"Bram..., Brammm...." panggil Letia, suaranya mulai gemas.
"Iya, Sayaaang.... Ngambek mulu," sahut Bram sambil menowel hidung Letia yang mungil.
"Kamu tahukan ini hari libur? Kamu ingat kan sama janji kamu?" sungutnya.
"Iya, iya, aku inget. Tapi ini soal kerjaan. Urgent...." jawab Bram memelas.
"Ah, sudahlah, terserah!" Letia merajuk. Ia melempar bantal kursi tepat ke wajah Bram dan pergi keluar dari teras paviliun yang baru kami beli di Bogor akhir tahun lalu.
Ah, dasar wanita, pria itu serbasalah. Cuek salah, cemburu salah, kerja keras salah, bla ... bla ... bla.... Bram menggaruk-garuk kepalanya. Rambutnya yang rapi kini berantakan. Ia menyusul Letia ke teras paviliun dan memeluknya dari belakang, berharap Letia menyadari betapa besar cintanya itu sampai-sampai ia rela pulang-pergi Bogor-Jakarta-Bogor demi kesehatan Letia. Semua ia lakukan demi Letia.
"Kamu selalu begitu. Tahu begitu aku kerja lagi saja...." rajuknya di pelukan Bram.
"Hush, Letia, kamu juga tahu, kan, Sayang, aku ini kerja buat apa dan siapa? Kalau kamu kerja lagi, siapa yang menjamin kamu tidak akan kelelahan dan asmamu itu tidak kambuh lagi?" tanya Bram sambil menciumi rambut istrinya.
"Habis kamunya selalu cuekin aku. Di mana pun kita berada, kamu selalu lebih memilih ponselmu itu. Kamu kan sudah janji mau meluangkan waktu untukku." sahutnya jengkel.
"Yah, beginilah risiko pekerjaanku, Letia. Ini semua kan demi kamu. Demi keluarga kecil kita." jawab Bram mencoba untuk sabar.
"Yang kamu lakukan sudah cukup untukku, Bram. Aku butuh waktumu—percakapan kecil kita seperti dulu, memasak bersama, olahraga bersama, dan masih banyak lagi hal yang sangat kurindukan darimu. Aku kesepian..., aku rindu kebersamaan kita yang dulu," jawabnya lesu sambil membalikkan badannya ke arah Bram, matanya berkaca-kaca.
Bram kini menangkup wajah Letia degan kedua tangannya. Wajah Letia yang ayu kini ia belai. Sekali lagi ia peluk tubuh istrinya yang mungil itu.
"Maaf..., sabar Sayang, ya? Jika proyek terakhir ini sudah selesai, aku akan melimpahkan beberapa proyek ke Om Roy sebagai wakilku." katanya lembut.
"Kapan?" tanya Letia datar.
"Bulan depan. Tapi sekarang aku akan mencoba untuk memenuhi janjiku." sahut Bram sambil melepaskan pelukannya dan mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya bersamaan di atas kepala.
"Okay, okay.... Jadi, Pak Bram, apa rencanamu hari ini?" canda Letia. Senyumnya mulai merekah.
"Ehm, oke. Saya akan menjamu Anda dengan ayam panggang spesial Chef Bram dilengkapi dengan saus mushroom dan kacang. Oh, tunggu, akan ada saus kreasi yang lain bagi penderita alergi kacang." canda Bram sambil mengubah nada suaranya menjadi lebih berat lagi.
"Ahahaha, dasar. Buruan, Pak. Lapar!" seru Letia yang mulai bersemangat. Keduanya pun masuk ke dalam rumah.
Waktu masih menunjukkan pukul setengah lima sore. Mereka membagi tugas, Bram menyiapkan bahan-bahan di dapur dan Letia menata meja makan di teras paviliun di tepi danau dengan pemandangan hutan cemara di sekelilingnya. Sambil bekerja, Bram mengintip Letia dari jendela dapur.
Sesekali Letia menatap ke seberang danau dan melambaikan tangannya ke arah ibu-ibu yang mulai berjalan pulang menuju rumah masing-masing setelah berkebun. Semenjak asmanya sering kambuh karena kelelahan dan polusi di Jakarta yang semakin parah, Bram memutuskan untuk pindah ke Bogor dan memaksa Letia untuk berhenti bekerja. Keputusan tersebut antara benar dan salah bagi Bram sendiri, karena semakin bertambahnya hari, rasa sepi yang menggelayut di benak Letia semakin besar. Sesekali Bram meminta Johan, keponakannya, atau sahabat-sahabat Letia untuk mampir dan menginap, tapi tetap saja kunjungan seperti itu tidak akan bisa konsisten mengingat mereka semua memiliki kewajiban masing-masing di Jakarta.
Pernah Bram hendak mempekerjakan ibu-ibu paruh baya di paviliunnya untuk mengurus rumah dan menemani Letia selama Bram bekerja, namun Letia menolak keras dengan alasan ia membutuhkan banyak kegiatan di rumah. Bram pun mengalah meskipun ia sangat khawatir Letia akan semakin kesepian dan melakukan kecerobohan fatal. Bram kenal betul sifat istrinya. Selain keras kepala, Letia juga ceroboh.
Letia terlalu sembrono dan menyepelekan sesuatu, seperti misalnya tiga bulan lalu saat ia memaksa memakan roti rasa cokelat kacang. Bram sudah melarang keras, namun Letia tetap bersikeras untuk memakan roti tersebut sedikit saja. Walhasil, Letia mengalami penyumbatan pernapasan di tenggorokannya. Beberapa menit setelah menelan roti itu, akibat alergi kacangnya yang kambuh, terpaksa Letia harus dilarikan ke rumah sakit. Meskipun saat itu cepat tertangani, dokter mengingatkan Letia untuk menjauhi segala bentuk makanan yang memiliki kandungan kacang.
Waktu itu Bram mengomel panjang kali lebar, kali tinggi, namun Letia hanya cengar-cengir seperti biasa.
"Sayang, ayo, masuk. Waktunya masak ayam!" seru Bram ke arah Letia.
"Iya ... iya." sahut Letia bersemangat dan berlari ke arah dapur.
Bram menyiapkan panggangan dan mulai mengolesi daging ayam yang sudah ia siapkan dengan mentega. Letia dengan tak sabar mengacungkan tongkat pembalik beberapa kali ke udara. Dengan cekatan mereka memasak menu makan malam.
Bram yang sudah terbiasa membantu Letia di dapur memang sudah hafal benar bumbu-bumbu masakan yang sering dimasak Letia. Bram membiarkan Letia memanggang ayam dan dia sendiri mulai mengolah saus mushroom dan blackpepper kesukaan istrinya.
"Sayang, ayamnya sudah siap! Kamu mau minum apa, biar kusiapin?" tanya Letia.
"Aku mau air putih dan jus jeruk aja, Sayang." sahut Bram sambil tersenyum.
"Oke, oke. Aku tunggu di teras ya?" sahut Letia.
"Sayang, pakai jaketnya!" seru Bram.
"Nggak mau, ah, kan aku sehat." sahut Letia.
Dengan gemas Bram berjalan ke ruang tengah dan memungut sweater Letia yang tercecer di depan perapian dan memaksa Letia untuk memakai sweater-nya.
"Ih, kan udah aku bilang, aku sehat." gerutu Letia yang akhirnya memakai sweater-nya dengan patuh.
"Iya, apa salahnya sih kamu pakai sweater?" sahut Bram tegas.
"Ih, suka deh kalau kamu sering-sering perhatiin aku kayak gini." canda Letia sambil cengar-cengir.
"Dasar manja!" tukas Bram sambil mengecup pipi Letia.
Bram kembali ke dapur untuk mengambil saus garapannya dan meletakkan di meja makan, Letia keluar dari dalam rumah membawa nampan penuh berisi botol air mineral dan jus jeruk. Dengan cekatan ia menyajikannnya di meja makan.
"Sayaaang...." kata Letia sambil melirik ponsel Bram.
"Hmm...." sahut Bram tanpa melirik Letia.
"Sayang! Jangan kumat lagi deh baru juga beberapa puluh menit!" omel Letia.
"Hahaha, iya ... iya..., yuk, kita makan!" tukas Bram sambil tertawa cekikikan.
Bram meletakkan ponselnya dan memulai makan malamnya dengan Letia. Untunglah langit cerah, sehingga mereka tidak perlu buru-buru menghabiskan makanannya atau pindah ke dalam rumah karena hujan datang tiba-tiba.
Bram tidak berlama-lama makan dan bercakap-cakap di teras secukupnya saja karena Letia terlihat mulai menggigil meskipun ia mencoba menutupinya. Bram kemudian mengajak Letia masuk dan mengangkuti peralatan makan mereka dan memutuskan untuk bercakap-cakap di ruang tengah sampai akhirnya mereka jatuh tertidur di sofa sampai pagi menjelang.
KAMU SEDANG MEMBACA
LETIA
HorrorAku mencoba memberitahu Bram bahwa tubuhku telah terbujur kaku di tengah hutan. Namun dia tidak paham, hanya Jack saja memahamiku sembari ia meringkuk ketakutan di sudut ruang keluarga. Maafkan aku, Bram....