuk hadir di rapat evaluasi terakhir ini. Mengembangkan bisnis desain interior seperti yang telah dilakukan Ayahnya selama ini bukanlah hal yang mudah. Oleh karena itu, Bram tidak akan menyia-nyiakan kesempatan sekecil apa pun demi keberlangsungan bisnis ini. Menurut Bram, menjalin hubungan baik dengan konsumen adalah salah satu faktor penentu dalam bisnis penawaran jasa.

Bram tiba di depan pintu dan melihat Mira langsung berdiri menghampirinya.

"Pagi, Pak. Maaf, saya permisi betulin dasi Bapak ya? Belum rapi, Pak." sapanya kalem dengan lirikan mata yang penuh .

"Pagi. Maaf, biar saya betulkan sendiri." tolak Bram tegas dan langsung duduk di sebelah Om Roy.

"Ibu apa kabar, Bram?" tanya Om Roy dengan muka usil.

"Letia sehat, Om. Seperti biasa...." sahut Bram sambil membuka-buka file miliknya.

"Syukurlah. Betah di Bogor?" tanya Om Roy lagi.

"Betah, Om. Gimana?" jawab Bram yang kini justru memusatkan perhatian penuh kepada Om Roy karena ia merasa Om Roy ingin membuka percakapan lain melalui basa-basinya.

"Bram, Om ini kan sudah lama bekerja bareng Papa kamu. Bukan maksud apa-apa, jika ada suatu hal yang menganggu pikiranmu, berbagilah. Mungkin Om bisa bantu." jawabnya tenang.

"Hahaha, kepala saya pusing, Om...." sahut Bram singkat. Namun, tidak ia lanjutkan karena Mira duduk dan merapatkan kursi tepat di sebelahnya begitu kliennya memasuki ruangan rapat.

"Oke, mungkin kita bahas nanti jika satpam kamu sudah pergi." bisik Om Roy di telinga Bram sambil melirik Mira.

Bram menahan tawa. Memang, beberapa orang di kantor menyadari obsesi Mira terhadap Bram. Bram menggeser sedikit kursinya dan memulai rapat dengan tegas tanpa menghiraukan pandangan protes dari Mira yang merasa dijauhi olehnya.

LETIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang